Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat, kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Medengar hal itu, Umar dan Abu Ubaidah pun bergegas menemui mereka untuk mencegah timbulnya fitnah dan memberitahu mereka siapa yang dia setujui untuk menjadi khalifah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Namun, kemudian mereka justru membaiatnya: Umar atau Abu Ubaidah, sementara Umar tidak menyangka bahwa baiat itu ditujukan kepadanya.
Mari kita simak pemaparan Abu Hafsh Umar bin Khaththab tentang peristiwa tersebut, sebagaimana dikutip dalam buku 10 Shahabat yang Dijanjikan Masuk Surga karya Abdus Sattar Asy-Syaikh.
Umar menuturkan, “Aku berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, silakan pimpin kami menemui saudara-saudara kita dari kaum Anshar.”
Maka kami pun berangkat untuk menemui mereka. Ketika kami sudah hampir sampai, dua orang shalih datang menemui kami dan mengutarakan kesepakatan orang-orang. Mereka bertanya, “Hendak kemana gerangan kalian wahai kaum Muhajirin?”
Kami menjawab, “Hendak menemui saudara-saudara kami kaum Anshar.”
Mereka berkata, “Jangan sekali-kali kalian mendekat kepada mereka, batalkan rencana kalian.”
Namun saya katakan, “Demi Allah, kami harus mendatangi mereka”.
Maka kami pun berangkat hingga mendatangi mereka di Saqifah Bani Sa’idah, ternyata di sana ada seorang laki-laki yang berselimut kain di tengah-tengah mereka.
Saya pun bertanya, “Siapakah ini?”
Mereka menjawab, “Ini Sa’ad bin Ubadah.”
Saya bertanya lagi, “Ada apa dengannya?”
Mereka menjawab, “Dia tengah sakit dan mengalami demam yang serius.”
Tatkala kami duduk sebentar, juru pidato mereka bersaksi dan memanjatkan pujian kepada Allah dengan pujian yang semestinya bagi-Nya, kemudian mengatakan,
“Amma ba’du. Kami adalah penolong-penolong Allah (ansharullah) dan laskar Islam, sedang kalian wahai segenap muhajirin hanyalah sekelompok manusia yang terusir dari bangsa kalian, namun anehnya tiba-tiba kalian ingin mencongkel wewenang kami dan menyingkirkan kami dari akar-akarnya serta ingin memonopoli kepemimpinan.”
Tatkala juru pidato itu diam, saya ingin berbicara dan telah saya memperindah sebuah ungkapan kata yang membuat saya terkagum-kagum dan ingin saya ungkapkan di hadapan Abu Bakar, yang dalam beberapa batasan saya sekedar menyindirnya.
Tatkala saya ingin bicara, Abu Bakar menegur, “Tunggu sebentar!”
Maka saya tidak suka jika niatku menjadikannya marah! Maka Abu Bakar berbicara, dia lebih lembut daripadaku dan lebih bersahaja.
Demi Allah, tidaklah dia meninggalkan sebuah kata yang saya kagumi dalam susunan yang saya buat indah selain ia ucapkan dalam pidato dadakannya yang semisalnya atau bahkan lebih baik hingga dia diam.
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]
Bersambung ke Kisah Pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’idah (2)