Beranda Pemuda Mereka yang Menjadi “Laki-laki Panggilan”

Mereka yang Menjadi “Laki-laki Panggilan”

Lokasi: Masjid Ukhuwah Islamiyah UI. (ilustrasi: Paramuda)

Ramadhan tahun lalu adalah awal bagi Mujahid (20) menjadi “laki-laki panggilan”. Laki-laki panggilan di sini bukan berkonotasi negatif, melainkan istilah untuk laki-laki yang mendapat panggilan berdakwah. Baik panggilan dakwahnya berupa mengisi tausiyah, ataupun menjadi imam masjid untuk waktu-waktu tertentu. Dalam bab ini, fokus panggilan menjadi imam sholat.

“Yang mengundang kementerian kesehatan. Sholat tarawih,” kata mahasiswa jurusan tafsir hadits STIU Alhikmah Jakarta itu, saat berbincang hangat dengan BersamaDakwah, Sabtu (25/2/2017).

“Yang mengundang kementerian kesehatan. Sholat tarawih,” kata mahasiswa jurusan tafsir hadits STIU Alhikmah Jakarta itu

Laki-laki bertubuh gemuk itu mendapatkan tawaran untuk jadi imam dari murid ayahnya yang kerap mengaji di rumahnya. Kebetulan sang murid tersebut tahu kalau Mujahid bacaan dan hafalan alqurannya bagus.

“Murid ayah kebetulan juga dinas di kementerian kesehatan,” ujarnya.

Berapa imbalan yang diterima Mujahid? Ia malu untuk mengungkapkannya karena bukan jenis pekerjaan pada umumnya. Namun pada akhirnya ia bicara. “Sebenarnya tiga hari yang diminta. Tapi saya hanya mengambil dua hari saja karena waktu itu mau fokus iktikaf 10 hari terakhir Ramadhan. Hari pertama diberi Rp 750 ribu. Hari kedua sekitar Rp 1 juta,” ungkap Jahid, begitu ia akrab disapa.

Berbeda dengan Mujahid, Abu Muhammad sudah menjadi “laki-laki panggilan” sudah empat tahun terakhir ini. “Terakhir itu Idul Adha kemarin, imam sholat Id. Di area jalan raya sekitar Jakarta Selatan,” kata Abu. Abu mengaku mendapatkan imbalan yang cukup ketika itu, “Sejumlah Rp 750 ribu,” ujarnya.

Ia tak mengalami kendala yang berarti. Sebelum mulai ia meyakinkan diri dengan hafalan yang benar-benar ia hafal. “Dulu awal-awal sempat grogi. Tapi sekarang nggak begitu, yang penting dengan hafalan yang benar-benar hafal,” kata penggagas nama masjid Shoutul Quran di gedung perkantoran mentereng SQ Jakarta Selatan itu.

Menjadi “laki-laki panggilan” bukan hal aneh di kota-kota metropolitan seperti Jakarta. Untuk “laki-laki panggilan” dalam hal ini khusus imam sholat memang ramai ketika bulan Ramadhan. Tapi tidak menutup kemungkinan di hari biasa seperti menjadi imam qiyamul lail ketika ada agenda malam bina iman dan taqwa (mabit).

Laki-laki yang bergelar sebagai aktivis dakwah tentu tak segan untuk menerima panggilan dakwah itu. Sur’atul Istijabah.

Imam Asy-Syahid Sayyid Quthb rahimahullah menjelaskan bahwa sur’atul istijabah adalah tindakan pemenuhan fitrah yang bersih untuk memenuhi seruan dakwah yang haq dan lurus. Di sana ada kejujuran, kelapangan, kekuatan semangat, pengetahuan yang benar dan sambutan akan cetusan qalbu yang hebat atas kebenaran yang nyata.

Sementara Hasan Al-banna menggambarkan, “Keimanan mujahid yang terejawantah dalam kesigapannya melaksanakan kebaikan, tugas dan kewajibannya adalah refleksi dari jiwa yang bertanggung jawab yang akan mampu menghindari penyesalan, kerugian dan penderitaan. Ia pun bersegera menuntut ihsan dan itqonul ‘amal sehingga membuahkan natijah yang konkret.”

Hasan Al-banna menggambarkan, “Keimanan mujahid yang terejawantah dalam kesigapannya melaksanakan kebaikan, tugas dan kewajibannya adalah refleksi dari jiwa yang bertanggung jawab

Mujahid dan Abu Muhammad hanya segelintir contoh dari ribuan pemuda Islam yang juga menerima panggilan suci itu. Mereka menekankan bukan materi yang didapatkan namun kebahagiaan bisa menumpuk pundi-pundi amal untuk hari pembalasan nanti.

Penulis masih teringat dengan nasihat Ustadz Shofwan Djauhari, Lc., “Seorang dai harus berpenghasilan di luar kegiatan dakwah. Jangan mengandalkan hidup dengan menjadi ustadz ‘Simatupang’,” ujarnya. Simatupang adalah akronim dari siang malam nunggu panggilan (ceramah, mengisi jadi imam sholat). [Paramuda/BersamaDakwah]