Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat ‘Umar bin Khaththab dan Kejayaan Islam

‘Umar bin Khaththab dan Kejayaan Islam

ilustrasi hijrah © thestrangetwo.com

‘Umar bin Khaththab dilahirkan di Makkah tahun 40 sebelum hijrah Nabi ke kota Madinah. Ayahnya bernama Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza al-Quraisy dari suku Bani Adi. Ibunya Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah bin ‘Abdillah. Silsilahnya berkaitan dengan Nabi Muhammad pada generasi kedelapan.

Ketika Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul, ‘Umar adalah salah satu pemuda yang dengan sangat keras menentang ajaran Nabi Muhammad. Sebagaimana diketahui, keluarga ‘Umar dikenal memiliki kecekataan dalam kepempimpinan, kecemerlangan berpikir, dan watak keras yang sudah mendarah daging. Sehingga kebanyakan suku Quraisy segan kepada ‘Umar dan keluarganya.

Dengan sikap kerasnya itu, dia ingin menghancurkan agama baru yang tiba-tiba muncul di dalam sukunya. Maka, dia pun berniat membunuh Nabi Muhammad yang menyebarkankan agama itu untuk pertama kalinya.

Dengan menahan kemarahan, ‘Umar berjalan menuju rumah Nabi Muhammad. Namun, di tengah perjalanan, dia bertemu Nu’aim bin ‘Abdulllah dari Bani Zuhra.

“Hendak ke mana engkau, wahai ‘Umar? Kenapa wajahmu kelihatan begitu terbakar kebencian?”

“Aku akan membunuh Muhammad,” jawab ‘Umar dengan tegas.

“Apakah kau tak takut dengan Bani Hasyim dan Bani Zuhrar?”

“Kenapa harus takut?! Kau yang harusnya takut karena telah keluar dari ajaran nenek moyang kita.”

Nu’aim bin ‘Abdullah berkata, “Tak tahukah kau ‘Umar, bahwa ada hal yang lebih menarik untuk kau ketahui? Adik perempuan dan iparmu pun telah keluar dari agamamu.”

Segeralah ‘Umar berbalik arah menuju rumah adiknya, Fathimah. Kala itu, Fathimah tengah khusyuk membaca Kalam Allah. ‘Umar langsung masuk rumah. Fathimah pun segera menyembunyikan apa yang dibacanya. Namun, ‘Umar sempat mendengarnya ketika hendak memasuki rumah itu.

“Apa yang kalian ucapkan tadi?” tanya ‘Umar.

“Kami tidak mengucapkan apa-apa,” jawab Fathimah bergetar.

“Kudengar kalian telah keluar dari agama nenek moyang?!” Kilatan kemarahan terlihat di mata ‘Umar.

Lalu, ipar ‘Umar pun berkata, “Wahai ‘Umar, apa yang akan kaulakukan jika kebenarana agam bukan pada agama yang kauanut saat ini?”

Mendengar pertanyaan itu, ‘Umar marah dan menyabit iparnya hingga terluka dan berdarah. Melihat perbuatannnya sendiri, dia merasa bersalah dan putus asa. Jujur saja, ketika masuk ke dalam rumah dan sempat mendengar adiknya membaca Kalam Allah, dadanya bergetar. Tapi, dia belum yakin dengan perasaannya.

“Wahai Fathimah, izinkan aku membaca apa yang kaubaca,” pintanya pada adiknya.

Fathimah menuruti dengan syarat ‘Umar mau berwudhu untuk mensucikan diri. ‘Umar pun menyanggupi syarat itu. Dia pun membaca setiap kata yang ada dalam surat Thaha. ‘Umar termasuk seorang yang pintar dan memahami betul sastra Arab. Maka dirinya begitu takjub sebab ada yang lebih hebat dari segala sastra yang pernah dibacanya. Tidak ada manusia yang mampu melakukannya.

‘Umar pun meminta diantar ke rumah Nabi Muhammad. Mendengar ‘Umar datang ke rumah Rasulullah, banyak sahabat yang merasa cemas. Namun, kecemasan itu berubah kebahagiaan ketika ‘Umar bersyahadat. Seorang yang dulu paling keras dan disegani Bani Quraisy itu, kini memilih jalan Allah dan membantu Rasulullah. Dan, kejadian itu membuat kaum Quraisy marah. Namun, bagi ‘Umar, yang terpenting adalah jalan baru ketika mendapat cahaya.

Allah sungguh menunjukkan Kebesaran-Nya. Tidak peduli siapa pun, jika Allah Berkehendak, maka Dia tinggal mengatakan, “Jadilah”, maka terjadilah.

Sejak itulah ‘Umar yang dulunya ditakuti umat Islam, kini menjadi seorang yang dihormati. Selain itu, dia juga menjadi sahabat Nabi yang berjuang keras untuk perkembangan Islam.

‘Umar menjadi salah satu Khalifah yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad. Banyak jasa yang diberikan ‘Umar untuk kemajuan Islam pada masa itu. Dia juga mengajarkan untuk selalu hidup sederhana, meski memiliki kekayaan yang berlimpah, selalu rendah hati, dan suka menolong meski memilik jabatan tinggi.

Benci jadi cinta; Allah sangatlah mudah untuk melakukannya. Begitupun sebaliknya, cinta jadi benci. Maka seyogianya kita selalu mendekat pada Allah agar mendapat rahmat dan diberkahi. [Kazuhana El Ratna Mida/Bersamadakwah]

Srobyong, 11 Mei 2015

Editor: Pirman Bahagia