Suasana duka menyelimuti rumah pasangan suami istri berusia kepala tiga. Buah hati mereka baru saja meninggal dunia. Kerabat, tetangga, dan sahabat berduyun-duyun datang melayat.
“Kenapa terlambat?” Tanya seorang laki-laki kepada temannya yang baru tiba di rumah duka.
“Tadi ban motorku bocor.”
“Semua itu tergantung amal perbuatan.”
Mendengar percakapan tersebut, saya merasa miris. Mungkin saja laki-laki itu sedang mencandai temannya. Namun, tidak elok rasanya kalimat tersebut dilontarkan dalam suasana duka. Selain itu, kalimat tersebut juga cacat secara makna.
Kali lain, ada teman yang kehilangan barang. Lalu, ada yang menyeletuk “tergantung amal perbuatan.” Seakan-akan, ketika ada musibah, ia adalah hukuman atas amal perbuatan orang tersebut. Pun soal kehilangan, kegagalan, sakit, dan kemiskinan. Sebagian orang menganggap bahwa itu semua tergantung amal perbuatan. Sebagai balasan atas dosa atau buruknya amal perbuatan.
Dunia Darul Amal, Akhirat Darul Jaza’
Salah satu hal mendasar dalam aqidah Islam adalah keyakinan bahwa dunia ini adalah darul amal (negeri tempat beramal) dan akhirat adalah darul jaza’ (negeri tempat pembalasan). Dunia adalah tempat kita beramal sedangkan akhirat adalah tempat kita menerima balasan atas amal-amal kita. Di dunia, kita bisa shalat dan puasa yang pahalanya nanti kita terima di akhirat. Sedangkan di akhirat, kita tidak bisa lagi shalat dan puasa sebagaimana di dunia. Yang ada adalah balasan atas shalat dan puasa yang kita kerjakan di dunia.
Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, nanti di akhirat akan menerima balasan berupa surga. Sedangkan orang-orang yang kafir, nanti di akhirat akan menerima balasan berupa neraka. Mereka sudah tidak bisa lagi beramal sebagaimana di dunia.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Ahqaf: 13-14)
ذَلِكَ جَزَاءُ أَعْدَاءِ اللَّهِ النَّارُ لَهُمْ فِيهَا دَارُ الْخُلْدِ جَزَاءً بِمَا كَانُوا بِآَيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai balasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami. (QS. Fushilat: 28)
Memang orang beriman mendapatkan kebahagiaan dan keberkahan di dunia. Namun, itu bukan balasan sepenuhnya atas amal mereka. Juga tidak menjamin bahwa mereka tidak sakit, tidak tertimpa musibah, tidak kehilangan. Justru Allah akan menguji setiap orang dengan nikmat dan musibah lalu terlihatlah bagaimana amal mereka dan Allah akan membalas amal mereka itu kelak di akhirat.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai balasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami. (QS. Al-Mulk: 2)
Kenikmatan Dunia Bukan Ukuran Kemuliaan
Hal kedua yang perlu kita yakini dalam bab ini adalah kenikmatan dunia bukan ukuran kemuliaan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang kaya dan memiliki jabatan tinggi tidak selalu mulia di hadapan Allah. Pun orang yang miskin atau sakit-sakitan juga tidak selalu hina di hadapan Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela pandangan manusia yang merasa dimuliakan Allah dengan kenikmatan dan merasa dihinakan Allah ketika mendapat musibah.
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ . وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fahr: 15-16)
Jika harta dan kenikmatan dunia adalah tanda kemuliaan dari Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan secuil pun harta kepada orang-orang kafir. Nyatanya, banyak orang kafir yang kaya raya dan memegang jabatan tinggi. Pun tidak sedikit orang-orang fasik yang bergelimang materi. Dulu ada Fir’aun yang sangat berkuasa dan Qarun yang luar biasa banyak hartanya. Sebaliknya, Nabi Musa justru tidak punya banyak harta. Juga ada Nabi Ayyub yang pernah sakit bertahun-tahun lamanya.
Karenanya, saya merasa risih ketika ada orang yang mengomentari saudara seiman yang sakit atau mendapat musibah lalu menghubungkan musibahnya dengan amal perbuatannya. Bukankah banyak sekali ulama yang Allah uji dengan sakit dan musibah lainnya?
Yasir, Sumayyah, dan Khabab bin Al-Art wafat setelah mendapatkan siksaan dari kafir Quraisy. Pun sejumlah sahabat Nabi lainnya.
Sebelum wafat, Imam Syafi’i sakit wasir sekian lama hingga kesulitan berdiri dan aktivitas lainnya. Saat mengajar, beliau sampai duduk di atas baskom untuk menampung darahnya. Imam Ahmad bin Hanbal beberapa kali dipenjara bahkan mendapatkan siksaan cambuk dan lainnya.
Baca juga: Mengapa Orang Kafir Kaya Raya
“Tergantung Amal Perbuatan” untuk Muhasabah
Selain cacat secara makna, ucapan “tergantung amal perbuatan” juga merupakan bentuk buruk sangka (suuzhan) kepada saudara seiman. Sebab kita menyangka musibah yang menimpa saudara kita itu akibat dosanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita berburuk sangka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa… (QS. Al-Hujurat: 12)
Selain kita berdosa karena telah berburuk sangka, ketika saudara kita mendengar ucapan “tergantung amal perbuatan” tersebut, hatinya juga bisa terluka. Semestinya, saat menjenguk orang sakit atau takziyah, kita mendoakan dan menggembirakan hatinya. Kalaupun dia tidak mendengar, ketika kita menujukan ucapan “tergantung amal perbuatan” kepadanya, ia bisa menjadi ghibah yang besar dosanya.
Beda lagi jika ucapan “tergantung amal perbuatan” tersebut kita pakai untuk diri sendiri. Sebagai bagian dari muhasabah untuk mengingatkan kita bahwa bisa jadi musibah yang menimpa kita bisa jadi merupakan peringatan dari Allah agar kita kembali kepada-Nya. Agar kita segera bertaubat kepada-Nya. Jika bisa membuat kita menjadi lebih baik, tidak mengapa kita menggunakan ucapan tersebut untuk diri sendiri. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Masya Allah Jazakamullah khoiron katsiron ilmunya.
Komentar ditutup.