“Kamu pernah kuliah di sini?” kalimat itu disampaikan oleh Abdurrahman Baswedan–kakek Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan– kepada rekannya, di muka jendela yang terbuka lebar. Di sana udara panas Mesir berembus.
Tertulis di layar Mesir 1947. Pada tahun itu tepatnya bulan April, delegasi Indonesia memang telah tiba di Kairo, Mesir. Tujuannya tak lain untuk melakukan misi diplomatik demi mendapatkan pengakuan de jure dari pemerintah Mesir atas kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.
Para laki-laki itu adalah Haji Agus Salim, Abdurrachman Baswedan, Mohammad Rasjidi dan Nazir Sutan Pamuntjak. Dengan bantuan Sekretaris Jenderal Liga Arab Abdul Rahman Hassan Azzam Pasya. Keempat orang hebat tersebut dijadwalkan bertemu dengan Perdana Menteri Mesir Mahmud Fahmi El Nokrashy Pasya.
Rencana bisa saja ditulis atau dibahas dengan lancar. Akan tetapi kenyataannya tidak semulus rencana di atas kertas. Duta Besar Wong Londo untuk Mesir, Willem Van Recteren Limpurg, meluncurkan serangkaian taktik untuk menggagalkan misi delegasi Indonesia.
Didampingi ahli strategi bernama Cornelis Adriaanse, Willem kemudian melakukan lobi politik terhadap Perdana Menteri Nokrashy, termasuk menyusupi kelompok delegasi Indonesia dengan mata-mata. Jurus terakhir dari Willem dan Adriaanse untuk menggagalkan misi tersebut, menempatkan nasib Mesir dan Indonesia berada di tangan seorang pengkhianat. Ya, pengkhianat berwajah lugu.
Pada sebuah diskusi ringan dengan pimpinan Mesir, di sebuah ruang. Delegasi Indonesia memperkenalkan berbagai masakan khas Nusantara seperti rujak cingur dan lumpia.
“Banyak makanan lezat di Indonesia sehingga membuat penjajah enggan kembali ke rumah,” kata Agus, dalam.
Perempuan Hindia Timur (Indonesia) di mata Agus Salim, memiliki hak yang sama dalam berilmu. Ini penting dalam mendidik anak-anak, ilmu ibu yang bisa mengantarkan anak menjadi sosok yang cerdas. Ia memberi contoh, Maria Ulfa Santosa, perempuan pertama yang menjabat menteri di Indonesia, menteri sosial.
Kebanyakan mereka, kata Agus, yang ikut mengabdi kepada penjajah karena takut miskin. Jalan satu-satunya adalah dengan menjadi mata-mata atau antek penjajah. Jika sudah begitu pengkhianat tidak gampang keluar dari jeratan penjajah. Was-was takut melangkah. “Jangan terbiasa meminjam utang ke orang lain. Jaga harga diri,” ungkap Agus, di tema yang lain.
Menghilangkan Hasan Al-Banna dalam Scene
Film Moonrise Over Egypt itu diperankan baik oleh Pritt Timothy sebagai Agus Salim. Secara fisik nyaris sama. Selain itu ada, Abdurrachman Baswedan (Vikri Rahmat), Mohammad Rasjidi (Satria Mulia), dan Nasir Sultan Pamuntjak (drh. Ganda).
Pemandangan langit Mesir di pembukaan film garapan Pandu Adiputra itu cukup mengganggu, sebab green screennya tampak tak rapi. Lebih lagi ketika adegan adegan sang pengkhianat sedang mengendarai mobil di jalanan Mesir tengah malam. Sangat cetho welo-welo digarap di studio. Kru tampak berusaha mensetting malam di Mesir pada tahu 1947-an.
Film ini memang bertema sejarah. Film sejarah memang unggul dalam membantu penonton untuk mengalami pengalaman re-enactment—sebuah konsep dalam kajian sejarah tentang bagaimana orang mampu merasakan pengalaman atau berempati dengan sebuah peristiwa di masa lalu—dan menikmati sensasi “menjadi saksi sejarah” (Burgoyne, 2008: 7). Hanya saja, jangan pernah belajar dari sebuah film.
Zein Hassan (mahasiswa Indonesia yang bekerja di kapal Inggris di Tunisia, berhenti bekerja di kapal Inggris itu dan berjalan kaki dari Tunisia ke Mesir) dalam bukunya, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, menulis bahwa pengakuan kemerdekaan itu, pada akhirnya membuat posisi Indonesia setara dengan negara-negara lainnya-termasuk Belanda—dalam perjuangan diplomasi internasional.
Pada 16 Oktober 1945 sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab, berinisiatif membentuk Panitia Pembela Indonesia (‘Lajnatud Difa’i’an Indonesia’). Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir dan dipimpin oleh Hasan Al Banna saat itu menjadi unsur utama gerakan ini.
Sejak itu Ikhwan kerap sering mengadakan demo besar-besaran mendesak pemerintah Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Singkat kata, H. Agus Salim didampingi Prof Rasyidi mengucapkan terima kasih kepada Asy Syahid Hasan Al Banna atas dukungannya yabg sangat kuat sehingga Indonesia mendapatkan status kemerdekaan.
Sayang seribu kali sayang, “kehadiran” tokoh Ikhwan seperti Hasan Al-Banna di film Moonrise ini tidak jelas. Sosok Al-Banna memang muncul tapi hanya sebuah ucapan yang dikatakan oleh delegasi Indonesia sebanyak dua kali. Peran Ikhwanul Muslimin di sini tampak tumpul, tak ada gaungnya yang berarti. Selebihnya, hanya scene yang selalu disuguhi adegan udud. [@paramuda/BersamaDakwah]