Dunia mode Barat pada saat ini benar-benar hendak mengubah penampilan perempuan menjadi laki-laki dan mengenakan pakaian seperti halnya laki-laki.
Hingga kita mendengar sebagian wanita muslimah menyuarakan slogan-slogan kaum sekularis yang telah bercokol di dunia Islam sebelumnya.
Mereka benar-benar telah menghancurkan tabiat wanita muslimah terhadap suaminya dengan mengenalkan ide-ide yang mereka ambil dari revolusi Prancis.
Salah satu slogan mereka adalah, “Suamimu tidak lebih sebagai partner hidup, bukan sebagai pemimpinmu yang bertanggung jawab atasmu.
Kamu adalah partner hidupnya, bukan budaknya atau orang yang dimilikinya, sehingga engkau menuruti segala permintaannya. Ajaklah suamimu berdialog, tunjukkan eksistensimu sebagai wanita merdeka dan jangan tinggal diam.”
Menurut kaum sekularis itu, membangkang kepada suami adalah alat untuk menunjukkan eksistensi seorang wanita.
Mereka melupakan sifat alamiah yang telah dilekatkan oleh Allah kepada suami, yaitu sebagai pelindung bagi istri. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman,
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisa`: 34)
Ini merupakan musibah yang menjadi latar belakang semboyan “Kehidupan suami istri dibangun berdasarkan kesepakatan” dan “Hak berpendapat.”
Orang Yahudi merupakan donatur terbesar dalam merusak dunia Barat yang telah porak poranda. Terlebih dalam kehidupan keluarga yang menjadi dasar terciptanya suatu komunitas masyarakat.
Mereka menciptakan wanita yang senantiasa membangkang terhadap suaminya dan menuntut persamaan dalam kehidupan sosial.
Mereka menganjurkan para istri untuk bersama-sama menanggalkan prinsip al-qawamah (kepemimpinan suami) dalam rumah tangga dan mendorong mereka menyaingi posisi suami sebagai pemegang kendali keluarga.
Mereka mentransfer itu semua melalui film-film sinetron, film layar lebar, novel-novel, dan cerita-cerita. Akhir-akhir ini, pemikiran tersebut semakin vulgar dan terang-terangan dibincangkan dalam dialog dan seminar.
Setelah itu, tanpa menyaringnya, sebagian dari saudara kita menelannya mentah-mentah; bahwa suami tidak lagi mempunyai hak untuk menyuruh dan mengeluarkan perintah, taat dan patuh kepada suami bukan merupakan suatu kewajiban dan semua urusan kehidupan rumah tangga harus berdasarkan kesepakatan.
Menurut mereka, kesepakatanlah yang menjadi landasan adanya ketaatan atau tidak. Pihak istri harus terlebih dahulu setuju agar dia patuh dan taat.
Para istri yang telah terpengaruh oleh pemikiran Barat itu lupa bahwa pembangkangan dan ketidakpatuhannya kepada suami akan diperhitungkan kelak pada hari kiamat.
Setajam apa pun perbedaan dengan suaminya dan mengenai apa pun, dia harus menuruti perintah dan permintaan sang suami. Tugasnya hanyalah mengharap pahala dari Allah atas kepatuhannya.
Jangan lupa, bahwa kesepakatan itu bisa terjadi antara dua hal yang sama posisi dan hak, sementara dalam pernikahan, tidak ditemukan adanya kesamaan antara suami dan istri, sebagaimana dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Allah Ta’ala tentu tidak begitu saja memilih suami memegang al-qawamah, kecuali telah mengetahui rahasianya dan mengerti sisi-sisi perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Sungguh, Allah Ta’ala telah berfirman,
“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14).
Wahai para istri, taatilah suamimu, semoga hidupmu selamat di dunia dan Akhirat. Amin.
Demikian ditulis kembali dari buku Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Dawud berjudul Kado Pernikahan.
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]