Beranda Dasar Islam Aqidah Nyai Roro Kidul, Bunda Maria dan Praktik Paganisme

Nyai Roro Kidul, Bunda Maria dan Praktik Paganisme

Plestin les Greves (Telegraph.co.uk)

Sejak zaman purba,  penganut paganisme selalu memuja para dewi,  khususnya Dewa Bumi atau Dewi Bumi.

Ciri paganisme ditandai dengan berbagai ritual dan mitologi dengan tanda-tanda atau fenomena yang sama,  misalnya menyembah alam,  menghormati setinggi-tingginya keseimbangan kosmos,  memuja dewa-dewi, patung-patung,  kekuatan magis, roh leluhur,  animisme, dinamisme, benda keramat,  simbol-simbol keramat dan ramalan bintang atau astrologi.

Ciri lain paganisme adalah mantra-mantra,  sesaji,  altar persembahan serta asap-asapan atau dupa atau kemenyan untuk menambah suasana mistis.

Kembali lagi ke paganisme zaman purba. Dewi Bumi digambarkan sebagai sosok dewi yang cantik jelita,  melambangkan kesuburan, tanah pertanian yang subur, lambang kemakmuran,  cinta kasih dan kemurahan hati. Orang Jawa kuno senantiasa membuat patung Dewi Sri,  untuk dipuji sebagai bentuk syukur saat masa panen tiba. Patung Dewi Sri sering diletakkan di sentong atau semacam bilik kamar atau di lumbung penyimpanan padi.

Pada tradisi Kerajaan Mataram di Tanah Jawa,  dipercaya adanya ratu penguasa pantai selatan. Nyai Roro Kidul. Ia digambarkan sebagai seorang dewi yang cantik,  yang memiliki kekuatan magis dan berkolaborasi dengan penguasa Raja Mataram dalam memerintah kerajaan.  Setiap orang yang hanyut di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa diyakini sebagai korban atau tumbal dari Nyai untuk dijadikan abdi atau punggawa kerajaan Laut Kidul. Setiap tanggal satu Syuro diadakan acara labuhan untuk menghormati Nyai Roro Kidul. Demikian pula nelayan di sepanjang pantai selatan sering mengadakan acara sedekah laut untuk memberi kurban kepada Nyai.

Sementara itu, tradisi Hindu khususnya Bali terdapat pemujaan terhadap Dewi Saraswati. Ia dikenal sebagai dewi yang cantik jelita,  berilmu pengetahuan,  hikmah dan kebijaksanaan. Pada setiap upacara ritual ditaruh buku-buku pelajaran untuk disucikan di depan patung sang dewi.

Ajaran paganisme tentang pemujaan dewi sangat berpengaruh pada dunia Kristen sehingga pada tahun 431 M,  saat diselenggarakannya Konsili di kota Efesus,  Maria diproklamirkan sebagai Bunda Allah. Sejak saat itu Proklamasi tersebut diterima sebagai sesuatu yang sesuai dengan Alkitab dan sebagai patokan iman mereka.  FYI,  di kota Efesus tersebut berdiri megah sebuah kuil untuk memuja Dewi Artemis. Dengan pengangkatan Maria sebagai Bunda Allah,  jelas bahwa telah turun surat keputusan dari hasil Konsili Efesus yang memberikan status  “keilahian” atau ketuhanan Maria. Dengan surat pengangkatan tersebut berubahlah status Maria dari bunda manusia menjadi Bunda Allah. Dengan demikian status keilahian Maria didapat kurang lebih 400 tahun setelah kematiannya.

Di Sendangsono,  Kulon Progo Yogyakarta dibuat Gua Maria sebagai tempat peziarahan umat Kristen. Demikian pula Sendang Sriningsih di Klaten Jawa Tengah,  di Kediri Jawa Timur,  di NTT,  Timor Leste dan lainnya. Tempat-tempat tersebut sering diadakan upacara ritual di gua persembahyangan.

Di Indonesia,  tidak kurang terdapat 52 tempat peziarahan yang bermula dari fenomena penampakan Bunda Maria. Di depan patung Bunda Maria itulah umat Kristen berdoa,  persis seperti yang dilakukan oleh penganut paganisme.

Padahal dalam Injil sendiri mengingatkan kepada orang Kristen,  “Anak-Anakku,  waspadalah terhadap segala berhala.” (I Yohannes 5:21).

Terhadap praktik penyembahan terhadap mahluk lain atau penyembahan terhadap Yesus atau Maria ini,  Islam telah mengingatkan dalam pesannya yang termuat dalam Alquran:

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah’? Isa menjawab, “Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib.

Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nyayaitu, ‘Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian,’ dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku. Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (QS. Almaidah ayat 116-117).

Wallahu a’lam.  [Paramuda/BersamaDakwah]