Seorang muslimah merasa hidupnya kian berat. Pengeluaran semakin bertambah, sedangkan penghasilannya hanya segitu-gitu saja. Ia sudah berusaha lebih keras bekerja, tetapi belum kelihatan hasilnya. Kok?
Ya, meskipun ia adalah seorang istri, ia yang pontang-panting mencari nafkah buat keluarga. Sementara si suami santai-santai saja. Padahal ia rajin shalat berjamaah di masjid, rajin mengikuti pengajian. Tapi untuk urusan kerja, malasnya minta ampun hingga si istri yang akhirnya menjadi tulang punggung keluarga. Istrinya jualan hingga mengangkut dagangannya ke sana ke mari, berpanas-panas di luar rumah, sementara suaminya malah tidur-tiduran di rumah.
Tak hanya si suami tersebut yang malas kerja. Di beberapa keluarga lain, juga terjadi fenomena serupa. Suami kelihatannya sholeh, rajin ke masjid, rajin taklim, tapi malas kerja. Ketika istri memintanya berusaha –entah dengan berdagang atau melamar pekerjaan- ia justru menasihati istrinya agar qanaah.
Sebenarnya, ‘sholeh’ tapi malas kerja tidak hanya kita dapati pada zaman ini. Pada era sahabat Nabi pun pernah terjadi.
Sudah sekian hari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu melihat pemuda itu di masjid. Terkadang pemuda itu shalat sunnah, seringnya duduk entah berdzikir atau tilawah. Yang pasti, hampir sepanjang hari ia di masjid.
“Wahai anak muda, sepanjang hari engkau di masjid. Apakah engkau tidak mencari nafkah?” Amirul Mukminin akhirnya menegur pemuda itu.
“Saya punya seorang saudara. Dialah yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga kami. Makanan dan pakaianku juga dicukupi oleh saudaraku itu,” jawab si pemuda.
“Kalau begitu, saudaramu itu lebih baik daripada engkau.”
Bukankah fenomena suami malas kerja di atas serupa dengan pemuda yang ditegur Umar tersebut? Bedanya, mungkin jumlah kasus di zaman sekarang jauh lebih banyak. Dan dengan adanya media sosial, ceritanya lebih tersebar.
Kerja adalah Ibadah
Hidup ini harus seimbang. Banyak kewajiban yang harus kita tunaikan. Ada kewajiban kepada Allah seperti shalat dan puasa. Ada kewajiban terhadap diri sendiri agar tubuh sehat hingga bisa menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya. Juga ada kewajiban mencari nafkah untuk keluarga.
Semuanya menjadi berpahala ketika kita meluruskan niat sebagai ibadah kepada-Nya. Sesuatu yang kita sangka sebagai urusan dunia, ia bisa mendatangkan pahala besar ketika kita niat benar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadits Arbain ke-1:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya semua amal tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya bekerja. Kita niatkan bekerja untuk mencari ridha Allah dalam menjemput rezeki-Nya. Agar dengan rezeki itu kita bisa makan dan memiliki energi untuk beribadah kepada-Nya. Dengan rezeki itu kita bisa memberikan nafkah untuk keluarga, menyekolahkan anak-anak agar menjadi shalih-shalihah yang berilmu dan berguna. Dengan bekerja, kita juga berbagi kemanfaatan dan membantu orang lain melalui produk atau jasa kita.
رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat. (Abdullah bin Mubarak)
Bekerja adalah ibadah. Apalagi setelah hasilnya menjadi nafkah, ia menjadi berpahala sedekah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
Harta yang engkau keluarkan untuk keperluan konsumsimu, maka ia adalah sedekah untukmu. Makanan yang engkau berikan kepada anakmu, itu juga sedekah bagimu. Begitu pula makanan yang engkau berikan kepada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah. (HR. Ahmad; hasan)
Baca juga: Surat Al Waqiah
Kerja Itu Fi Sabilillah
Suatu hari, para sahabat berada di Masjid Nabawi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu lewatlah seorang laki-laki yang gagah, sedang berangkat bekerja dengan semangat. Sebagian sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya semangat dan tenaga orang itu disalurkan di jalan Allah”
Rasulullah mengerti maksud sahabat tadi. Ia membayangkan jika semangat dan energi laki-laki tersebut untuk perang atau jihad fi sabilillah, tentulah itu akan sangat baik. Akan tetapi, Rasulullah tidak sepenuhnya menyetujui pandangan ini. Beliau pun bersabda:
إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
Jika ia keluar untuk bekerja demi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia fi sabilillah (di jalan Allah). Jika ia keluar untuk bekerja demi dua orang tuanya yang sudah tua renta, maka ia fi sabilillah. Dan jika ia keluar untuk bekerja agar tidak meminta-minta, maka ia juga fi sabilillah. Sedangkan jika ia keluar untuk bekerja karena riya’ dan bangga diri, maka ia fi sablilisy syaithan (di jalan setan). (HR. Thabrani; shahih lighairihi)
Baca juga: Sholat Dhuha
Hadits ini selayaknya meluruskan pemahaman kita. Dengan niat yang benar, bekerja adalah ibadah, bahkan bahkan termasuk fi sabilillah. Hadits ini juga sepatutnya mengoreksi persepsi kita tentang kesholehah. Bahwa sholeh itu bukan hanya beribadah mahdlah kepada Allah, tetapi juga menunaikan kewajiban terhadap manusia. Antara lain bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga.
Malas kerja karena menganggapnya mubah adalah pemahaman yang salah. Malas kerja sehingga melalaikan kewajiban terhadap keluarga adalah dosa. Sedangkan menutupi malas kerja dengan kedok sibuk beribadah adalah bentuk kemunafikan. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]