Seperti rezeki, jodoh harus dijemput. Bagaimana cara menjemput jodoh? Salah satunya dengan memantaskan diri.
Setiap orang yang normal pasti ingin menikah. Sebab menikah adalah fitrah. Dengan menikah, hidup menjadi lebih tenang karena kebutuhan biologis tersalurkan dan kebutuhan psikologis hadirnya teman sejati terpenuhi. Dengan menikah, manusia juga bisa mendapatkan keturunan.
Bagi orang yang beriman, menikah menjadi lebih sakral. Sebab, menikah adalah titah Allah dan Rasul-Nya. Menikah adalah ibadah sekaligus jalan kemuliaan yang melipat gandakan pahala.
Titah Allah dan Rasul-Nya
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menikah. Misalnya dalam Surat An-Nisa’ ayat 3. Allah juga memerintahkan para wali untuk menikahkan para pemuda yang sudah siap berumah tangga. Soal rezeki, Allah-lah yang menjaminnya.
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para pemuda yang memiliki ba’ah untuk segera menikah di usia muda. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki ba’ah (kemampuan), hendaklah ia segera menikah. Karena itu akan lebih mudah menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan istilah syabab. Fauzil Adhim dalam buku Indahnya Pernikahan Dini menjelaskan, syabab adalah sesesorang yang telah mencapai masa aqil-baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Asalkan sudah memiliki ba’ah (kemampuan), maka Rasulullah menganjurkannya untuk segera menikah.
Anjuran menyegerakan inilah yang menjadi landasan untuk menjemput jodoh. Dalam artian, pemuda muslim tidak boleh pasif, ia harus proaktif baik dengan mengoptimalkan ikhtiar dan memperbanyak doa.
Keteladanan ulama
Menikah adalah ibadah sekaligus jalan kemuliaan. Menikah juga merupakan separuh agama. Tanpa menikah, agama seseorang tak bisa sempurna.
Pernah ada tiga orang yang hendak menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ternyata, Rasulullah sedang tidak berada di kediaman beliau. Mereka hanya mendapati Bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha dan kemudian bertanya kepada beliau bagaimana ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika Bunda Aisyah menjelaskan bagaimana ibadah Rasulullah, mereka sangat bersemangat untuk meningkatkan ibadah. Salah seorang dari mereka bertekad untuk selalu shalat malam dan tidak tidur. Orang kedua bertekad untuk berpuasa setiap hari. Dan orang ketiga bertekad untuk selamanya membujang, tidak menikah.
Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan meluruskan pemahaman mereka. Beliau mensabdakan kepada mereka bahwa beliau shalat malam tapi juga tidur. Beliau kadang puasa, kadang berbuka. Dan beliau juga menikah.
Karenanya, para ulama juga memberikan keteladan serupa. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak suka bertemu dengan Allah dalam kondisi jomlo.”
Thawus rahimahullah mengatakan, “Takkan sempurna ibadah seorang pemuda sampai ia menikah.”
Baca juga: Menjemputmu di Ujung Rindu
Memantaskan diri
Banyak cara menjemput jodoh. Mulai dari ikhtiar bumi hingga ikhtiar langit. Ikhtiar bumi antara lain melamar calon istri kepada ayah atau walinya. Ikhtiar langit misalnya memperbanyak sedekah dan doa.
Di antara ikhiar paling mendasar dalam menjemput jodoh adalah dengan memantaskan diri. Pertama, memantaskan diri untuk siap menikah. Artinya, bagi laki-laki muslim, ia harus berpenghasilan karena itulah poin penting dari ba’ah, kesiapan memberi nafkah. Bagi muslimah, ia siap berumah tangga, tidak lagi kenanak-kanakan yang selalu mengandalkan ibunya.
Kedua, memperbaiki diri agar menjadi calon suami yang shalih dan calon istri yang shalihah. Ini langkah dasar agar mendapatkan jodoh yang sepadan. Sebab ketentuan umumnya, Allah akan menghadirkan laki-laki yang baik untuk wanita yang baik.
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). QS. An-Nur: 26)
Tidak adil jika seorang laki-laki ingin mendapatkan istri shalihah tapi dia sendiri bejat dan tak mau memperbaiki diri. Demikian pula, tidak pantas jika seorang wanita ingin mendapatkan suami shalih sementara dirinya terus menerus bermaksiat dan tak mau bertaubat.
Asbabun nuzul ayat ini terkait dengan haditsul ifki. Dengan ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, Bunda Aisyah tidak mungkin berbuat keji karena beliau adalah istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]