Khutbah Gerhana Bulan 2022: Membersihkan Aqidah, Menuai Berkah

    0
    khutbah gerhana bulan 2022

    Hari ini, 8 November 2022, akan terjadi gerhana bulan total. Sunnah utama pada saat gerhana terjadi adalah shalat gerhana. Ketika diselenggarakan secara berjamaah, disunnahkan ada khutbah. Karenanya, BersamaDakwah menghadirkan Khutbah Gerhana Bulan 2022 dengan mengambil tema Membersihkan Aqidah, Menuai Berkah.

    Tata Cara Khutbah Gerhana Bulan

    Mengenai khutbah ini, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’i, sunnah adanya khutbah pada shalat gerhana berjamaah. Sedangkan menurut Imam Maliki, sunnahnya hanya memberi nasihat. Karenanya khutbah gerhana bulan boleh dua khutbah seperti khutbah Jumat, boleh juga jika hanya satu khutbah.

    Syekh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, dalam khutbah gerhana hendaknya khatib menyampaikan kepada jamaah tentang taubat dari segala dosa serta berbuat kebaikan seperti sedekah, berdoa, dan beristighfar.

    Syekh Musthafa al-Bugha dalam Fiqih Manhaji menjelaskan, setelah mengimami shalat gerhana, Rasulullah maju untuk berkhutbah. Beliau memuji Allah dengan puji-pujian yang hanya berhak untuk-Nya. Lalu beliau bersabda:

    إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

    Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan tidaklah terkait kematian atau kehidupan seseorang. Karenanya jika kalian melihat gerhana itu, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah. (HR. Bukhari)

    Khutbah Gerhana Bulan 2022

    إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ . وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

    Jamaah shalat gerhana bulan yang Allah muliakan,
    Malam ini kita menjadi saksi kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa terjadinya gerhana bulan. Maka marilah kita bersyukur atas nikmat iman dan nikmat kesehatan lalu mengagungkan Allah yang telah memberikan kesempatan kepada kita menjadi saksi kebesaran-Nya. Kita pun tunduk menunaikan sunnah dengan shalat khusuf atau shalat gerhana bulan.

    Membersihkan Aqidah

    Di masa jahiliyah, orang-orang meyakini gerhana adalah pertanda duka. Terkait dengan kematian seorang tokoh penting di sebuah kota atau negara. Ketika terjadi gerhana matahari pada tahun 10 hijriah bertepatan dengan wafatnya Ibrahim, banyak orang kasak kusuk menghubungkan gerhana dengan wafatnya putra Rasulullah itu. “Matahari mengalami gerhana karena kematian Ibrahim,” kata mereka.

    Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda dalam khutbah gerhana:

    إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ

    Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Terjadinya gerhana matahari atau bulan itu bukanlah karena kematian seseorang atau kehidupannya. Oleh karena itu, jika kau menyaksikan gerhana bergegaslah untuk mengerjakan shalat. (HR. Muslim)

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berduka dengan wafatnya putra beliau. Bahkan beliau menangis saat putranya dari Bunda Mariyah Al Qibtiyah itu mengembuskan nafas terakhir di pelukan.

    “Engkau menangis, wahai Rasulullah?” tanya sebagian sahabat waktu itu.

    “(Tangisan) ini adalah kasih sayang. Siapa yang tidak menyayangi, ia tidak disayangi,” jawab beliau seperti ditulis Ibnu Hazm dalam Jawami’ush Shirah. “Sungguh kami sedih karena kepergianmu, wahai Ibrahim. Air mata berderai dan hati bersedih, namun kami hanya mengatakan yang diridhai Allah.”

    Demikianlah, meski dirundung duka yang mendalam, Rasulullah tidak membiarkan aqidah umat terkotori. Beliau meluruskan bahwa gerhana tidak ada hubungannya dengan kematian dan kelahiran siapa pun. Bahkan jika itu adalah putra Nabi sekalipun.

    Dulu, banyak juga masyarakat Jawa yang meyakini bahwa gerhana terjadi karena bulan dimakan oleh Butho. Sosok makhluk jahat berukuran sangat besar. Maka masyarakat pun kemudian membuat bunyi-bunyian dengan lesung dan alu. Mereka meyakini Butho takut dengan suara-suara itu dan akan pergi, tidak jadi menyerang bumi. Alhamdulillah keyakinan semacam ini sekarang hampir tak ada lagi.

    Akan tetapi, masih ada beberapa keyakinan serupa. Merasa suatu kejadian adalah pertanda buruk atau akan terjadinya kesialan bahkan bencana. Thiyarah, istilahnya. Orang-orang jahiliyah meyakini akan tertimpa sial jika sebelum berangkat bepergian melihat burung melewati rumahnya lalu berbelok ke kiri. Mereka pun mengurungkan rencana keberangkatan. Sampai sekarang, fenomena serupa masih ada di masyarakat kita. Terkadang sopir atau pengendara takut melanjutkan perjalanannya ketika melihat di depan mobilnya ada hewan entah kucing atau musang yang mau menyeberang tetapi baru setengah jalan kembali ke tempatnya semula. Sebagian orang meyakini hal tersebut tanda sial, jika meneruskan perjalanan bisa tertimpa kecelakaan.

    Islam melarang mitos-mitos semacam ini. Islam melarang thiyarah sebagaimana sabda Rasulullah:

    لاَ طِيَرَةَ

    Tidak ada tathayyur. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Bahkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menegaskan tathayyur adalah syirik.

    الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ

    Tathayyur adalah syirik, tathayyur adalah syirik, tathayyur adalah syirik. (HR. Abu Dawud)

    Hidup Berkah dengan Salimul Aqidah

    Islam melarang thiyarah. Islam menghendaki kita memiliki aqidah yang bersih (salimul aqidah) tanpa terkontaminasi kemusyrikan. Sebab dengan salimul aqidah, hidup kita akan menjadi berkah dan ujungnya adalah jannah.

    إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

    Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. Fushilat: 30)

    Orang-orang yang istiqamah, yang aqidahnya tidak terkotori kemusyrikan, mereka akan mendapatkan keberanian (asy-syaja’ah), ketenangan (al-ithmi’nan), dan optimisme (at-tafa’ul). Meskipun sebagian mufassirin menafsirkan bahwa turunnya malaikat dalam ayat ini adalah nanti saat sakaratul maut, sebagian ulama menjelaskan bahwa ketiga hal ini juga akan didapatkan dalam kehidupan di dunia.

    Keberanian artinya merdeka dari rasa takut yang tidak beralasan. Terbebas dari takut tertimpa sial hanya karena melihat suatu tanda alias thiyarah. Terbebas dari ketakutan terhadap hantu dan mitos-mitos sejenisnya. Keberanian juga berarti berani berbuat yang benar dan berani melawan kebatilan. Berani mengamalkan Islam dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

    Keimanan juga mendatangkan ketenangan dan kedamaian. Terlebih ketika kita berdzikir mengingat Allah Subahanahu wa Ta’ala. Seorang mukmin mendapatkan kebahagiaan sejati dalam shalat dan dzikirnya.

    Optimis kita dapatkan karena aqidah islamiyah menuntun kita meyakini bahwa segala yang terjadi adalah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bagi seorang mukmin, seluruhnya adalah kebaikan. Jika yang terjadi adalah apa yang kita suka, kita bersyukur, itu kebaikan. Jika yang terjadi tidak sesuai keinginan kita, kita bersabar, itu juga kebaikan. Dan kita lebih optimis lagi karena masa depan bagi orang-orang beriman adalah surga.

    Amalan Gerhana Bulan

    Jamaah shalat gerhana bulan hafidhakumullah,
    Amalan sunnah gerhana bulan yang Rasulullah ajarkan mendatangkan ketiganya; keberanian, ketenangan, dan optimisme. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

    Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan tidaklah terkait kematian atau kehidupan seseorang. Karenanya jika kalian melihat gerhana itu, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah. (HR. Bukhari)

    Bagian pertama hadits ini menjelaskan aqidah Islamiyah yang membuat kita optimis dan berani. Lalu amal-amal sunnah saat terjadinya gerhana: berdoa, bertakbir, shalat gerhana, bersedekah, dan dalam hadits yang lain memohon ampunan, semuanya semakin menguatkannya. Juga mendatangkan ketenangan, karena shalat dan dzikir adalah sumber kebahagiaan. Demikian pula sedekah. Ia tidak hanya membawa kebahagiaan bagi orang yang menerima, tetapi yang lebih bahagia sesungguhnya adalah orang yang bersedekah.

    Terakhir, semoga dengan menjaga aqidah kita, kita termasuk saudara-saudara Rasulullah yang beliau rindukan.

    وَدِدْتُ أَنِّي قَدْ رَأَيْتُ إِخْوَانَنَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَسْنَا إِخْوَانَكَ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانِي الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ

    “Aku ingin melihat saudara-saudaraku.” Sebagian sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kami adalah saudara-saudaramu?” Beliau menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku belumlah datang sekarang. Aku akan menemui mereka di al-Haudh.” (HR. An Nasa’i; shahih)

    Maka marilah kita berdoa semoga Allah menjaga aqidah kita, menguatkan iman kita, mengistiqamahkan kita, dan kelak mempertemukan kita dengan Rasulullah di surga-Nya.

    إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

    اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ باَرِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ باَرَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

    اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ . رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

    اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ. اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ . رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ