Puasa Ramadhan membuat mata kita lebih terpelihara. Kita berhasil menjaga mata melebihi bulan-bulan lainnya. Kita khawatir jika pandangan tak terjaga, puasa akan sia-sia. Tak mau jika puasa kita hanya memperoleh lapar dan dahaga. Karena melihat yang tak halal adalah salah satu pembatal pahala puasa.
Semestinya, kebaikan ini tak hanya kita lakukan di bulan Ramadhan. Bulan apa pun, seharusnya kita mempuasakan mata. Menjaga mata agar tidak melihat hal yang Allah haramkan. Menjaganya agar tidak jelalatan memburu kenikmatan terlarang. Menjaganya agar tidak silau dengan dunia hingga lupa akhirat yang akan menjadi tempat tinggal kita selamanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita menjaga mata, menahan pandangan, atau lebih tepatnya, ghadlul bashar.
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ . وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya… (QS. An Nur: 30-31)
Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan, ghadlul bashar bukan berarti menutup atau memejamkan mata hingga tidak melihat sama sekali. Bukan pula menundukkan kepala hanya ke tanah karena bukan itu yang dimaksud. Di samping, hal tersebut juga sulit dilaksanakan. Sebagaimana halnya menahan suara yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya:
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
Dan tahanlah suaramu. (QS. Luqman: 19)
bukan berarti menutup mulut rapat-rapat tanpa berbicara sama sekali.
Yang dimaksud dengan gadhul bashar adalah menjaganya dan tidak melepas kendalinya secara liar. Apabila memandang lawan jenis tidak mengamat-amati kecantikannya, tidak berlama-lama memandangnya dan tidak memelototi apa yang dilihatnya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada Abi bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu:
يَا عَلِىُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ
“Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti pandangan dengan pandangan yang lain. Karena sesungguhnya engkau hanya diperbolehkan pada pandangan pertama, sedangkan pandangan berikutnya tidak diperbolehkan.” (HR. Abu Daud; hasan lighairihi)
Baca juga: Niat Puasa Ramadhan
Pandangan adalah anak panah iblis
Memandang yang bukan haknya adalah anak panah iblis. Darinya bermula fitnah, terombang-ambingnya hati, hingga dosa pun bisa terjadi. Sebaliknya, siapa yang bisa menjaga matanya dan menundukkan pandangannya, ia akan merasakan manisnya iman.
النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ، فَمَنْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْ مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ لله أَوْرَثَ الله قَلْبَهُ حَلاَوَةً إِلىَ يَوْمِ يَلْقَاهُ
Pandangan adalah anak panah beracun dari anak-anak panah iblis. Maka barangsiapa yang menahan pandangannya dari kecantikan seorang wanita karena Allah, niscaya Allah akan mewariskan rasa manis dalam hatinya sampai hari pertemuan dengan-Nya. (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)
Karenanya Rasulullah dalam beberapa kesempatan mengingatkan sahabat beliau, terutama yang masih muda seperti Ali bin Abu Thalib, Jarir bin Abdullah, dan Fadhl bin Abbas. Beliau ingatkan untuk tidak mengikuti pandangan yang tidak sengaja dengan pandangan kedua yang disengaja.
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى
Dari Jarir bin Abdillah ra berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan tiba-tiba (tanpa sengaja), lalu beliau memerintahkanku untuk memalingkannya.” (HR. Muslim)
Ada sahabat Nabi yang tak sengaja melihat wanita mandi. Waktu itu ada misi yang harus dikerjakannya. Kesalahannya hanya satu; ia tidak konsentrasi. Ia menoleh ke arah lain. Mengarahkan pandangannya ke sebuah rumah di Madinah.
Ia tengah menjalankan tugas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk suatu keperluan. Di tengah jalan, “bencana” datang menyapanya. Sewaktu melayangkan pandang ke salah satu rumah yang tidak tertutup pintunya, terlihat olehnya seorang wanita yang sedang mandi. Mungkin hanya dalam hitungan detik, bukan menit.
Wajahnya mendadak pucat, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia segera berlari melewati rumah demi rumah, kampung demi kampung, hingga keluar Madinah. Ia tiba di sebuah padang pasir yang sepi. Di sana ia menangis sejadi-jadinya. Menyesali apa yang telah dilihatnya. Dengan derai air mata dan suara yang tersisa ia memohon ampunan Rabb-nya.
Rasulullah kehilangan sahabat ini untuk satu hari. Beliau bertanya-tanya, tetapi sahabat yang lain tidak juga mengetahui keberadaannya. Hingga berlalulah empat puluh hari. Akhirnya malaikat datang mewahyukan di mana ia berada. Rasulullah menugaskan Umar dan Salman untuk menjemputnya.
Dengan susah payah Umar berhasil menemukannya. Ia memeluk sahabat itu penuh rindu. “Wahai Umar, tahukah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang dosaku?” Tanyanya penuh kekhawatiran.
“Aku tidak tahu permasalahan itu. Yang jelas, Rasulullah menugaskan kami untuk mencarimu.”
“Wahai Umar, satu permohonanku padamu. Jangan kau bawa aku menghadap Rasulullah, kecuali ketika beliau sedang shalat.”
Sesampainya di Madinah dan mendapati Rasulullah membaca Al-Qur’an dalam shalatnya, sahabat ini pingsan. Ia jatuh sakit hingga berhari-hari. Ketika Rasulullah tahu kondisinya dan menjenguk ke sana, ia masih saja khawatir akan dosanya.
“Apa yang engkau rasakan?” Rasulullah bertanya kepada sahabat yang kini telah berada dalam pangkuannya ini.
“Seolah semut merayap di antara tulangku, dagingku, dan kulitku”.
“Apa yang kau inginkan?” tanya beliau lagi.
“Ampunan Rabb-ku”, jawabnya penuh harap.
Tak lama kemudian Jibril menyampaikan wahyu, “Wahai Muhammad, Rabb-mu mengirimkan salam untukmu. Dia berfirman padamu, ‘Seandainya hamba-Ku ini datang pada-Ku dengan kesalahan yang memenuhi bumi, tentulah Aku akan menemuinya dengan ampunan sebanyak itu pula.”
Ketika Rasulullah memberitahu wahyu ini kepadanya, sahabat ini meninggal seketika. Dialah Tsa’labah bin Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu. Mengajarkan kepada kita, betapa generasi terbaik umat ini sangat takut dengan dosa akibat pandangan mata.
Baca juga: Doa Buka Puasa
Melihat yang haram adalah zina mata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menilai pandangan liar dan memelototi lawan jenis sebagai zina mata. Beliau bersabda:
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ
…Adapun kedua mata, zinanya adalah memandang… (HR. Muslim)
Beliau menyebutnya dengan “zina” karena memandang lawan jenis merupakan salah satu bentuk taladzdzudz (bersenang-senang atau menikmati) dan memuaskan naluri seksual dengan cara yang tidak dibenarkan syara’. Apalagi jika yang dilihat adalah aurat lawan jenis alias pornografi.
Meskipun dosanya tak sebesar zina hakiki, zina mata menjadi berbahaya karena selain mengotori hati juga menjadi pintu menuju zina hakiki sebagaimana lanjutan hadits di atas. Tidak sedikit orang yang semula hanya saling pandang kemudian mengadakan pertemuan, lalu saling berpegangan hingga terjadilah perzinaan.
Puasa mata artinya menjaga mata kita agar tidak terjerumus dalam zina mata. Menjaga mata kita agar tidak melihat hal-hal yang Allah haramkan.
Baca juga: Zakat Fitrah
Menjaga pandangan, menjaga ilmu
Puasa mata dengan menjaga pandangan membuat hati lebih terjaga. Ketika hati terjaga kebersihannya, ia lebih mudah menerima hidayah. Mudah mengambil hikmah dari setiap kejadian. Mudah memetik ibrah dari setiap peristiwa. Ilmu dan hafalan pun lebih terjaga.
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Aku pernah mengadukan jeleknya hafalanku kepada Waki’. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau katakan, ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.”
Masya Allah, ini adalah ketawadhu’an Imam Syafi’i. Beliau telah hafal Al-Qur’an sejak usia tujuh tahun dan hafal Al Muwaththa’ sejak usia 10 tahun.
Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i pernah kehilangan hafalan sejumlah hadits. Lalu ia mengadukan kepada Waki’, gurunya. “Engkau pasti pernah melakukan dosa, cobalah ingat-ingat,” jawab Waki’.
Akhirnya Imam Syafi’i ingat, sebelumnya ia pernah tanpa sengaja melihat seorang wanita menaiki kendaraannya. Lalu pakaian wanita itu tersingkap hingga terlihatlah betisnya. Hanya karena pandangan ‘sepele’ itu, hafalan beliau sempat terganggu.
Ini mungkin jawaban atas problematika klasik kita saat sulit menghafal Al-Qur’an dan hadits. Di jalan, sering melihat betis. Di plaza, melihat paha. Akhirnya Arba’in Nawawi pun tidak hafal-hafal.
Menjaga pandangan di masa sekarang menjadi lebih sulit, bahkan saat pandemi dan kita tidak keluar rumah sekali pun. Mengapa? Sebab di televisi terpampang aurat. Di internet, terpampang aurat. Bahkan saat menonton Youtube kajian pun, muncul iklan yang kadang-kadang memamerkan aurat.
Namun, kita harus tetap berusaha. Tak boleh menyerah, terus bermujahadah. Sebab saat kita mampu mempuasakan mata, Allah akan menganugerahkan manisnya iman dalam hati kita. Lalu mata kita menjadi lebih mudah menangis saat bermunajat kepada-Nya.
عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka. Yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang begadang (tidak terpejam) karena berjaga-jaga di jalan Allah. (HR. Tirmidzi; shahih)
Ya Allah, karuniakanlah kami hati yang takut kepada-Mu. Karuniakanlah kami jiwa yang tunduk kepada-Mu. Jagalah mata kami agar merasakan kelezatan saat membaca Al-Qur’an. Jagalah ia dari memandang yang Engkau haramkan. Jaga ia dari melihat pemandangan yang mengumbar syahwat. Jadikanlah ia mudah menangis saat bermunajat. Jadikanlah mata kami selamat dari fitnah dunia dan tidak tersentuh api neraka. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Untuk ceramah atau kultum Ramadhan lainnya, silakan baca:
Ceramah Ramadhan 2024
Ilmu yang sangat bermanfaat untuk akherat
Komentar ditutup.