“Semoga saya cukup panjang umur. Untuk melihat Afi usia 40an,” kata Dian, seorang teman di komunitas pecinta dunia literasi.
Soalnya, kata teman yang ibu rumah tangga itu, dulu pertanyaan Afi itu pernah ia ajukan dan gugat kepada orangtuanya. “Sekitar 28 tahun lalu. Saya hanya diminta rajin ngaji aja. Saya cari lewat buku-buku. Saya sempat baca buku GM (Goenawan Mohamad), sedikit Rumi dan sedikit Ghibran. Nggak ketemu juga,” ungkapnya.
Afi dan Agama Warisan (?)
Asa Firda Inayah atau anagram dari akun Afi Nihaya belakangan memang menjadi buah bibir di jejaring sosial Facebook. Pasalnya ia menulis tentang “Warisan” pada 15 Mei 2017 di dinding jejaringnya yang mengundang polemik yang tak produktif. Tulisannya pun dibagikan oleh warganet sejumlah 66.538, direspons 20.701 komentar dan mengundang reaksi sebanyak 112.822.
“Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak,” kutipan kalimat Afi di paragraf pertama.
Sejak dari alam rahim, bayi adalah fitrah (muslim). Orangtua kita lah yang membentuk apakah akan menjadi seorang nasrani, yahudi atau majusi.
Barangkali kita memang “menerima” warisan dari orangtua meski hanya sebuah cap. By given. Namun di usia baligh kita diberikan akal untuk berpikir, kritis mencari kebenaran.
Sejak usia 7 tahunan, kita sebenarnya sedang memasuki proses pencarian kebenaran. Otak yang dianugerahkan Allah SWT kepada kita mulai berfungsi secara baik dan mulai melakukan aktifitas pencaharian. Dan salah satunya tentang hakikat agama. Makanya, orangtua diminta ‘menjewer’ anaknya jika di usia ini tidak menjalankan perintah sholat.
Kita bisa melihat, banyak kasus dimana orangtuanya Islam tetapi setelah baligh ia malah hengkang dari Islam. Sebaliknya ada yang kedua orang tuanya non-muslim kemudian anaknya justru mendapat hidayah dan menjadi Islam.
Kita bisa berkaca pula pada Nabi Nuh, misalnya. Ia mempunyai anak yang tidak ikut agama ayahandanya dan Nabi Nuh tidak bisa mewariskan kepada semua anaknya. Nabi Ibrahim pun sama, tidak mendapatkan warisan ajaran bapaknya yang penyembah berhala.
Kita “Pernah” Seperti Afi
Seperti yang dialami Dian pada awal tulisan ini. Kita pernah mengalami fase seperti Afi.
Dian remaja masih mencari-cari. Sampai pada akhirnya ia berjumpa dengan suami. Ia mulai terbuka dan akhirnya mencari tahu lewat Alquran dan banyak kajian keislaman daring. “Alhamdulillah. Selamat saya dari pemikiran liberal. Nyaris dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Dina Y. Sulaeman juga beberapa tahun lalu,” ujarnya.
Makanya saat membaca kebaperannya (Afi) ia merasakan galau itu. Dian berdoa semoga Allah sayang dengan Afi. Dijadikan logikanya mentok. “Hingga akhirnya Afi menggunakan hatinya dan imannya dalam mengenal Islam. Amin,” katanya.
Ketika zaman sekolah menengah pertama, saya pernah mengalami fase gugatan seperti Afi meski kadarnya dan kasusnya berbeda. Saya pernah mengeluarkan ujaran yang konyol kepada kakak perempuan saya ketika ditanya suka perempuan yang berkerudung atau tidak.
“Lebih suka yang tidak memakai kerudung. Karena terbukanya perempuan itu aku tahu kalau rambutnya bagus atau tidak. Nah, kalau yang pakai jilbab kan tidak ketahuan apakah rambutnya lurus, kriwil, kriting atau malah justru rambutnya tempat ternak kutu gimana hayoo?” kata ketika itu yang menolak melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah swasta dan memilih SMP negeri karena masalah kualitas.
Afi adalah adik kita. Afi adalah anak kita. Afi adalah sama dengan kita. Ia hanya seorang remaja 18 tahun yang menggunakan ponsel seharga Rp600 ribu untuk menuangkan gagasan lewat hobinya menulis dari kebiasaannya membaca. Afi hanya anak dari bapak penjual aci dicolok (cilok) asal Gambiran, Banyuwangi yang mempunyai habit yang berbeda dibanding remaja pada umumnya yang doyan swafoto dan OOTD.
Afi masih remaja. Butuh waktu lebih untuk pencarian. Barangkali tidak cukup hanya dengan 10, 20 atau seperti kata Dian, “Ingin melihat Afi usia 40-an”. Rangkul saja ke koridor yang tidak bodor. Agar gadis cergas itu tidak terlalu lekat dengan para penggaung “warisan” dan domba-domba kebebasan yang tersesat. Atau jika kebencianmu sudah sampai ke ubun-ubun, saingi saja kebiasaan baik Afi yang doyan baca dan tulis, bukan menjadi aktivis lambe turah di linimasa.
Semua orang boleh protes, semua orang butuh proses. [Paramuda/BersamaDakwah]