Awal pekan bulan Agustus 2016 yang bertepatan dengan awal Dzulqo’dah 1437 Hiijriyah heboh dengan sebuah kabar pernikahan. Muhammad Alvin Faiz yang merupakan putra pertama Ustadz Muhammad Arifin Ilham menikah dengan seorang muallafah beretnis Tionghoa kelahiran Cirebon Jawa Barat, Larissa Chou.
Hampir seluruh media online islami memberitakan pernikahan ini dengan gemuruh semangat yang sukar digambarkan. Bahkan media-media siar pun ikut mengabarkan pernikahan ini, berturut-turut dalam beberapa hari.
Bagi kita, para aktivis, kabar pernikahan di usia muda ini sejatinya memiliki lebih dari satu makna. Bahwa Alvin berusia 17 tahun dan Larissa Chou 20 tahun merupakan capaian monumental jika pembandingnya adalah anak-anak artis yang sudah diajari pacaran dan pergaulan bebas sejak dini. Sehingga, sang ayah melalui pernyataan resminya menyebut bahwa nikah mudanya Alvin diharapkan menjadi Gebrakan Uswah di era global zina.
Kedua, seharusya kita tidak perlu terlalu heboh dengan pernikahan ini. Mula-mula, kita harus mendoakan agar Alvin dan istrinya diberi keistiqamahan agar bisa menjadi teladan bagi diri, kelurga, dan kaum Muslimin hingga akhir hayat mereka.
Keduanya hanyalah manusia yang memiliki peluang berbuat buruk sama besarnya dengan peluang melakukan kebaikan. Doa-doa kitalah yang kelak membantu hingga Alvin dan istrinya senantiasa diluruskan niatnya dan dibimbing menuju kekuatan untuk istiqamah sampai akhir hayat.
Selanjutnya, nikah muda ini harus dipahami sebagai hal yang lumrah. Tengoklah para pendahulu-pendahulu dakwah ini. Mereka merupakan sosok yang gegas dalam memperbaiki diri, memilih mematangkan ilmu dan kafa-ah, lalu memutuskan menikah sebelum usia 20 atau 25.
Sama dengan niat ayah dan ibu Alvin, para pendahulu dakwah menikah dengan niat melakukan perintah Allah Ta’ala, menjejaki sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, dan melindungi diri dari gempuran godaan zina yang kian memekakan hati dan pikiran juga fisik.
Yang seharusnya kita khawatirkan ialah jika kita belum benar-benar berusaha untuk menyempurnakan separuh agama, sementara masa mengikuti kajian sudah teramat lama, banyak mengkhatamkan kitab-kitab dakwah, dan usia pun sudah mengalami ambang batas produktif.
Kondisi ini akan semakin memprihatinkan jika dihadapkan pada fakta banyaknya akhwat-akhwat kita yang belum menikah, sementara usianya sudah di atas 30 bahkan ada yang lebih dari 40 tahun. Betapakah para ikhwah itu masih tega berbusa-busa membuat alasan sementara ada saudara-saudara satu iman yang berada dalam masa genting untuk segera ditolong?
Banyak akwah-akhwat kita yang menangis dalam keramaian seraya memohon kepada Allah Ta’ala agar didatangi sang ikhwah sejati. Banyak di antara mereka yang memilih menyibukkan diri dalam berbagai amanah dakwah siang dan malam sepanjang hari untuk mengusir sepi di dalam sanubarinya.
Mereka tersenyum untuk menutupi perih tatkala melihat kawan seliqo’nya sudah diamanahi suami dan lebih dari satu anak. Mereka menutupi duka, sebab memiliki keinginan yang mendalam untuk benar-benar mendidik sebuah generasi yang dilahirkan dari darah, daging, dan air matanya sendiri.
Tidakkah para ikhwah bujangan ini tergerak hatinya? Masihkah mereka tega mengulik sebanyak-banyaknya alasan untuk menunda sementara kiamat semakin dekat? Tidakkah mereka tergugah untuk ‘nekat’ atas nama dakwah di jalan Allah Ta’ala?
Sungguh fenomena ini akan semakin perih tatkala disandingkan dengan fakta yang selama ini ditutup rapi. Atas suami-suami yang rajin mengaji, tapi diam-diam mengincar seorang akhwat untuk dinikahi dengan cara sembunyi-sembunyi. Meski sah secara hukum, tidakkah mereka berniat mengumpulkan bekal untuk melayakkan diri sebelum menambah amanah?
Semakin rumit tatkala akhwat yang diincar itu masih muda, cantik, umur 20-an tahun, kulit bening, dan seabreg kelebihan fisik lainnya. Sementara para akhwat yang amat besar kontribusinya dalam dakwah itu dibiarkan menangis dalam-dalam sepanjang malam, dan biodatanya masih tergeletak rapi di laci mutarabbiyahnya hanya karena wajah dan fisiknya yang pas-pasan. Allah…
Ya Allah, hamba sudah menyampaikan. Ya Allah, ampuni kesalahan kami. Berikan kekuatan kepada ikhwah-ikhwah agar segera menikah. Berikan kesabaran bagi para akhwat agar senantiasa menjaga diri atas nama cinta kepada-Mu dan Rasul-Mu. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Bersamadakwah]
Tulisan ini dimuat di Majalah Dakwah Islam Al-Intima’ edisi 074