Di sebagian masyarakat, apabila seseorang menikah dengan kerabat dekat, maka itu sebuah kewajaran. Namun, di sebagian masyarakat, hal ini bukan sebuah hal lazim.
Lalu, apakah hukumnya boleh atau tidak boleh? Mubah atau makruh? Dalam hal ini, salah seorang penulis dari Arab Saudi bernama Abu Abdullah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, dalam sebuah bukunya yang berjudul Ittihaf Uli Al-Albab Bi Huquqi Ath-Thifli wa Ahkamih fi Su`al Wa Jawab menjawabnya dengan lugas.
Menurutnya, dia pribadi belum pernah mendapatkan hadits shahih atau hasan yang menyatakan makruh hukumnya menikah dengan kerabat dekat. Hanya saja banyak ulama menganjurkan agar menikah dengan orang yang bukan kerabat.
Di satu sisi alasannya agar fisik sang anak tidak lemah dan ini merupakan perkara yang cukup penting. Di sisi lain adalah untuk menjaga agar hubungan antar manusia tidak melemah.
Sebagian kalangan menyebutkan perkataan Al-Ashma’i yang menyatakan, “Anak-anak gadis dari paman lebih sabar dan gadis-gadis lain lebih subur.”
Dr. Ali Hasbullah mengatakan,
“Mungkin alasannya adalah apabila suami istri masih memiliki hubungan kerabat yang sudah kenal dekat (sejak kecil), akan menjadi salah satu sebab lemahnya hasrat dan gairah.
Adapun menikah dengan orang yang bukan kerabat, secara alami memberikan dorongan dan cita rasa untuk mendapatkan keturunan sehingga hal itu menambah kekuatan dan kebaikan.
Ibaratnya seperti mengokulasi satu jenis tanaman buah dengan jenis tanaman buah lainnya sehingga menambah keberkahan dan keindahan pohon tersebut.”
Penulis Kitab Fathu Al-Bari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, menukil perkataan Asy-Syaafii Rahimahullah tentang makruhnya seorang laki-laki menikah dengan wanita dari kerabatnya.
Alasannya, di antara tujuan menikah untuk menyambung hubungan antara kabilah sehingga mereka saling melengkapi dan saling bahu membahu dalam satu kesatuan.
Hal ini tidak bertentangan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau menikah dengan Zainab Radhiyallahu Anha dan di saat beliau menikahkan putri beliau Fathimah Radhiyallahu Anha dengan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu.
Sebab, apa yang beliau laksanakan untuk menjelaskan bahwa menikah dengan kerabat hukumnya boleh.
Sementara itu, Dr. Izzudin Farraj berkata,
“Barangkali, salah satu alasannya adalah jika seseorang menikah dengan kerabat dekat akan mempertegas dan menimbulkan sifat yang dominan dan lebih kuat di dalam rumah tangga, terlebih lagi apabila sifat tersebut adalah sifat buruk.
Berbeda jika seseorang menikah dengan wanita yang bukan kerabat, karena dapat meminimalkan cacat fisik dan penyakit turunan. Menikah dengan kerabat juga terancam akan melahirkan anak-anak yang cacat, karena beberapa penyakit keturunan tersembunyi (terkarantina) karena faktor-faktor genetika.
Pendapat ini berargumen dengan pernyataan Dr. Karl George, pakar genetika dari Universitas Amerika, ia berkata,
“Sebenarnya menikah dengan kerabat dekat bukanlah faktor penyebab lemahnya keturunan atau timbulnya penyakit dan cacat turunan pada anak secara mutlak.
Jika faktor gen sendiri bukan gen yang lemah, maka tidak mustahil akan terlahir darinya anak-anak yang kuat dan steril. Hanya saja kondisi semacam ini yang mana keluarga akan tetap sehat sangat jarang didapati.”
Kemudian ia menegaskan pendapatnya bahwa menikah dengan kerabat dekat berbahaya bagi rumah tangga. Jika ternyata pendapat ini benar (teruji secara ilmiah) maka ia bisa menjadi pegangan. WAllahu A’lam.
Semoga dapat bermanfaat. Aamiin.
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]