Hakikat Puasa merupakan Ceramah Ramadhan hari ke-9. Cocok menjadi bahan kultum Tarawih pada malam 9 Ramadhan 1445 hijriah.
Ibadah utama di bulan Ramadhan adalah puasa. Rukun Islam yang kewajibannya hanya ada di bulan Ramadhan dan tidak ada di bulan lainnya.
Dalam bahasa Arab, puasa adalah ash-Shiyam (الصيام) yang artinya al-imsaaku ani asy-syai’ (الإمساك عن الشيئ) yakni menahan dari sesuatu. Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat memenuhi perintah dan taqarrub kepada Allah.
Meninggalkan Kemaksiatan
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang hakikat puasa.
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ. فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهْلِ عَلَيْكَ فَقُل: إِنِّى صَائِمٌ إِنِّى صَائِمٌ
Puasa itu bukan hanya meninggalkan makan dan minum. Akan tetapi, puasa itu meninggalkan hal-hal yang sia-sia dan hal-hal keji. Jika kamu dicaci atau dicemooh orang lain, maka katakanlah, “aku sedang puasa, aku sedang puasa.” (H.R. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban, dan Hakim)
Inilah hakikat puasa. Bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum tetapi juga menahan diri dari segala bentuk kemaksiatan dan hal-hal yang Allah haramkan.
Laghwun mencakup segala bentuk perkataan dan perbuatan yang sia-sia. Mulai dari gurauan soal lawan jenis hingga aktivitas yang tidak ada manfaatnya. Sedangkan rafats adalah perkataan keji yang menjurus pada syahwat. Atau istilah lainnya adalah pornografi.
Hakikat puasa juga mengelola emosi sehingga tidak mudah marah, tidak mudah terprovokasi. Bahkan kalaupun ada yang mencaci atau merundung (bullying), orang yang benar-benar berpuasa akan bersabar dan cukup merespon dengan ucapan, “aku sedang berpuasa.”
Baca juga: Niat Puasa Ramadhan
Meninggalkan Kebohongan dan Kezaliman
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hakikat puasa adalah meninggalkan kebohongan dan kezaliman.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya). (HR. Bukhari)
Berbohong memang tidak membatalkan puasa, tetapi bisa membatalkan pahala puasa. Orang yang berbohong dan berdusta, hakikatnya ia bukanlah orang yang puasa. Meskipun seharian ia menahan lapar dan dahaga.
Apalagi jika kebohongannya berdampak besar. Misalnya sumpah palsu, menipu orang, mencuri, dan korupsi. Semakin besar dampak negatif yang timbul, semakin jauh ia dari hakikat puasa. Maka, meskipun sama-sama berdosa, antara mencuri ayam tetangga dengan korupsi milyaran uang negara tentu besaran dosanya berbeda.
Bukanlah puasa jika seseorang masih suka berbohong, menipu, menzalimi orang lain, menzalimi hak banyak orang dengan korupsi, dan sejenisnya.
Baca juga: Doa Buka Puasa
Membentuk Taqwa
Hakikat puasa kemudian terangkum dalam tujuan utama puasa. Yakni membentuk taqwa. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183)
Inilah hakikat taqwa, membentuk pribadi bertaqwa. Maka orang yang benar-benar berpuasa, ia akan semakin taat terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Ibnu Katsir rahimahullah merangkum hakikat puasa saat menafsirkan ayat ini.
“Di dalam ibadah puasa itu terdapat kesucian dan kebersihan jiwa, serta mensterilkan dari kotoran yang buruk dan akhlak yang hina,” kata Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Orang yang bertaqwa juga akan lebih hati-hati dalam hidupnya. Hati-hati dalam menjaga lisan, hati-hati dalam menjaga mata, hati-hati dalam menjaga tangan, hati-hati dalam menjaga kaki. Juga hati-hati dalam menjaga pikiran dan hati-hati dalam menjaga hati. Sebagaimana pengertian taqwa menurut Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya: “Apa itu taqwa?”
Ubay balik bertanya, “Pernahkah engkau melewati sebuah jalan yang banyak onak duri?”
“Ya, aku pernah melalui jalan seperti ini.”
“Lalu apa yang engkau lakukan?”
“Aku berhati-hati.”
“Demikianlah taqwa. Hati-hati.”
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga iman kita, menguatkan semangat kita dalam mengoptimalkan ibadah di bulan Ramadhan, sehingga kita bisa mencapai hakikat taqwa dan kelak Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Untuk ceramah atau kultum Ramadhan lainnya, silakan baca:
Ceramah Ramadhan 2024