Salah satu penyakit yang sulit diduga oleh sebagian orang adalah lumpuh. Siapapun bisa terkena sakit ini, baik orang biasa maupun bangsawan, baik sipil atau militer, baik bintara maupun perwira.
Ketika ditimpa kelumpuhan, maka yang dilakukan dengan segera adalah berobat kepada dokter dan ditangani secara medis. Bisa dengan obat-obatan alami atau juga dengan obat-obat yang telah diolah.
Berobat hanyalah salah satu usaha untuk kesembuhan, namun yang lebih utama dari itu adalah bertawakal kepada Allah Ta’ala.
Dalam hal ini, seorang dokter dari Arab Saudi, Dr. dr. Khalid bin Abdul Aziz Al-Jabir dalam bukunya Musyahadat Thabîb Qashash Waqi’iyah, menyebutkan kisah tawakal seorang perwira yang menderita kelumpuhan. Mari kita simak kisahnya.
Seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun telah menyelesaikan masa belajarnya di sebuah akademi kemiliteran, ia sangat senang atas bintang pangkat yang bertengger di atas pundaknya.
Enam bulan kemudian, tanpa ada yang menyadarinya, ia mengalami lumpuh separuh badannya akibat dari peradangan hebat yang disebabkan oleh virus.
Beberapa dokter mengatakan bahwa radang semacam ini sangat sulit disembuhkan bahkan bisa dikatakan mustahil bisa sembuh.
Saat itu saya berada di ruang perawatan khusus perwira. Pandanganku tertuju kepada pemuda, saya sangat mengenalnya.
Saya bertanya kepada perawat mengenai keadaannya saat ini. Dengan segera perawat itu menjelaskan kondisinya dengan rinci, saya pun mendengarnya dengan sedih.
Kemudian saya memasuki ruang perawatannya melalui pintu khusus besuk (untuk orang yang berkunjung), untuk memberikan sedikit motivasi dan dukungan moril, mengingatkannya agar selalu ingat kepada Allah Ta’ala, dan agar selalu memupuk pengharapan kepada Allah
Akan tetapi, ternyata ia menyambutku dengan senyumnya yang khas seakan-akan ia tidak mengalami apa-apa.
Saat saya mulai berbicara dengannya, ia mengucapkan satu perkataan yang tidak mungkin keluar kecuali dari hati seseorang yang yang di hatinya tertanam iman kepada takdir Allah, yang baik maupun yang buruk.
Ia berkata,
“Dokter, Tuhanku tahu betapa aku melalaikan kitab-Nya (Al-Qur`an), maka Allah Ta’ala memaksaku untuk istirahat dan menghafal Al-Qur`an, segala puji bagi Allah atas nikmat kesempatan ini.”
Ucapan itu terlontar dari bibir seorang pemuda yang sedang menderita penyakit yang sulit tersembuhkan –kecuali dengan izin Allah-, dari seorang pemuda yang kemungkinan besar ia harus keluar dari kesatuannya, yang mungkin selamanya ia harus berada di atas kursi roda, ia mengucapkannya dengan penuh percaya dan penuh harap, dengan tawakal kepada Allah Ta’ala.
Mendengar hal itu, seluruh tubuhku merinding, mataku berkaca-kaca, saya keluar dari ruang perawatannya dengan penuh bahagia atas keimanannya yang kokoh, kesabarannya yang tiada tara.
Tiga hari kemudian tepatnya pada hari Jumat, saya mengunjunginya lagi. Di sana terdapat beberapa orang kerabatnya, salah seorang dari mereka berkata kepadanya,
“Wahai Abu Fulan, gerakkanlah jari kakimu!”
Pemuda itu menjawab, “Saudaraku, aku tidak ingin memaksa kesembuhan dari Allah Ta’ala dengan terburu-buru.”
Saya takjub atas tawakal dan berserah dirinya kepada Allah Ta’ala.
Akan tetapi kemudian saya mengingat satu hal, bahwa ia adalah termasuk orang-orang yang Allah sebutkan di dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (QS. Al-Furqan: 64)
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]
Berlanjut ke Perwira Lumpuh yang Selalu Bertawakal Kepada Allah (Bagian 2)