Beranda Kisah-Sejarah Kisah di Balik Live Facebook BersamaDakwah Aksi Bela Umat islam

Kisah di Balik Live Facebook BersamaDakwah Aksi Bela Umat islam

Peserta aksi damai bela Islam di masjid Istiqlal

Jumat (4/10/2016) pagi kemarin, pukul 08.00 ketika memasuki stasiun Pondok Cina Depok, suasana sudah seperti orang-orang yang ingin pergi taklim. Banyak orang-orang bergerombol berpakaian serba putih. Di peron-peron panjang itu.

Memasuki stasiun selanjutnya Universitas Indonesia, Univeritas Pancila (UP), Lenteng Agung dan seterusnya peron-peron nyaris sama, seperti selasar masjid.

Di dalam kereta, suasana tak jauh beda, ada yang mengaji dan melantunkan kalimat-kalimat thayyibah. Allah….saya haru.

Sesampai di Juanda, kerumunan manusia putih makin banyak. Eskalator dan tangga menyemut. Wajah penuh semangat mereka terpancar dan tak bisa didustai. Kami pun harus berjalan lamban pula ketika menyeberang di JPO menuju masjid kemerdekaan, Istiqlal. Saya menyalakan ponsel untuk live media ini.

Memasuki halaman Istiqlal, suasana jauh lebih terasa. Tangga menuju ruang utama berjubel teratur. Akhirnya kami mendapat tempat meski di pelataran saja. Panasnya terik matahari sangat menyengat di kepala dan di ujung-ujung kaki. Kanan kiri, depan belakang, pelataran memutih. Kami seperti sedang di Mekkah. Dengan suara tilawah yang membuat luluh.

Kondisi masih sama ketika kami keluar masjid untuk turun aksi. Tak ada raut muka basi. Mereka penuh siap siaga. Jalan pelan dengan sengatan matahari yang masih sama. Laiknya orang thawaf. Kami menatap langit putih itu. Di sana ada Ababil besi, yang siap membantu merontokkan pasukan fitnah Abrahah.

“Ini aksi demi keutuhan NKRI!”

“Keadilan negeri, kemana engkau bersembunyi?”

“Beri hukuman kepada penista agama!”

Saya masih memegang ponsel. Mencari sinyal inet yang tak dapat-dapat. Kehilangan sinyal sejak memasuki masjid–dan saya kesulitan untuk live. Sambil berjalan, sambil menatap ponsel. Nihil. Padahal saya harus bertugas menyiarkan live facebook untuk media. Sebelumnya menang berembus kabar akan sulitnya mendapat sinyal

Masih desak-desakan.

“Dapat nih!” seru Refa, salah satu teman perjalanan aksi. Ia segera memberikan ponselnya. Saya meminjam darinya. Gegas saya keluarkan tongkat eksis agar dapat menjangkau area lain.

Masih desak-desakan.

Sambil berjalan, saya mengambil momen itu. Muslim di penjuru dunia harus tahu meski belum bisa ikut aksi. Dan sebuah bendera palestina raksasa yang mendadak terkibar di JPO segera saya incar.

Masih desak-desakan.

Sebagian istirahat. Kami pun sama. Saya diskusi dengan dua orang ikhwan yang sedang duduk. Mereka dari Daarut Tauhiid. Dari Bandung mereka jam 12 malam dan sampai Jakarta jam 3 pagi. Mereka, para santri Aa Gym, datang sebanyak 13 bus. Masya Allah! Mereka siap menjadi tim operasi semut, menyediakan fasilitas pembuangan sampah. Semangat mereka membuat saya cemburu.

Kembali desak-desakan.

Badan saya memberikan sinyal yang buruk. Ada yang mengganggu di perut dan mulut. Tapi perjalanan aksi dilanjutkan, kami sholat Ashar di Masjid Cut Meutia sejenak. Sepanjang perjalanan masjid itu, kami menemui mereka kembali yang semangat memberikan air mineral dalam kemasan secara cuma-cuma. Kami mengambilnya. Lalu bertemu di jalanan, para pasukan semut. Kami tertawa ringan dan tergelitik dengar woro-woro pembawa plastik hitam besar.

“Silakan buang Ahok pada tempatnya!”

Ahok adalah penyebutan lain untuk sampah. Agak sarkas tapi lucu. Atau memang seharusnya seperti itu?

Kami lapar dan berencana membeli makan dekat masjid. Sebelum sampai masjid, kami dicegat seorang ibu yang membawa kardus.

“Silakan, Mas. Ambil!” sumringahnya menawari teh dalam kemasan botol. Sayang, saya tak kebagian. Ibu-ibu itu kembali ke mobilnya, mengambil kardus berisi serupa.

Kami melanjutkan perjalanan. Di depan ada seorang ibu membagikan nasi bungkus secara cuma-cuma. Dua rekan saya mengambil. Saya tidak, sengaja. Perut saya sedang tidak beres.

Kebaikan-kebaikan ibu pembagi minuman dengan senyum tulus, kebaikan ibu pembagi makanan penuh gegas dan kebaikan para pasukan semut, benar-benar meneduhkan. Rasa cinta mereka pada agama begitu susah ditakar.

Kami sampai di masjid Cut. Kondisi masih sama. Ramai para peserta demo— lebih tepat bahwa ini bukan demo tapi ini taklim berjalan yang tiap langkah menyediakan hikmah.

Dua rekan memakan nasi bungkus yang mereka terima, di space kosong dekat parkiran. Dan badan yang memberi sinyal buruk ini akhirnya menampakkan jati dirinya. Saya mencari tempat agar mereka yang telah makan tak melihat. Saya pun muntah-muntah. Dan ini sungguh tidak keren sama sekali.

Sejak sedari berangkat badan memang kurang fit, namun terlalu manja jika tak ikut serta. Sakit bisa disembuhkan, namun luka karena agama dinista susah untuk disembuhkan. [Paramuda/BersamaDakwah]