Rasulullah Saw. tetaplah manusia, nabi akhir zaman itu bukan malaikat. Meski Rasulullah SAW seorang nabi yang memperoleh wahyu, akan tetapi sifat kemanusiaannya tetap melekat. Marah, sedih, suka, gembira, tertawa bahkan bercanda dan lainnya pernah ia alami.
Dimensi kemanusiaannya tak bisa dimungkiri dalam kehidupan sehari-hari. Al-Quran telah tegaskan pula:
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku.”(QS. Al-Kahfi: 110)
Saat Nabi Saw. memberikan rekomendasi obat tertentu, mereka menilai datangnya info itu bukan melalui wahyu, itu semata-mata berdasarkan pengalaman hidup dan kecerdasannya berpikir.
Sirah nabawiyah juga beberapa kali menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bertindak tak selalu berdasarkan wahyu, namun semata-mata karena dilatarbelakangi akal sehat dan pendapat subjektifnya. Hal itu dibolehkan, selama tak ada wahyu atau minimal tak bertentangan dengan wahyu.
Kala Rasulullah Saw. dengan sahabat tiba di wilayah Badar, sebagai panglima pasukan ia mempunyai pilihan untuk menunjuk sebuah tempat sebagai basecamp.
Seorang shahabat yang cukup mempunyai pengalaman dalam peperangan–yang qadarullah berada diantara yang ikut dalam perang Badar itu, Al-Hujab Ibnul Mundzir–menilai bahwa lokasi yang ditunjuk Rasulullah tersebut kurang strategis dan agak kurang menguntungkan. Maka ia pun bertanya:
Ya Rasulallah, apa tempat ini adalah tempat yang Allah Swt. tetapkan untuk engkau, dimana engkau tak bisa maju atau mundur lagi? Atau apakah posisi ini hanyalah sebuah pendapat, peperangan dan makar?
Posisi ini hanya sebuah pendapat, bagian dari siasat perang.
Rasulullah Saw. pun mendengarkan ide dan siasat dari Al-Hujab yang cukup logis, yakni mengambil posisi yang bisa mengcut akses air minum pasukan Quraisy dari sumber sumur; Badar. Dan Rasul mengikutinya.
Pasukan lawan, dengan cara itu, bakal runtuh sebelum bertarung, sebab kehabisan air minum yang sangat urgen untuk bertahan hidup di tengah padang pasir. Siasat Al-Hujab itu ternyata sukses. Pasukan muslim pun memperoleh kemenangan besar dalam perang Badar ini.
Ini sebuah bukti bahwa tak selamanya Rasulullah Saw. bertindak berdasarkan wahyu yang ia dapat. Kadangkala ia juga menggunakan logika pribadi, dan saat itu terjadi bisa akurat, bisa pula tidak meleset. Gagasan Al-Hujab itu salah satu indikasi bahwa Rasulullah mengakui jika hasil buah pikir pribadinya masih bisa dikritisi oleh sahabatnya, oleh orang lain. Wallahua’lam. [Paramuda/BersamaDakwah]