Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan pernyataan seorang Jenderal, “jangan terlalu dalam mempelajari agama.” Protes pun menggema di media sosial. Benarkah pernyataan kontroversial itu?
Jika maksud “terlalu dalam mempelajari agama” adalah melampaui batas kedalaman belajar agama, sesungguhnya tidak ada orang yang bisa melakukannya.
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah: “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al Kahfi: 109)
Sehingga pernyataan “jangan terlalu dalam belajar agama” dalam makna ini tidak perlu diucapkan. Karena tanpa diperingatkan pun, manusia takkan melakukannya. Mirip dengan kalimat, “jangan berlari melebihi kecepatan cahaya.” Tidak perlu diucapkan karena tidak ada orang yang berlari sekencang itu.
Mendalami Agama adalah Perintah-Nya
Jika “terlalu dalam belajar agama” berarti memperdalam belajar agama sedalam yang kita mampu, melarangnya adalah sebuah kekeliruan. Seharusnya, anak-anak muda justru didorong agar memperdalam agama sedalam-dalamnya.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At Taubah: 122)
Imam Al Maraghi menjelaskan bahwa ayat ini memberi isyarat tentang kewajiban tafaqquh fid din. Yakni memperdalam ilmu agama.
Istilah tafaqquh fiddin juga terdapat dalam hadits, misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam Adab al ‘Alim wa al-Muta’alim menjelaskan, setiap murid hendaknya memulai belajar ilmu agama dengan yang fardhu ‘ain baginya; tauhid, fiqih, tasawuf. Coba, yang tiga ini saja, sudahkah kita belajar? Sudahkah kita memperdalam?
Jangan Larang Mendalami Agama
Jika ada yang melarang memperdalam belajar agama dengan alasan terjadi penyimpangan -khususnya radikalisme dan intoleransi- coba kita pikirkan, siapa manusia yang paling dalam agamanya? Tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum.
Jangan tanya akhlak Rasulullah, beliau adalah manusia terbaik dengan akhlak yang agung (akhlaqul ‘adhimah). Betapa beliau sangat pemaaf, bahkan kepada orang yang menurut kita tidak pantas dimaafkan.
Mungkin ada orang yang bisa memaafkan ketika dirinya disakiti. Namun bagaimana jika yang disakiti adalah putrinya, hingga gugur janinnya? Bisakah kita memaafkan pelakunya?
Ketika Zainab binti Rasulullah berangkat hijrah ke Madinah, Habbar bin Al-Aswad menghadangnya. Tak hanya menyakiti dengan kata-kata, Habbar juga mengguncang-guncangkan sekedup yang dinaiki Zainab hingga putri Rasulullah itu terjatuh dan mengalami keguguran.
Setelah penaklukan Makkah, Habbar datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk masuk Islam. Rasulullah pun memaafkan Habbar begitu saja. Padahal kalau Rasulullah mau, semua orang mendukung beliau mengeksekusi Habbar.
Begitu pula Rasulullah memaafkan Wahsy dan Hindun. Wahsy yang membunuh paman beliau, Hamzah. Lalu Hindun yang merobek dada dan memamah jantung Hamzah. Rasulullah memaafkan keduanya.
“Itu kan Rasulullah,” terkadang demikian orang tak terima dengan contoh sempurna. Baiklah, siapa orang yang paling dalam agamanya di Indonesia? Kita ambil dua teladan sebagai contoh bersama.
Pertama, KH Hasyim Asy’ari. Pendiri NU ini tidak hanya menjadi guru bagi ulama-ulama yang kelak mendirikan pesantren-pesantren besar di Indonesia. Dengan dakwahnya penuh hikmah, masyarakat berubah. Lebih mandiri, tidak lagi bergantung dari pabrik gula Belanda. Dengan dakwah yang santun tanpa menghakimi, orang-orang di sekitar Tebu Ireng meninggalkan dunia gelap prostitusi yang sengaja didirikan oleh penjajah Belanda di sekitar pabrik gula.
Kedua, KH Ahmad Dahlan. Pendiri Muhammadiyah ini terkenal dengan teologi Al-Ma’un. Beliau mengajak umat Islam tidak hanya berhenti pada praktik-praktik ritual keagamaan saja, tetapi juga melakukan berbagai kegiatan amal sosial sebagaimana Allah perintahkan dalam Surat itu. Maka berdirilah panti-panti asuhan. Lalu Rumah Sakit PKU pada 1923. Dan terus berkembang hingga kini Muhammadiyah memiliki 163 Universitas, 23 ribu PAUD dan TK, 348 pondok pesantren, 117 rumah sakit, 600 klinik dan ribuan sekolah.
Jadi, perdalamlah belajar agama. Islam akan menuntun kita mencapai kehidupan yang penuh keberkahan, bukan hanya dengan ibadah mahdlah kepada Allah, tetapi juga menuntun kita lebih bermanfaat bagi sesama manusia. Jadi, di mana radikalisme dan intoleransinya? [Muchlisin BK/BersamaDakwah]