Beberapa wali murid mengeluhkan kondisi anak-anaknya ketika liburan. Mereka ingin benar-benar liburan. Bukan hanya libur belajar tetapi juga libur tilawah, libur muraja’ah, dan libur shalat jamaah.
“Capek, Ma. Di pondok tiap hari begitu. Bangun jam tiga, sholat tahajud, murajaah, Subuh, dzikir pagi, sekolah, sampai sore nggak ada istirahat. Malam juga masih ada kajian.” Demikian alasan si anak.
Beberapa santri lain dari pesantren berbeda juga mengalami hal serupa. Asyik main HP saat liburan hingga tidak shalat berjamaah di masjid. Bahkan selepas idulfitri bangunnya terlambat hingga Subuhnya kesiangan.
Kasus serupa juga terjadi pada aktivis Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Sewaktu di kampus, ia tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah. Namun, begitu pulang kampung, shalatnya tidak lagi di masjid melainkan hanya di rumah. Semangat tilawahnya juga melemah.
Mengetahui fenomena ini, baik di perumahan maupun di desa, saya terpikir dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait takwa. Ittaqillah haitsuma kunta. Hadits tersebut bisa kita dapati pada Arbain Nawawi ke-18. Matan lengkapnya adalah sebagai berikut:
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya perbuatan baik itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. (HR. Tirmidzi; hasan)
Sebelumnya, saya sempat bertanya-tanya, mengapa beliau menggunakan variabel tempat dalam ketakwaan, bukan variabel waktu dengan memerintahkan takwa kapan saja? Rupanya, faktor tempat sangat berpengaruh pada takwa sehingga beliau mewanti-wanti ittaqillah haitsuma kunta. Bertakwalah di mana pun berada; baik di pesantren maupun di rumah, baik kampus maupun di kampung, baik di kota maupun di desa. Jika ketakwaan tidak pudar di mana pun berada, itulah ketakwaan yang sempurna.
Khawatirlah kita, jika takwa hanya muncul di tempat tertentu tapi hilang di tempat lainnya, jangan-jangan kita menjalankan perintah dan menjauhi larangan karena manusia. Santri yang masih kecil mungkin berpikir, “Ah, di sini tidak Ustadz. Tidak ada penilaian. Tidak masalah shalat di rumah. Tidak masalah tidak tilawah.”
Sedangkan orang yang lebih dewasa mungkin berpikirnya, “Ah, di sini tidak ada teman-teman sesama dai, juga tidak ada mad’u yang mengamati.” Jika pikiran ini yang melatari, fix riya’ namanya. Belum sampai pada derajat takwa yang sesungguhnya.
Ketakwaan yang benar selalu dibangun di atas iman dan keikhlasan. Kita menjalankan perintah serta menjauhi larangan karena Allah dan Allah senantiasa ada di mana pun kita berada. Tidak sedetik pun Dia absen dari kehidupan kita. Tidak sesaat pun kita luput dari pengawasan-Nya. Kesadaran ini membuat kita terdorong untuk taat di mana pun kita berada. Sebab motivasi kita dalam berbuat sesuatu adalah karena Allah bukan karena manusia.
Keimanan yang benar juga membuat kita mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencintai amal-amal yang membuat Dia mencintai kita. Ketika takwa kita berlandaskan cinta, masihkah ibadah dianggap sebagai beban? Ibarat sama-sama 15 Kg, antara mengangkut beras dengan menggendong anak, tentu rasanya berbeda. Mengangkut beras 15 Kg, kita ingin segera meletakkannya. Menggendong buah hati 15 Kg, kita suka berlama-lama. Pun saat takwa kita karena cinta. Tilawah bukan beban. Shalat adalah kebutuhan. Dan munajat adalah momen bermesraan. Di mana pun kita berada. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]