Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Abdullah bin Mas’ud, Sahabat Pakar Tafsir Al-Qur’an

Abdullah bin Mas’ud, Sahabat Pakar Tafsir Al-Qur’an

0
abdullah bin masud
ilustrasi (adobe fiferly)

Jika kita membaca Tafsir Ibnu Katsir atau tafsir bil ma’tsur lainnya, niscaya kita akan sering menjumpai nama Ibnu Mas’ud di dalamnya. Siapakah dia sehingga namanya memenuhi lembaran-lembaran tafsir bersama Ibnu Abbas? Dialah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Abdullah bin Mas’ud berasal dari Bani Hadzili. Ayahnya adalah Mas’ud bin Ghafil bin Habib bin Syamakh. Sedangkan ibunya bernama Ummu Abdi binti Abdi Wudd bin Sawa.

Islam mengubah Ibnu Mas’ud yang tadinya penggembala kambing menjadi sahabat yang luar biasa. Sekaligus menjadi ulama dan ahli tafsir yang tertulis sejarah dengan tinta emas sepanjang masa.

Orang Keenam yang Masuk Islam

Sejak kecil, Ibnu Mas’ud bekerja sebagai penggembala kambing. Sehari-hari, ia menggembalakan kambing-kambing milik Uqbah bin Abu Mu’aith. Hingga pada suatu hari saat usianya menginja remaja, perjumpaannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengubah segalanya.

Waktu itu, Rasulullah dan Abu Bakar lewat. Karena kehausan, Rasulullah meminta susu kambing untuk melepas dahaga.

“Nak, bisakah engkau memberi kami susu dari kambingmu?”

“Tidak bisa. Ini bukan kambing-kambingku.” Dengan jujur Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa ia hanyalah penggembala, tidak berani memberikan susu kepada beliau berdua.

Lalu Rasulullah minta dedkatkan kambing betina yang belum pernah kawin. Lantas beliau mengusap puting kambing tersebut. Tiba-tiba, susunya memancar deras.

Dengan wadah dari batu yang cekung, Rasulullah dan Abu Bakar meminum susu kambing tersebut. Demikian pula Ibnu Mas’ud. Kemudian beliau mengusapnya kembali puting kambing tersebut dan kempeslah ia seperti semula.

Peristiwa ini membuat Abdullah bin Mas’ud sangat takjub. “Ajari aku mantera tadi.”

Rasulullah menjelaskan bahwa itu bukan mantera. Namun, beliau adalah Nabi. Ibnu Mas’ud pernah mendengar desas desus soal Nabi terakhir yang telah diutus, tetapi sebelum ini ia tak terlalu peduli. Usianya yang sangat belia memang wajar jika tidak tertarik dengan tema ini.

Namun kali ini, di depannya ada sosok yang langsung ia kagumi. Ia meyakini bahwa Nabi adalah utusan Allah yang sejati. Maka, ia pun bersyahadat dan masuk Islam. Menjadi assabiqunal awwalun, bahkan urutan keenam dari kalangan laki-laki yang masuk Islam.

Baca juga: Abdullah bin Hudzafah As Sahmi

Keberanian dalam Menyuarakan Al-Qur’an

Sebagai seorang muslim yang memiliki tekad kuat, Ibnu Mas’ud tidak ragu untuk menunjukkan keyakinannya. Keberaniannya membuat sejarah mencatat Ibnu Mas’ud sebagai orang pertama yang membacakan Al-Qur’an di depan umum, di hadapan kaum Quraisy di Makkah.

Ketika para sahabat berkumpul, sebagian mereka mengungkapkan keinginan. “Seandainya ada yang berano membacakan Al-Qur’an secara terbuka kepada orang-orang Quraisy.”

Ibnu Mas’ud langsung menawarkan diri untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur’an di Masjidil Haram. Meski para sahabat khawatir akan keselamatannya, ia tetap maju dengan keyakinan bahwa Allah akan melindunginya.

Dengan suara lantang, Abdullah membaca ayat-ayat suci di hadapan orang-orang Quraisy. Mendengar suaranya, mereka marah dan beramai-ramai menyerangnya hingga ia babak belur. Meski demikian, Abdullah tidak gentar.

Ketika kembali kepada para sahabat, ia bahkan menyatakan keinginannya untuk mengulangi aksinya keesokan harinya. Namun, para sahabat menyarankan agar ia berhenti, mengingat risikonya yang besar.

Baca juga: Abdullah bin Jubair

Pelayan Nabi yang Setia

Setelah Ibnu Mas’ud memeluk Islam, Rasulullah memintanya untuk membantu urusan pribadi beliau, seperti membawa sandal dan menyiapkan peralatan perang. Bahkan Rasulullah memberikan hak istimewa kepada Ibnu Mas’ud, yakni ia boleh keluar masuk rumah Rasulullah sehingga bisa belajar banyak hal langsung kepada beliau.

Maka, Ibnu Mas’ud banyak mendengar hadits dari beliau. Juga ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah turunkan kepada beliau. Alhasil, Ibnu Mas’ud yang masih muda berhasil menghafal 70 surah Al-Qur’an dari Rasulullah tanpa ada yang menentang hafalannya.

Perjuangan Ibnu Mas’ud tampak dari berbagai peristiwa penting. Sirah Nabawiyah mencatat, ia ikut dalam dua hijrah, yaitu ke Habasyah  dan Madinah. Ia juga turut berperang dalam perang-perang besar seperti Badar, Uhud, dan Khandaq.

Setelah wafatnya Rasulullah, Abdullah melanjutkan perjuangannya dalam ekspedisi Islam hingga ke medan perang Yarmuk. Sahabat yang bertubuh kurus dan pendek ini kini menjadi sosok pemberani. Bukan hanya berani menyuarakan kebenaran dengan risiko mendapatkan siksaan tetapi juga berani di medan perang meski risikonya adalah nyawa.

Baca juga: Abdullah bin Jahsy

Pakar Tafsir Al-Qur’an

Sebagai seorang ahli ilmu, Abdullah menjadi rujukan bagi para sahabat dalam hal pengetahuan agama. Banyak sahabat besar seperti Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah yang belajar darinya.

Demikian pula para tabi’in seperti Alqamah dan Ubaidah juga merujuk pada Ibnu Mas’ud untuk memahami Al-Qur’an. Ia mengajarkan kepada mereka dengan lembut, sehingga para sahabat mengakui keunggulannya dalam wawasan agama dan adab yang santun.

Ibnu Mas’ud juga selalu menjaga kedekatannya dengan Allah melalui zikir dan bacaan Al-Qur’an. Ketika malam menjelang, ia sering terdengar melafalkan zikir seperti suara lebah hingga waktu subuh.

Salah satu kebiasaannya adalah berdzikir di pagi hari hingga matahari terbit. Pernah sahabat ke rumahnya pagi-pagi. Sudah di depan, sahabat itu hendak kembali. Dari dalam rumah, Ibnu Mas’ud memanggil sahabat tadi.

“Mengapa engkau akan berbalik pergi padahal sudah sampai?”

“Aku takut engkau dan keluargamu sedang tidur.”

“Tidak. Kami tidak pernah tidur pagi. Kami berdzikir hingga terbitnya matahari.”

Dedikasi Ibnu Mas’ud dalam ibadah dan keilmuan menjadi teladan bagi generasi selanjutnya. Selain mengajarkan Al-Qur’an, ia juga meriwayatkan 848 hadits. Umar bin Khattab pun menggelarinya sebagai “wadah yang dipenuhi ilmu.”

Baca juga: Abdullah bin Amr bin Ash

Wafatnya Abdullah bin Mas’ud

Sejarah hidup Abdullah bin Mas’ud mengajarkan kita tentang dedikasi, keberanian, dan kecintaan pada ilmu. Meski bertubuh kecil, ia memiliki semangat yang besar dalam menyebarkan Islam. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memuji kebaikannya dan menyatakan bahwa kelak di akhirat, betisnya yang kecil akan lebih berat timbangannya daripada Gunung Uhud.

Keberanian Abdullah untuk membacakan Al-Qur’an di hadapan kaum Quraisy yang penuh ancaman, serta ketekunannya dalam melayani Nabi, membuatnya menjadi figur pilihan dalam sejarah Islam. Keberaniannya di medan perang mengajarkan semangat berjuang dan berkorban demi Islam. Dan ketekunannya dalam ilmu membuatnya menjadi ulama pilihan, pakar tafsir yang ilmunya bermanfaat untuk umat sepanjang zaman.

Ketika sakit menjelang akhir hidupnya, Abdullah tetap bersandar penuh kepada rahmat Allah dan tidak mengkhawatirkan kekayaan untuk keluarganya. Saat khalifah Utsman bin Affan mau memberinya harta untuk putri-putrinya, Ibnu Mas’ud menolak.

“Aku telah menyuruh putri-putriku membaca Surat Al-Waqi’ah setiap malam. Karena Rasulullah mensabdakan siapa yang membaca Surat Al-Waqiah setiap malam, niscaya kemiskinan tidak akan menimpanya,” tutur Abdullah bin Mas’ud.

Pada tahun 32 Hijriah, Abdullah bin Mas’ud wafat di Madinah dalam usia 67 tahun. Sahabat Nabi ini dimakamkan di pemakaman Baqi dengan penuh penghormatan. Warisan ilmu, keberanian, dan keteladanan-nya hidup dalam ingatan sejarah sepanjang masa. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]

Referensi:

  • Nafahat ‘Athrifah fi  Sirah Shahabat karya Syeh Muhammad Raji Hasan Kinas
  • Ashabu ar-Rasul karya Syekh Mahmud Al-Mishri
  • Shuwar min Hayat ash-Shahabat karya Syekh Abdurrahman Raf’at Al Basya