“Dia tidak pandai matematika tapi Ondeng pandai menggambar,” kata Pak Guru kepada murid-muridnya di kelas, lebih tepatnya kandang sapi yang disulap menjadi kelas.
Ondeng (Didi Mulya) adalah murid yang bertubuh paling besar, paling senior dibanding teman-temannya. Seharusnya ia sudah SMP, atau barangkali sudah masuk SMA. Hanya saja ia murid yang susah menangkap pelajaran, mengidap difabel grahita.
Ondeng dan teman-temannya seperti Inal, Nia, Aska dan Yanti terus berjuang untuk mendapatkan pendidikan di sebuah sekolah dasar gratis yang dibangun oleh Pak Guru. Tiap hari mereka harus melewati perjalanan yang jauh untuk menuju sekolah. Melewati jembatan “maut”.
Kemampuan Ondeng menggambar sketsa menjadi kesibukan hari-harinya, baik saat di kelas maupun di luar rumah. Ia kerap ‘merekam’ semua yang menjadi ketertarikannya dalam gambar sketsa, termasuk kehidupan ayahnya yang seorang nelayan–yang begitu mencintainya selepas ibunya meninggal. Juga jembatan “maut” yang selalu dilalui sahabat-sahabatnya. Cita-cita “kecil” Ondeng adalah untuk membangun jembatan yang setiap hari dilalui sahabat-sahabatnya itu.
Ketakutan terbesar Ondeng kehilangan ayahnya. Ia tidak tahu bagaimana jika ayahnya pergi untuk selama-lamanya. Ketakutan lain adalah ia khawatir tak bisa mewujudkan mimpinya membangun jembatan.
Di sebuah puncak perbukitan, ketika teman-temannya diminta untuk menulis namun tak punya alat tulis, Ondeng melakukan hal yang tak diduga. Ia memotong pensilnya menjadi lima bagian. Sebuah momen yang selanjutnya mengubah potongan-potongan pensil itu menjadi jembatan.
Film besutan sutradara Hasto Broto dan diproduksi Grahandika Visual dengan judul “Jembatan Pensil” itu mengingatkan kita pada film Laskar Pelangi. Sama-sama mengisahkan tentang sukarnya dan kusutnya akses pendidikan di kawasan terpencil di sudut Indonesia.
Bangunan sekolah yang reyot, guru yang tidak menerima bayaran alias sukarela, jalan terjal dan jauh yang harus ditempuh para siswa, sebuah gambaran Laskar Pelangi yang ada juga di Jembatan Pensil. Disadari atau tidak, film ini menyerukan bahwa masih banyak ketimpangan akses pendidikan di negeri ini. Keadilan dalam pendidikan masih di atas kertas dan wacana-wacana. Tak seindah iklan properti yang mengajak semua orang kaya “aku mau pindah ke kota itu”.
Tokoh Pak Guru (Andi Bersama) dan putrinya, Bu Aida (Alisia Rininta) mengingatkan kita pula kepada sosok Pak Harfan dan Bu Muslimah. Mereka sama-sama mengabdi meski tak ada rupiah menanti. Keserupaan ini terobati dengan puritas pemilihan setting film, yang menggambarkan betul potensi alama Kabupaten Muna. Garis cakrawala yang mempesona, bentang laut yang jernih dengan warna hijau tosca di Maleura, seakan mengumandangkan tentang betapa kayanya Indonesia. Hasto seolah merayu penonton agar menginjakkan kaki ke tanah Sulawesi selepas menyaksikan ragam pemandangan yang disajikan.
Sayang seribu kali sayang, di balik surga bernama keindahan alam itu masih ada gelombang kemiskinan yang bergejolak. Seperti lima sekawan itu yang hidup sangat memprihatinkan dan di bawah garis kemiskinan.
Yang menarik, film ini berani menampilkan isu anak yang memiliki kebutuhan khusus. Di lima sekawan itu, selain Ondeng, ada Inal yang merupakan difabel netra. Kehadiran dua difabel seolah mengumumkan bahwa semua anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Meski perisakan di sekolah tak bisa dihindarkan.
Daya tarik kedua, kedua sosok difabel itu ternyata bukanlah sosok yang memiliki kebutuhan khusus di dunia nyata. Baik Angger Bayu (Inal) maupun Didi Mulya, benar-benar all out dalam berakting dan itu tampak sekali dari gestur mereka sepanjang bingkai film.
Sebagian pemeran terkesan memaksakan logat Sulawesi. Tidak mudah memang menggunakan logat daerah, ini menggambarkan seolah para pemainnya kurang lama berinteraksi dengan warga setempat. Untungnya terbantu dengan warga sekitar yang mampu bicara dengan logat secara alami–perbedaannya sangat kentara.
Kehadiran pemain kondang seperti Kevin Julio sebagai Gading, Meriam Bellina sebagai istri Pak Guru dan Deden Bagaskara sebagai ayah Ondeng, menambah aspek drama film ini. Fragmen cerita romansa di sana, yang mencetus konflik percintaan, menjadi bagian yang mengundang penonton kelas remaja. Sebuah film keluarga yang kaya makna seperti jembatan dan sebatang pensil. [Paramuda/BersamaDakwah]