Salah satu cabang ilmu dalam Islam adalah ilmu kalam. Meskipun ada yang kontra atau menolak istilah ilmu ini, ia memiliki sejarah dan manfaat bagi umat Islam. Apa pengertian ilmu kalam, bagaimana sejarahnya, apa saja sumbernya, dan apa manfaatnya bagi umat Islam? Ilmu kalam seperti apa yang Imam Syafi’i menolaknya?
Kita akan mengawai dari pertanyaan terakhir ini. Memang ada pernyataan Imam Syafi’i yang secara tegas menolak ilmu kalam. Bahkan, beliau memerintahkan agar orang yang menyelami ilmu tersebut mendapat hukuman pukulan dengan pelepah kurma.
Ibnu Khaldun menjelaskan konsteks larangan Imam Syafi’i ini. Bahwa pada masa sahabat dan tabi’in, para ulama salaf ini menetapkan sifat ketuhanan dan kesempurnaan pada Allah dan men-tafwidh (menyerahkan makna kepada Allah) semua hal yang seakan menunjukkan kekurangan, semisal kesan-kesan jismiyah.
Kemudian muncullah Muktazilah yang menetapkan sifat-sifat Allah sebagai kesan dalam hati semata, bukan sebagai sifat dari Dzat Allah sendiri. Mereka juga mendudukkan manusia sebagai pencipta perbuatan mereka sendiri tanpa ada kaitannya dengan takdir. Ilmu kalam ala muktazilah inilah yang Imam Syafi’i tolak. Bukti lainnya, tokoh-tokoh besar dari mazhab Syafi’i, seperti Imam Baihaqi, Imam al-Haramain, dan Imam Ghazali, adalah para pakar ilmu kalam.
Daftar Isi
Pengertian Ilmu Kalam
Definisi akan mempengaruhi sikap terhadap sesuatu itu. Pengertian yang berbeda bisa melahirkan sikap yang berbeda pula. Karenanya, penting untuk mengetahui definisi atau pengertian ilmu kalam agar kita bisa bersikap yang tepat. Bisa jadi ada pandangan berbeda dari sebagian ulama yang menolak ilmu kalam karena berbeda definisi.
Pengertian Ilmu Kalam secara Bahasa
Ilmu kalam (علم الكلام) terdiri dari dua kata: al-ilmu (العلم) dan al-kalam (الكلام). Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, al-ilmu (العلم) adalah semua jenis kualitas pengetahuan, baik yang mencapai tahap keyakinan ataupun yang hanya sebatas dugaan kuat (zhan).
Sedangkan al-kalam (الكلام) adalah perkataan atau ucapan. Secara khusus, pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika.
Dengan demikian, secara bahasa (etimologi), ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan keagamaan (agama Islam) dengan bukti yang meyakinkan.
Pengertian Ilmu Kalam secara Istilah
Menurut Dr. Hasan mahmud Asy-Syafi’i dalam Pengantar Studi Ilmu Kalam, pengertian tertua ilmu kalam disampaikan oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H) yang memakai istilah fikih akbar untuk menyebut ilmu ini.
Imam Abu Hanifah mengatakan, “Ketahuilah bahwa fikih dalam bidang ushuluddin lebih utama daripada fikih dalam bidang cabang hukum. Fikih adalah pemahaman diri akan keyakinan dan amal-amal yang boleh baginya dan apa yang wajib baginya dari keduanya. Apa yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) disebut dengan Al-Fiqh Al-Akbar, dan apa yang berkaitan dengan amaliyah disebut dengan Fikih (Ilmu Fikih).”
Menurut Abu Nashr Al-Farabi (w. 339 H), ilmu kalam adalah keahlian perkataan yang manusia gunakan untuk mendukung pendapat-pendapat dan perbuatan perbuatan tertentu yang Allah tetapkan dan untuk menangkis kepalsuan setiap perkara yang menyelisihinya.
Menurut Al-Baidhawi Al-Asy’ari, ilmu kalam adalah ilmu yang digunakan untuk menetapkan keyakinan-keyakinan agama dengan menyampaikan argumen-argumen atau menolak syubhat-syubhat darinya. Pengertiap serupa juga menjadi pendapat Al-Iji (w. 756 H).
Al-Jurjani (w. 816 H) menjelaskan, pengertian ilmu kalam adalah ilmu yang membahas Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan keadaan perkara-perkara yang mungkin mulai dari permulaan dan tempat kembali berdasarkan hukum Islam.
Ibnu Khaldun (w. 807 H) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang memuat peneguhan keyakinan-keyakinan keimanan dengan dalil-dali aqli dan bantahan terhadap para penyimpang dalam aqidah.
Sedangkan Muhammad Abduh (w. 1323 H) mendefinisikan, ilmu kalam adalah ilmu yang membahas wujud Allah, apa yang wajib ditetapkan bagi-Nya dari sifat-sifat, apa yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan apa yang wajib dinafikan dari-Nya, serta membahas tentang para rasul, sifat-sifat wajib bagi mereka, sifat-sifat mubah, dan sifat-sifat mustahil bagi mereka.
Dengan demikian, secara terminologi, ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang aqidah yang meliputi ketuhanan, kenabian, dan as-sam’iyat (urusan-urusan akhirat) dengan mengemukakan bukti-bukti terhadapnya dan menangkis syubhat-syubhat tentangnya.
Nama Lain Ilmu Kalam
Dari pengertian secara terminologi di atas, kita bisa melihat bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang membahas tentang i’tiqadiyah (keyakinan). Ilmu yang membahas tentang i’tiqadiyah memiliki beberapa nama atau istilah sebagai berikut:
At Tauhid
Tauhid adalah istilah yang sejak awal sudah Islam gunakan. Bisa kita dapati dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya sabda beliau kepada Muadz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَىْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ – وَفِيْ رِوَايَةٍ – : إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat La ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah.” -dalam riwayat lain: “Sampai mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ilmu Aqidah
Dalam Al-Qur’an, tidak kita menjumpai kata aqidah. Demikian pula pada masa Rasulullah dan sahabat, istilah ini belum populer.
Istilah aqidah mulai populer pada masa ulama setelahnya. Misalnya Imam Al Laalakaai (w. 416 H) dalam kitabnya Syarhul Ushul I’tiqad Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan Imam Ash Shabuni (w. 449 H) dalam kitabnya Aqidas Salaf Ashaabul Hadits.
Fiqih Akbar
Awalnya, istilah fiqih mengacu kepada ajaran Islam secara umum, terutama tentang akhirat. Namun kemudian, ia menyempit menjadi ilmu tentang hukum-hukum dzahir praktis syar’i sebagaimana saat ini.
Untuk membedakan dari fiqih praktis, nama ilmu tentang aqidah menjadi fiqih akbar. Di antaranya ulama yang mempopulerkannya adalah Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dalam kitabnya Al-Fiqhul Akbar.
Ushuluddin
Nama lain ilmu kalam adalah ushuluddin artinya adalah pokok agama. Ulama yang menggunakan istilah ini dalam kitabnya antara lain Abu Hasan Al Asy’ari (w. 324 H) dalam Al ‘Inabah ‘an Ushulid Diyanah dan Ibnu Bathoh (w. 387 H) dalam Asy Syarhu wal Ibanat ‘an Ushulin Sunnah wad Diyanah.
Sejarah Ilmu Kalam
Setelah membahas pengertian ilmu kalam dan nama-nama lainnya, kita kita membahas sejarah ilmu kalam. Agar lebih mudah dan sistematis memahaminya, Dr. Hasan mahmud Asy-Syafi’i membaginya ke dalam lima fase.
- Fase kemunculan
- Fase kodifikasi dan munculnya firqah (kelompok/aliran)
- Fase perkembangan dan persinggungan dengan filsafat
- Fase kekosongan dan taklid (fanatisme)
- Fase modern
Secara singkat, berikut ini penjelasan masing-masing fase sejarah ilmu kalam.
1. Fase kemunculan
Berlangsung selama abad pertama hijriyah dan permulaan abad kedua. Pada fase ini, mulai muncul perdebatan dan diskusi tentang sebagian masalah-masalah aqidah. Dari perdebatan tersebut, muncul beragam perbedaan pendapat yang lambat laun menjadi sudut pandang dan pola pikir firqah atau madzhab teologis.
Namun, pada fase ini, diskusi dan perdebatan belum sepenuhnya terbukukan dan terkodifikasi. Selain itu, dominasi politik lebih kental daripada perdebatan teologis. Misalnya pada firqah yang pertama muncul yakni khawarij.
Khawarij muncul pada masa kekhalifahan Ali. Mereka tidak puas dengan perdamaian antara Ali dan Muawiyah dalam Perang Shiffin melalui tahkim. Mereka mengkafirkan Ali dan para sahabat yang menerima tahkim. Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan menyatakan bahwa pelaku dosa besar akan kekal di neraka.
Sebagai antitesa dari pemikiran khawarij, muncullah kelompok murjiah. Murjiah menyatakan pelaku dosa besar tetap mukmin dan amal perbuatan tidak termasuk bagian dari iman.
Perdebatan kedua pada fase ini terkait dengan takdir. Muncul kelompok qadariyah yang menyatakan bahwa tidak ada yang namanya takdir Allah. Semua urusan baru Allah ketahui setelah terjadi. Muncul pula kelompok ekstrim lain sebagai antitesa dari qadariyah yakni jabariyah. Jabariyah berpendapat bahwa manusia itu tak ubahnya seperti bulu ayam dalam hembusan angin, tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak memiliki kuasa apa-apa.
Perdebatan ketiga adalah masalah kepemimpinan (imamah). Muncul syiah yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih berhak atas kekhalifahan daripada Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Setelah peristiwa Karbala, mereka menjadi semakin ekstrim dengan menganggap imam-imamnya ma’shum dan mengkafirkan para sahabat Nabi. Bahkan ada yang terpengaruh zoroaster hingga meyakini reinkarnasi seperti Syiah Na’ithiyah. Ada pula yang meyakini penjelmaan Tuhan dalam diri makhluk seperti Syiah Bayaniyah.
2. Fase kodifikasi dan munculnya firqah
Fase ini berlangsung selama empat abad terhitung sejak awal abad kedua hingga akhir abad kelima hijriyah. Pada fase ini, banyak bermunculan halaqah (forum) yang mendiskusikan aqidah atau teologi. Lalu forum-forum ini berubah menjadi madzhab teologis.
Umumnya, madzhab-madzhab teologis ini dianut oleh sejumlah firqah yang masing-masing memiliki pemimpin dan pengikut. Tidak sebatas meletakkan teori-teori dasar madzhab tetapi juga sudah cenderung mengaplikasikannya dalam berbagai aspek kehidupan mulai spiritual, politik, hingga sosial dan kesenian.
Begitu banyak firqah yang muncul pada fase ini. Sebagiannya telah musnah sebagaimana Syiah Na’ithiyah dan Syiah Bayaniyah yang kemudian sebagaian pemikiran mereka diteruskan oleh Syiah Ismailiyah. Ada 10 firqah besar yang menjadi sumber hulu dan rujukan. Lima di antaranya adalah firqah kanan, yakni Hasyawiyah, Hanabilah, Zhahiriyah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Sedangkan lima sisanya di sebelah kiri, yakni Ismailiyah, Muktazilah, Syiah Imamiyah, Khawarij, dan Zaidiyah.
3. Fase perkembangan dan persinggungan dengan filsafat
Fase ini berlangsung selama empat abad sejak abad keenam hingga abad kesembilan hijriyah. Pada fase ini, aliran-aliran besar ilmu kalam telah mengalami kematangan dan kemapanan.
Pada fase ini, ilmu kalam juga mengalami perkembangan baru dalam materi, metodologi, dan cara sistematisasi topik-topiknya. Bahkan, produk ilmu kalam pada fase ini mendapatkan istilah kalam muta’akhirin (ilmu kalam generasi belakang) untuk membedakannya dengan kalam mutaqadimin (ilmu kalam generasi pendahulu).
Pada fase ini juga ilmu kalam bercampur dengan hasil intelektual para filsuf muslim. Mereka merumuskan teori yang bersifat kompehensif dari perspektif Islam. Hal ini terlihat dari karya-karya ulama Asy’ariyah seperti Ar-Razi dan Al-Amudi. Ketika persinggungan kalam dan filsafat kian besar, datang ulama-ulama seperti Imam Adz-Dzahabi mengkritiknya. Jika sarjana ilmu kalam tidak mengambil rujukan dari wahyu, maka materi ilmu kalam pada fase ini tidak berbeda dari filsafat.
4. Fase kekosongan dan taklid (fanatisme)
Fase ini berlangsung dari abad 10 hingga akhir abad 12 hijriah. Pada fase ini mengalami stagnasi setelah kemajuannya. Fase ini didominasi oleh taklid dan mencukupkan dengan mengulang ulasan masa-masa sebelumnya. Tidak ada karya-karya baru yang otentik. Hampir semua karya yang muncul adalah kitab-kitab syarah (penjelasan), mukhtashar (ringkasan), atau kritik atas kitab-kitab terdahulu.
5. Fase modern
Fase ini berlangsung mulai abad 13 hijriah hingga hari ini. Kejumudan dan stagnasi yang berkepanjangan pada ilmu kalam seiring dengan kemajuan pemikiran di Eropa dan kemunduran umat Islam.
Kemunduran dan kekalahan umat Islam juga mendorong bangkitnya pemikiran Islam. Misalnya Muhammad bin Abdul Wahhab dengan gerakan reformasinya di jantung jazirah Arab menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Lalu Muhammad Abduh di Mesir yang mengusung gerakan Pan Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.
Fase ini ditandai dengan perkembangan cepat pemikiran Hambali dan kecenderungan salafi terutama setelah berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Terjadi polarisasi antara Syiah Itsna Asyariyah di Iran dengan Sunni di Timur Tengah. Sedangkan pemikiran Maturidiyah masih tetap bertahan terutama di Turki dan anak benua India.
Sumber Ilmu Kalam
Setelah mengetahui pengertian ilmu kalam dan sejarahnya, kita juga perlu mengetahui sumber ilmu kalam. Dari mana para mutakallimin (ahli ilmu kalam) mengambil sumber pemikirannya.
1. Al-Qur’an
Sumber pertama ilmu kalam adalah Al-Qur’an. Sebagaimana kata Imam Adz-Dzahabi di atas, jika para sarjana ilmu kalam tidak mengambil dalil dari wahyu (Al-Qur’an dan hadits), tidak ada bedanya antara ilmu kalam dan filsafat.
Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang membicarakan tentang masalah ketuhanan. Mulai dari kali pertama turun di Mekah hingga surat-surat Madaniyah pun banyak ayat yang menjelaskan tentang aqidah dan keimanan. Misalnya Surat Al-Ikhlas yang semua ayatnya menjelaskan tentang keutahanan dan tauhid.
2. Hadits
Sumber kedua ilmu kalam adalah hadits hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak hadits yang menjelaskan tentang ketuhanan dan perkara-perkara sam’iyat hingga tentang firqah umat Islam.
Misalnya hadits Arbain ke-2 yang menjelaskan tentang rukun iman yang salah satunya adalah iman kepada takdir. Ketika muncul cikal bakal firqah qadiriyah, Abdullah bin Umar menggunakan hadits ini untuk membantah mereka.
Contoh lain adalah hadits yang menjelaskan mengenai hakikat keimanan dan terpecahnya golongan, bahwa umat Rasulullah akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Siapa mereka? Rasulullah menjawab, “Mereka itu adalah yang mengikutiku dan mengikuti sahabat-sahabatku.” (HR. Tirmidzi)
3. Pemikiran Manusia
Sebagaimana salah satu sumber fiqih adalah ijtihad, demikian pula sumber ilmu kalam. Ijtihad atau pemikiran manusia menjadi salah satu sumber ilmu kalam sebagaimana Al-Qur’an sering mengingatkan untuk menggunakan akal. Misalnya “afala ta’qilun” yang muncul 13 kali dalam Al-Qur’an dan “la’allakum ta’qilum” yang muncul 8 kali dalam Al-Qur’an.
Manfaat Ilmu Kalam
Ilmu kalam memiliki sejumlah manfaat bagi kaum muslimin. Berikut ini tiga manfaat ilmu kalam:
1. Memberikan jawaban atas penyimpangan
Jika ada pertanyaan, mengapa Asy’ariyah dan Maturidiyah menjadi madzhab aqidah yang paling populer hingga saat ini? Sebab keduanyalah yang mampu menjawab ketika terjadi penyimpangan aqidah oleh muktazilah dan firqah-firqah lainnya.
Dengan mempelajari ilmu kalam, umat Islam memiliki argumentasi yang kokoh untuk berhadapan dengan keyakinan ekstrim dan menyimpang dari berbagai aliran kepercayaan yang mengatasnamakan Islam.
2. Mengamalkan ajaran Islam
Manfaat ilmu kalam yang kedua adalah mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Sebab umat Islam bisa mengidentifikasi penyimpangan dan menolaknya. Mereka juga selamat dari keyakinan-keyakinan yang tidka berdasar.
3. Mendakwahkan Islam
Mempelajari ilmu kalam bisa menjadikan seorang muslim memiliki landasan pengetahuan yang kuat tentang agama Islam. Melalui pengetahuan tersebut, ia bisa mendakwahkannya kepada orang lain. Sebagaimana Abdullah bin Abbas mendakwahi khawarij hingga 2.000 orang bertaubat dari penyimpangan pemikiran mereka. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Maraji’:
- Pengantar Studi Ilmu Kalam karya Dr. Hasan Mahmud Asy-Syafi’i
- Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Dr. Ali Jum’ah
- Kitab Al-Ibanah karya Imam Asy’ari
- Kitab Tauhid karya Imam Maturudi
- Khawarij dan Syi’ah karya Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi