Beranda Keluarga “Saya Ingin Nangis Karena Tak Ada Air”

“Saya Ingin Nangis Karena Tak Ada Air”

Foto: Donny

“Sekarang sedang musim kemarau. Terus dikirimi air, saya sungguh bersyukur, terima kasih. Alhamdulillah, diterima banget,” perempuan itu mulai terisak.

Sore itu kami menginjakkan kaki ke perkampungan di desa Ridogalih, Cibarusah. Sesampai di lokasi setelah beberapa menit, pandangan mata penulis langsung tertuju dua orang perempuan berlarian. “Hayoo mau kemana kau!”

Mereka saling kejar-kejaran. Penuh keceriaan. Mereka berdua bukan, bukan anak kecil yang rebutan makanan, atau mainan. Mereka adalah dua ibu tua sekitar usia 50an.

Dalam kejaran itu, mereka saling mencipratkan air bersih yang baru mereka dapat dari tangki air. Seolah mengungkapkan kegembiraan mendapatkan air bersih. Di sana para warga berkerumun memang, mendekati tangki air bersih untuk minum.

Tangki air tersebut berasal dari Staf Ahli DPR Pipin Sopian. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu memberikan 10 tangki air yang setiap tangkinya berisi 8500 liter. Bantuan tersalurkan meliputi wilayah Ridogalih, Ridomanah hingga Karang Indah. Tiga wilayah yang ada di Bekasi.

Cibarusah. Sebuah nama yang dikenal dengan kawasan yang mana air bersih adalah barang langka. Kesan pertama yang timbul bagi pendatang atau tamu adalah, “Ini Bekasi?”

“Sekarang sedang musim kemarau. Terus dikirimi air, saya sungguh bersyukur, terima kasih. Alhamdulillah, diterima banget,” tutur perempuan berjarik batik coklat dan mengenakan ciput itu, mulai terisak. Ia adalah salah satu perempuan yang berkejaran tadi.

Di balik keceriaan yang membuncah tadi. Ia menyimpan pedihnya episode kehidupan yang harus ia hadapi.

“Sudah ingin nangis, karena nggak ada air. Sama sekali nggak punya air, terus dikirimi air (Pipin). Ini Alhamdulillah,” tuturnya dalam bahasa Sunda.

Ia mengaku tak ada yang bisa mencarikan air bersih untuk dirinya. Ia dan warga kerap menyusuri hutan untuk mendapatkan tetes demi tetes air. “Yang nyariin air buat kami tidak ada. Kami sering menyusuri hutan, mencari air, astaghfirullah aladzim..” ungkapnya.

“Sudah berapa hari tidak ada air?” ketika ditanya Pipin.

Perempuan yang tampak lelah wajahnya itu mengatakan lebih kurang tiga bulan tak mendapatkan air bersih.

“Nyari kemana airnya?” tanya Pipin.

“Nyari-nyari aja,” ungkap perempuan tua itu, polos.

Tak hanya kesulitan air, ia juga harus menjaga anak bungsunya yang memiliki keistimewaan. Deni, anak laki-lakinya itu memiliki gangguan syaraf motorik. Tak bisa berjalan, pendengaran dan penglihatannya agak lambat merespons. Usianya kisaran 15 tahun, usia sekolah menengah pertama. Namun memiliki keistimewaan, ia cukup rajin menjalankan ibadah sebagai seorang muslim. Dan juga bisa membedakan duit merah atau tidak.

“Jangan lupa untuk diperdengarkan tilawah ya, Bu. Nanti saya akan kirimkan MP3 Player atau recorder berisi murattal Alquran buat Deni. Saya janji,” kata Pipin seraya mengelus pundak Deni.

Soal air bersih, warga setempat biasanya membeli air galon untuk kebutuhan. Air galon yang dimaksud adalah bukan air produk dari pabrik kenamaan, melainkan air isi ulang yang harganya kisaran Rp 6 ribu per galon.

Sebenarnya, desa tersebut sudah dibantu oleh Perusahaan Air Minum Daerah. Hanya saja mangkrak hingga tiga tahun terakhir. Yang tersisa hanya pipa-pipa yang menjadi fosil. Sementara untuk mengebor ke tanah, dalam jangkauan 100 meter tak keluar air sama sekali.

Uniknya, ada sebuah rumah yang melakukan pengeboran pipa kisaran circa 20 meteran, sudah mulai ada air.

“Mungkin Pak Haji orangnya rajin ibadah,” tutur Pipin saat silaturahim ke seorang pemuka agama yang rumahnya dekat masjid.

Meski kekurangan air bersih, para warga tetap dekat dengan Sang Pencipta. Terlihat dari jumlah jamaah yang membludak saat azan Magrib berkumandang. Pukul 20.00 WIB, suasana sudah sunyi. Seperti tak ada kehidupan. Hanya makam-makam yang tampak gundukannya di depan rumah para warga. [@paramuda/BersamaDakwah]