Satu diantara ulama berpengaruh di abad ke – 20 adalah syeikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rowi. Jangkauan dakwah pria kelahiran provinsi Ad-Daqahliyah, Mesir, ini mencakup lintas kalangan.
Sosok yang menghafal Alquran sejak usia 11 tahun itu dikenal sebagai dai populer di tengah masyarakat Mesir. Sampai-sampai koleganya sesama dai menyebutnya sebagai imamud du’at (pemimpin para dai). Ulama yang wafat pada 1998 itu juga sempat berkiprah di pemerintahan. Dalam satu periode sejak November 1976, dia menduduki jabatan sebagai menteri bidang wakaf Mesir. Ia adalah pribadi yang tekun.
Sosok yang masih keturunan Khalifah Ali bin Abi Thalib ini menempuh pendidikan dasar di madrasah al-Azhar, Kota az-Zaqaziq, hingga lulus pada 1923. Asy-Sya’rowi muda melanjutkan ke madrasah tsanawiyah (tingkat SMP) di tempat yang sama. Bahasa dan sastra Arab adalah mata pelajaran favoritnya. Bahkan ia sempat terpilih menjadi ketua perhimpunan sastrawan di kota tempatnya belajar. Ketertarikannya di dunia sastra membuatnya piawai dalam menyampaikan dakwah di kemudian hari.
Begitu lulus dari pendidikan menengah, asy-Sya’rowi awalnya ingin menekuni dunia pertanian, alih-alih akademis. Keinginannya ini rupanya dipengaruhi apa-apa yang dilihatnya selama di az-Zaqaziq. Ia tidak sendirian menempuh SD hingga SMA di kota tersebut.
Dia sering berinteraksi dengan beberapa saudaranya yang bekerja sebagai petani, sebagaimana orangtuanya sendiri. Akan tetapi ayah dan ibunya kurang berkenan anaknya mengikuti jejak mereka. Atas dorongan keduanya, asy-Sya’rowi mendaftarkan diri ke Departemen Bahasa Arab pada Universitas al-Azhar, Kairo pada 1937. Dia lolos dengan nilai yang memuaskan.
Tiga tahun lamanya asy-Sya’rowi menimba ilmu di kampus terhormat itu. Selama menjalani status sebagai mahasiswa, ia juga ikut dalam pergerakan antikolonial dan diskusi-diskusi politik. Konteks situasi Mesir pada dasawarsa 1930-an cukup hangat soal kedaulatan nasional terhadap kepentingan-kepentingan Barat, utamanya Inggris Raya. Hingga tahun 1952, Mesir merupakan wilayah proteknokrat di bawah Inggris Raya.
Asy-Sya’rowi mendapatkan gelar sarjana dari al-Azhar pada 1941. Setelah itu, dia menempuh pendidikan master tiga tahun lamanya. Akhirnya ia berhak memperoleh sertifikat izin mengajar. Sebagai guru, asy-Sya’rowi mengamalkan ilmunya di tiga kota, Thanta, az-Zaqaziq dan Iskandariyah. Pada 1950, dia berkesempatan hijrah ke Universitas Ummul Qura, Mekkah. Sepuluh tahun lamanya dia mendalami dan mengajarkan ilmu syariah di sana.
Pada 1960, Institut Tanta Azhary mendaulatnya sebagai direktur. Baru satu tahun bekerja, Pemerintah Mesir memanggilnya untuk menjalani tugas sebagai inspektur bidang peningkatan pengetahuan pada Kementerian Wakaf. Waktu itu, hubungan bilateral Mesir dengan Arab Saudi sedang memburuk.
Pada 1963, asy-Sya’rowi kembali ke dunia kampus dengan menduduki jabatan direktur pada kantor Rektor Universitas al-Azhar, Syeikh Husein Ma’mun. Namanya mulai dikenal sebagai salah satu akademis andal dari al-Azhar. Dalam kapasitas demikian, pihak kampus tersebut mengutusnya sebagai duta ke Aljazair.
Tujuh tahun lamanya asy-Sya’rowi tinggal di negara tersebut. Ketika menetap di Aljazair, Perang Enam Hari pecah antara negara Arab dan Israel. Asy-Sya’rowi mengkritik tajam kekalahan persekutuan militer Arab itu. Ia menilai Mesir harus terlebih dahulu membersihkan negerinya dari anasir-anasir komunisme serta di saat yang sama menjalani praktik-praktik islami di pemerintahan.
Begitu kembali ke Mesir, posisi kepala kantor Departemen Urusan Agama untuk provinsi Gharbiyah telah menantinya. Dalam pada itu, hubungan bilateral Mesir-Arab Saudi mulai membaik. Imbasnya bagi asy-Sya’rowi dia diperkenankan untuk kembali mengajar di negeri kelahiran Rasulullah SAW itu. Kali ini, Universitas King Abdul Aziz menjadi tempatnya berkiprah. Pada 1972, dia menjadi dekan di salah satu departemen pada kampus tersebut.
Empat tahun kemudian, perdana menteri Mesir saat itu, Mamduh Salim, mendaulatnya untuk mengisi jabatan menteri bidang Wakaf. Kementerian ini juga berfungsi untuk memelihara kelangsungan Universitas al-Azhar.
Dengan begitu, tak bisa dikatakan bahwa Syeikh Mutawalli asy-Sya’rowi meninggalkan sepenuhnya dunia akademik. Ia menjalani posisi tersebut hingga Oktober 1978. Salah satu warisan kiprahnya di pemerintahan adalah cikal bakal berdirinya bank syariah pertama di Mesir pada 1979, Faisal Islamic Bank. Setelah menjadi menteri, hingga tahun 1981, asy-Sya’rowi melanjutkan pekerjaannya sebagai profesor di Universitas King Abdul Aziz. [Paramuda/BersamaDakwah]