Kisah Sahabat Nabi yang akan kita kaji kali ini adalah Abbad bin Bisyr radhiyallahu ‘anhu. Seorang sahabat yang lebih memilih terputus nyawa daripada memutus bacaan Al Qur’an dalam shalatnya.
Dialah sahabat dari kalangan Anshar yang sulit ditemukan tokoh yang sepadan dengannya. Sebagaimana Bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakannya. “Ada tiga orang Anshar yang tidak bisa disamai, yakni Sa’ad bin Mu’adz, Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr.”
Daftar Isi
Masuk Islamnya Abbad bin Bisyr
Abbad bin Bisyr adalah seorang pemuda gagah tatkala dakwah Islam masuk Madinah. Wajahnya segar, tubuhnya bugar. Tampak rona kejujuran dan kesucian dalam wajahnya yang rupawan. Usianya belum genap 25 tahun saat itu. Namun kedewasaan berpikir dan sikapnya menunjukkan kematangan kepribadian melampaui usia biologisnya.
Kali pertama mendengar bacaan Al Qur’an Mush’ab bin Umair, Abbad langsung tertarik. Baginya, itu bukanlah syair. Sangat indah bahasanya, sangat dalam maknanya hingga menyentuh relung jiwa. Apalagi Mush’ab membacanya dengan suara merdu.
Tak butuh lama, Abbad bin Bisyr pun masuk Islam. Ia mengikuti jejak Mush’ab, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Menjadi Sahabat Nabi yang mulia.
Sebagaimana kali pertama ia tersentuh dengan Al Qur’an, hari-hari berikutnya Abbad tak pernah lepas dari kalam suci ini. Di mana pun ia berada -baik di rumah, di masjid, maupun di perjalanan, Abbad menjadikan Al Quran sebagai teman dekat. Ia senantiasa membaca dan mengulang-ulangnya, hingga banyak sahabat menyebutnya “Imam dan teman Al Quran.”
Ruhbanun fil Lail wa Fursanun fin Nahar
Para Sahabat Nabi, mereka digambarkan sebagai ruhbanun fil lail wa fursanun fin nahar. Laksana rahib di malam hari dan singa di siang hari. Itu lantaran mereka banyak beribadah di malam hari; qiyamul lail. Sedangkan siang harinya berjihad dan berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abbad bin Bisyr adalah sosok tepat mewakili julukan itu. Jika kita mencarinya di medan perang, kita akan mendapatinya sebagai mujahid perkasa. Ia bergerak laksana singa, merobohkan musuh-musuhnya. Menerobos barisan lawan dengan sabetan pedang.
Ia ikut serta dalam seluruh peperangan. Dialah yang membunuh seorang Yahudi licik, Ka’ab bin Al Asyraf. Dialah yang menjadi tameng Rasulullah dalam Perang Tabuk. Dialah motivator yang membangkitkan semangat orang-orang Anshar di Perang Yamamah, ketika mereka hampir kalah.
Abbad adalah sosok tepat mewakili julukan ruhbanun fil lail wa fursanun fin nahar. Jika kita mencarinya di antara para ahli ibadah, kita akan mendapatinya sebagai abid yang lambungnya jauh dari tempat tidur. Ia banyak mendirikan shalat malam. Suka berlama-lama tahajud dengan tilawah yang sangat panjang.
Di antara ibadah yang paling digemarinya adalah membaca Al Quran. Dengan suaranya yang merdu, tilawahnya mampu menggetarkan hati orang yang mendengarkan. Apalagi saat sholat malam, begitu indah menyentuh jiwa.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Aisyah menuturkan. “Nabi pernah mengerjakan sholat tahajud di rumahku. Lalu beliau mendengar suara Abbad sedang shalat di masjid. Lantas beliau berkata, “Wahai Aisyah, apakah itu suara Abbad?”
“Iya, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah bersabda, “Ya Allah, berilah dia maghfirah.”
Duhai, siapakah yang tak iri dengan Abbad. Ia didoakan Rasulullah untuk mendapatkan ampunan. Dan doa Rasulullah pasti dikabulkan Allah.
Karamah Abbad bin Bisyr
Keistiqamahan Abbad mendatangkan berbagai keistimewaan. Ia mendapatkan karamah dari Allah Azza wa Jalla.
Salah satu karamah itu diriwayatkan Imam Ahmad dalam sebuah hadits shahih. Dari Anas, bahwa Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam gelap gulita.
Anas mengatakan, “Tatkala keduanya pulang, salah satu tongkat keduanya memancarkan sinar (sebagai penerang jalan). Ketika keduanya berpisah, masing-masing tongkatnya sama-sama memancarkan sinar.”
Abbad juga dikarunia kata-kata yang berperngaruh. Kata-kata yang memotivasi dan mempersatukan. Orasinya mampu membalik keadaan, ketika sebelumnya kaum muslimin terpukul mundur dalam Perang Yamamah.
Abbad juga bisa dikaruniai karamah tafsir mimpi. Ia mampu menafsirkan mimpinya secara tepat. Khususnya di malam menjelang syahidnya.
Memilih Terputus Nyawa daripada Memutus Shalat
Kisah luar biasa ini terjadi dalam rangkaian perang Dzatur Riqa’. Usai perang, Rasulullah dan para sahabat bermalam di sebuah tempat. Seperti biasa, beliau menugaskan sahabat untuk hirasah. Berjaga. Sementara yang lain istirahat.
“Siapa yang berjaga malam ini?” tanya Rasulullah.
“Kami berdua, wahai Rasulullah,” jawab Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr. Keduanya dipersaudarakan Rasulullah ketika tiba di Madinah. Dengan muakhah, Rasulullah mempersaudarakan setiap satu orang muahajirin dengan satu orang Anshar.
“Engkau pilih tidur duluan atau belakangan?” tanya Abbad kepada Amar, sesampainya mereka di mulut lembah.
“Aku tidur duluan.”
Abbad pun berjaga. Diperhatikan sekelilingnya. Ditebarkan pandangannya sejauh-jauhnya. Menelisik keadaaan. Setelah semua dipastikan aman, ia pun memanfaatkan waktu itu untuk shalat malam.
Seperti biasa, demikian khusyu’ Abbad tenggelam dalam shalatnya. Ia sangat menikmati bacaan Al Quran di malam sepi. Panjang bacaan tak terasa meski sepanjang siang energinya terkuras dalam perang dan perjalanan.
Dalam kegelapan malam, sesosok prajurit musyrik mengendap-endap. Ia yang siang tadi pulang dan menemukan istrinya terbunuh, bersumpah demi Lata dan Uzza hendak membalas dendam. Kini ia melihat pasukan Rasulullah sedang istirahat dan hanya ada satu penjaga yang sedang shalat.
Disiapkannya anak panah. Dengan sekuat tenaga ia tarik busur. Diarahkan ke Abbad. Sekali lepas, melesatlah anak panah itu dengan cepat. Tepat mengenai tubuh Abbad.
“Jleb!” Darah mengucur. Pasti sakit. Namun khusyu’nya shalat membuat Abbad tak menghiraukan rasa sakit itu. Dicabutnya anak panah dan ia meneruskan bacaan Al Quran.
“Jleb!” Anak panah kedua mengenai tubuh Abbad. Darah mengucur lebih deras. Namun Abbad tetap melanjutkan shalatnya. Dicabutnya anak panah itu. Ia meneruskan bacaan Al Quran dan tenggelam dalam nikmat khusyu’-nya shalat.
Anak panah ketiga melesat dan “jleb!” menancap di tubuh Abbad. Darah keluar terlalu banyak, Abbad hampir roboh. “Ammar, bangun Ammar. Aku sudah luka parah.”
Ammar terbangun seketika. Ia terkejut melihat Abbad sudah bersimbah darah. Tiga bekas anak panah terlihat di tubuh Abbad.
“Mengapa engkau tidak membangunkan aku sejak anak panah pertama?”
“Aku sedang membaca Al Quran dalam shalatku. Sunggguh jika bukan karena khawatir melalaikan tugas dari Rasulullah, takkan kuputus shalatku. Lebih baik terputus nyawa daripada memutus bacaan Al Quran dalam shalat.”
Subhanallah… Allaahu akbar! Demikianlah keteladanan Abbad bin Bisyr. Ia sangat memuliakan Al Quran dan menikmati shalatnya. Demikian khusyu’ hingga tak mau memutusnya walau resikonya adalah nyawa. Jika tidak karena tugas Rasulullah, niscaya ia akan meneruskan shalat meskipun anak-anak panah menembus seluruh tubuhnya.
Syahidnya Abbad bin Bisyr
Setelah wafatnya Rasulullah, gelombang kemurtadan melanda jazirah Arab. Nabi-nabi palsu bermunculan. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bertindak tegas memerangi mereka.
Nabi palsu dengan kekuatan militer terbesar adalah Musailamah Al Kazdab. Untuk menghanguskannya, Abu Bakar menyiapkan pasukan perang. Abbad berada di barisan terdepan.
Pada awal peperangan, kaum muslimin selalu terpukul mundur oleh pasukan Musailamah. Abbad melihat kekalahan kaum muslimin karena mereka saling bergantung satu sama lain. Anshar mengandalkan muhajirin. Muhajirin mengandalkan Anshar.
Melihat mereka kalang kabut dan justru saling menyalahkan, Abbad pun mengambil peran. Ia naik ke atas bukit dan menyeru. “Wahai saudara-saudara Anshar, pisahkan diri kalian dari golongan lainnya lalu buanglah sarung-sarung pedang kalian. Jangan biarkan Islam diinjak-injak oleh musuh!”
Maka berkumpullah 400 orang Anshar menyambut seruan itu. Mereka berperang sepenuh tenaga. Saling berlomba dengan muhajirin. Hingga akhirnya kaum muslimin memenangkan Perang Yamamah.
Tak hanya memotivasi, Abbad bin Bisyr mempelopori dengan menyerang di garis depan. Ia menerobos kebun “al maut” dan memporak-porandakan pasukan Musailamah Al Kadzab. Setelah perang usai, ditemukan jasadnya penuh luka pedang, tombak dan panah. Hampir tak dikenali kecuali sebuah tanda di tubuhnya.
Abu Sa’id Al Khudri lantas menceritakan, bahwa Abbad bermimpi di malam sebelumnya. Abbad melihat langit terbuka dalam mimpinya. Begitu ia masuk, pintu-pintu langit itu kembali menutup.
“Demi Allah, itu adalah syahadah ya Abu Sa’id,” kata Abbad pagi harinya saat memberitahu mimpi itu kepada Abu Said. Dan sungguh, mimpi itu telah menjadi kenyataan. Abbad bin Bisyr meraih syahid dan telah mendapat jaminan maghfirah, sebagaimana doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Referensi:
- Rijal Haula Ar Rasul karya Syaikh Khalid Muhammad Khalid
- Shuwar min Hayat Ash Shahabat karya Syaikh Dr. Abdurrahman Raf’at Al Basya
- Ashabur Rasul karya Syaikh Mahmud Al Mishri
- Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat Karya Muhammad Raji Hasan Kinas
subahanallah..
Komentar ditutup.