Beranda Keluarga Suami Istri Bercerai, Siapa yang Paling Berhak Mengasuh Anak?

Suami Istri Bercerai, Siapa yang Paling Berhak Mengasuh Anak?

0
Keluarga muslim (darifta)

Sebagian dari masyarakat kita tidak mengetahui atau belum mengetahui tentang siapa yang paling berhak mengasuh anak ketika telah terjadi perceraian antara pasangan suami istri.

Dalam kitab Ittihaafu Uli Al-Albab Bihuquuqi Ath-Thifli Wa Ahkamihi fi Su-ali Wa Jawab karya Abu Abdullah Ahmad bin Ahmad Al-‘Isawi disebutkan, bahwa para ulama sepakat ibu lebih berhak dalam mengasuh anak ketimbang yang lainnya dengan syarat ia berakal, baligh, mampu mengasuh, belum menikah, beragama Islam, merdeka, bertaqwa. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam,

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِيْ

Kamu lebih berhak terhadap bayimu selama kamu belum menikah.” (HR. Abu Daud).

Jika ternyata syarat tersebut tidak terpenuhi maka mayoritas ulama berpendapat mendahulukan nenek dari pihak ibu dan terus ke atas, kemudian ayah kemudian nenek dari pihak ayah dan terus ke atas. Hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim lebih mendahulukan kerabat ayah setelah ibu.

Ibnul Qayyim mengatakan,

“Landasan dan kaidah syariat membuktikan bahwa kerabat ayah di dalam warisan, perwalian menikah, perwalian terhadap yang sudah meninggal dan lain-lain lebih didahulukan atas lainnya. Tidak pernah didapatkan dalil dalam syariat yang mendahulukan kerabat ibu ketimbang kerabat ayah dalam hukum apapun. Barang siapa yang mendahulukan kerabat ibu daripada kerabat ayah berarti ia telah menyelisihi dalil.”

Sebenarnya didahulukannya ibu daripada yang lainnya karena wanita lebih memiliki perasaan lembut terhadap anak kecil, lebih pengalaman dan lebih sabar dalam merawatnya. Oleh karena itu, nenek dari pihak ayah lebih didahulukan daripada nenek dari pihak ibu, saudara perempuan dari pihak ayah lebih didahulukan daripada saudara perempuan dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah lebih didahulukan daripada bibi dari pihak ibu. Demikian yang dijelaskan oleh Ahmad dalam salah satu riwayat.

Atas dasar ini berarti nenek dari pihak ayah lebih didahulukan daripada kakek dari pihak ayah sebagaimana ibu lebih didahulukan daripada ayah. Apabila kaidah ini telah terbukti maka kaidah ini yang dapat dilaksanakan dan tidak bertentangan dengan perkara furu’ (cabang). Apabila satu kerabat berada dalam satu derajat maka perempuan tetap didahulukan daripada yang laki-laki. Seperti saudara perempuan lebih didahulukan daripada saudara laki-laki, bibi lebih didahulukan daripada paman, nenek lebih didahulukan daripada kakek sebab pada asalnya ibu lebih didahulukan ketimbang ayah.

Selanjutnya, apabila ada perbedaan tingkat, maka kerabat ayah lebih didahulukan daripada kerabat ibu. Seperti saudara perempuan seayah lebih didahulukan daripada saudara perempuan seibu, bibi dari pihak ayah lebih didahulukan daripada bibi dari pihak ibu, bibi ayah dari pihak kekek lebih didahulukan daripada bibi ayah dari pihak nenek, demikian seterusnya. Demikianlah standar yang benar dan qiyas yang dapat dijadikan acuan.

Dengan kaidah inilah Syuraih, salah seorang hakim senior dalam sejarah Islam memberikan keputusan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Waki’ dalam kitabnya Al-Mushannaf dari Al-Hasan bin Uqbah dari Sa’id bin Al-Harits bahwa suatu ketika paman dari pihak ayah dan paman dari pihak ibu bertengkar memperebutkan seorang anak kecil dan mereka mengangkat kasus ini kepada Syuraih.

Syuraih lalu memberikan keputusan bahwa paman dari pihak ayah lebih berhak daripada paman dari pihak ibu. Kemudian paman si anak dari pihak ibunya berkata, “Akan tetapi aku yang telah menafkahi anak ini.” Lalu Syuraih menyerahkan anak tersebut kepada paman dari pihak ibu.

Kisah ini menjelaskan bahwa pada asalnya tetap dilihat kemaslahatan yang paling besar untuk anak yang akan diasuh. Adapun mendahulukan kerabat ibu daripada kerabat ayah. Menurut hemat penulis, tidak ada yang lebih kuat dari dua pendapat di atas. Wallahu A’lam.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]