Semua mata tertuju pada lelaki kharismatik itu. Hasan Al Banna. Mereka hanyut dalam kata demi kata sejak mukaddimah ceramahnya. Hingga kemudian mereka terhentak oleh kalimat pendiri Ikhwanul Muslimin itu kepada mempelai wanita.
“Ukhti… hari ini akh Anwar menikah dengan antum. Namun sesungguhnya, akh Anwar ini telah memiliki istri pertama,” entah rasa apa yang bergejolak dalam diri akhwat itu saat mendengar kalimat ini. Para tamu saja speechless saat mendengarnya. Waktu tiba-tiba terasa bergerak sangat lambat… menanti kalimat berikutnya dari lisan Hasan Al Banna.
“Akh Anwar telah berkomitmen untuk menjaga istri pertama tersebut. Mencintainya. Memenuhi hak-haknya. Maka bantulah ia agar bisa menunaikan komitmennya terhadap istri pertama tersebut,” mungkin jika orang lain yang menyampaikan itu, sebagian hadirin akan protes. Terutama keluarga mempelai. Namun karena ini tokoh dakwah yang dikenal kejujuran dan keseriusannya, mereka hanya diam mendengarkan. “Dan istri pertama Akh Anwar tidak lain adalah… dakwah.”
Alhamdulillah, plong…
Segala rasa sesak di dada hilang sudah. Waktu terasa berjalan normal seperti sedia kala. Lega. Sebagian hadirin tersenyum, sebagian yang lain haru. Bagaimana mungkin kader-kader Ikhwanul Muslimin itu lupa, bahwa memang istri pertama adalah dakwah. Sebab, dakwahlah yang mereka perjuangkan sebelum menikah dan sampai kapan pun. Dakwahlah yang mereka penuhi seruannya sebelum menikah dan sampai kapan pun. Bahkan mereka menikah pun di atas jalan dakwah.
Rasulullah yang menjadi contoh dan teladan. Demi dakwah, Rasulullah rela menahan lapar dan tidur di atas tikar anyam. Padahal kalau beliau mau, beliau bisa hidup mewah dan memberikan banyak kekayaan kepada keluarganya. Bahkan ketika di Madinah, keluarga Rasulullah pernah beberapa pekan tidak memasak. Hanya kurma dan air.
Hasan Al Banna yang menyampaikan ceramah “istri pertama adalah dakwah” juga membuktikannya. Pernah suatu hari anaknya sakit. Demam tinggi. Namun dakwah memanggilnya. Ia pun berpamitan kepada istrinya.
“Engkau tetap berangkat meskipun anak kita sakit?” tanya sang istri yang merasa berat ditinggal pergi.
“Apakah jika aku di sampingnya ia akan sembuh?” Hasan Al Banna balik bertanya.
Sang istri terdiam beberapa saat. Dengan nada lebih lirih ia bertanya, “Bagaimana jika ia meninggal?”
“Kakeknya lebih tahu cara memandikan, mengkafani, menshalati dan memakamkannya.”
Benar-benar dialog yang sulit terulang sepanjang masa.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga menjadikan dakwah sebagai ‘istri pertama’? Dan untuk para akhwat, apakah ukhti siap menjadi ‘istri kedua’? [Muchlisin BK/bersamadakwah]