Penduduk asli atau setiap orang yang lahir di suatu wilayah atau negara (misalnya Indonesia) yang menetap di sana kerapkali disebut sebagai pribumi.
Istilah pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar terutama perlakuan yang berbeda oleh rezim yang berkuasa. Sudah lama kah istilah pribumi dipakai?
Pada masanya, orang Cina, orang Portugis dan orang Inggris menyebut semua penduduk Indonesia dari Aceh sampai Sunda Kecil dengan sebutan Selam, bukan Pribumi.
Orang Selam? Ya, orang Selam. Bukan Pribumi. Kata ‘pribumi’ belum lahir. Kemungkinan Ki Hajar Dewantara yang menciptakannya.
Lalu dengan istilah Selam? Maksudnya jelas Islam. Artinya, Selam adalah sebutan untuk semua penduduk Indonesia dari Aceh sampai Sunda Kecil tadi. Ya, pribumi itulah. Dulu, di mata orang asing, Selam dan Tanah Air adalah dua sisi dari satu mata uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang atau tidak, yang santri atau abangan, bahkan juga orang dul-dulan, sama-sama merasa orang Selam. Mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah SWT, dan Muhammad SAW adalah utusanNya. Mereka sejak dulu hidup rukun dan bergotong royong.
Sejak zaman dahulu, para ulama hidup damai dengan para santri dan juga damai di tengah para orang abangan. Para ulama dulu juga tidak membuat garis pemisah di antara keduanya. Memang istilah santri dan abangan , bahkan orang dul-dulan sudah lama ada. Namun dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup dalam kebersamaan yang tak dapat diragukan.
Para ulama dulu juga tidak menghindari bromocorah atau orang-orang sebangsa mereka, tetap orang Selam meski mereka meninggalkan sembahyang (sholat). Bolehkah ditarik kesimpulan bahwa sembahyang tidak penting? Tentu keliru jika ada yang beranggapan demikian. Para ulama ketika itu seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan sebagainya, tak pernah mengajari orang untuk sembahyang. Bukan hanya mengajarkan bacaaan dan tata caranya, melainkan juga mengajari mental agar mereka bisa mewajibkan diri mereka untuk sholat. [Paramuda/BersamaDakwah]
Disarikan dari buku Lingkar Tanah, Lingkar Air karya Ahmad Tohari