Wajahnya tampan, badannya gagah, akhlaknya mulia. Itulah ciri Sahabat Nabi yang kita susuri perjalanan hidupnya saat ini. Abu al-Ash bin Ar-Rabi’, namanya.
Abu al-Ash adalah seorang pebisnis ulung, sosok suami setia, dan pribadi yang menjunjung tinggi kejujuran. Ia memiliki kisah hidup penuh liku yang mengajarkan arti kesetiaan, keberanian, dan keteguhan.
Daftar Isi
Menantu Rasulullah
Abu al-Ash bin ar-Rabi’ memiliki nama asli Laqih. Ia lahir dari keluarga terpandang di suku Quraisy. Ayahnya, ar-Rabi’ bin Abdul Uzza bin Abdi Syams, merupakan tokoh Quraisy. Sedangkan ibunya, Halah binti Khuwailid, adalah saudara perempuan Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Menjadi keponakan Bunda Khadijah membuat Abu al-Ash dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sejak muda. Hubungan keduanya kian dekat ketika Rasulullah menikahkan putri tertuanya, Zainab, dengan Abu al-Ash.
Pernikahan ini tidak hanya mempererat hubungan kekerabatan, tetapi juga memancarkan harmoni cinta. Abu al-Ash dikenal sebagai suami yang penuh kasih dan sangat menghormati Zainab.
Dalam kehidupan sehari-harinya, Abu al-Ash adalah pebisnis yang sukses. Ia seorang pedagang yang jujur dan dermawan, mencerminkan sifat mulia yang menghiasi kehidupannya. Reputasi ini membuat banyak orang Makkah menyukainya.
Namun, kehidupan Abu al-Ash berubah ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menerima wahyu dan mulai menyerukan Islam. Hubungan harmonisnya dengan Nabi menghadapi tantangan besar, terutama karena perbedaan keyakinan. Abu al-Ash yang baru tiba dari Syam untuk berdagang, tidak suka saat mendengar orang-orang Quraisy mengatakan Muhammad telah mencaci maki tuhan-tuhan mereka.
Baca juga: Abdurrahan bin Auf
Ujian Kesetiaan di Tengah Konflik
Ketika Islam mulai menyebar, banyak pemuka Quraisy menekan Abu al-Ash untuk menceraikan Zainab. Mereka menginginkannya menikah dengan wanita Quraisy lain yang tetap memegang teguh tradisi leluhur. Namun, Abu al-Ash menolaknya dengan tegas.
“Aku mencintainya, dan aku tidak akan pernah menceraikannya,” katanya. Sikapnya ini membuat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terharu dan bangga. Zainab juga terharu. Di sisi lain, tekanan Quraisy membuat Ruqayyah dan Ummu Kulsum diceraikan oleh suaminya.
Meskipun cinta kepada istrinya begitu besar, Abu al-Ash belum menerima Islam. Hal ini membuatnya berada di posisi yang sulit, terlebih ketika Perang Badar pecah. Sebagai anggota suku Quraisy, ia berperang melawan kaum Muslimin. Dalam pertempuran itu, ia ditawan oleh pasukan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Zainab, yang mengetahui suaminya menjadi tawanan, mengutus adik iparnya membawa kalung peninggalan ibunya, Khadijah, sebagai tebusan. Melihat kalung itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam teringat pada Khadijah dan tersentuh. Dengan persetujuan para sahabat, Abu al-Ash dibebaskan tanpa tebusan, dengan satu syarat: ia harus mengizinkan Zainab hijrah ke Madinah.
Baca juga: Abdurrahman bin Abu Bakar
Perpisahan yang Menguras Air Mata
Setelah kembali ke Makkah, Abu al-Ash memenuhi janjinya. Ia meminta Zainab bersiap untuk meninggalkan rumah dan menyusul ayahnya di Madinah. Perpisahan ini sangat berat bagi keduanya. Cinta yang mendalam harus tunduk pada perbedaan keyakinan.
Abu al-Ash mengutus adiknya, Kinanah bin al-Rabi untuk mengantar Zainab. Di tengah perjalanan, segerombolan pasukan Quraisy berhasil mengejarnya. Hibar bin al-Aswad al-Asadi melemparkan tombaknya hingga mengenai hewan tunggangan Zainab. Akibatnya, hewan itu jatuh tersungkur ke tanah. Zainab terlempar dari onta hingga mengalami keguguran.
Atas saran Abu Sufyan, Kinanah membawa Zainab kembali pulang ke Makkah. Abu al-Ash sangat bersedih melihat kondisi istrinya yang kehilangan janin mereka. Ia merawat Zainab hingga sembuh. Setelah itu, Kinanah kembali mengantarnya berangkat hijrah. Kali ini mereka memilih waktu yang lebih sunyi sehingga tak ada yang mengejar lagi.
Rasulullah marah mendengar tindakan orang-orang Quraisy yang mencelakai putrinya hingga keguguran. Beliau menetapkan Hibar sebagai buronan yang harus dihukum mati.
Baca juga: Abdullah Dzul Bijadain
Kisah Kejujuran dan Pengorbanan
Waktu berlalu, dan Abu al-Ash bin ar-Rabi’ tetap menjalankan usahanya sebagai pedagang. Suatu hari menjelang Fathu Makkah, dalam perjalanan dagang, ia ditawan oleh pasukan Muslim yang dipimpin Zaid bin Haritsah. Kali ini, ia mencari perlindungan dari Zainab di Madinah. Dengan penuh ketulusan, Zainab menjaminnya di hadapan kaum Muslimin.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengakui jaminan Zainab dan meminta para sahabat mengembalikan barang dagangan Quraisy yang dirampas. “Jika kalian ingin mengembalikannya, maka aku menghargai kebaikan kalian. Tetapi jika kalian itu mau, itu adalah harta fai’ hak kalian.” Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabat sepakat mengembalikan harta sebanya 100 unta tersebut.
Abu al-Ash kembali ke Makkah dengan membawa barang dagangan yang utuh. Setelah menyerahkan semua harta kepada pemiliknya, ia berseru lantang, “Masih adakah yang belum menerima haknya?” Ketika semua menjawab tidak, ia mengumumkan keislamannya: “Asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah.”
Rasulullah bahagia mengetahui Abu al-Ash masuk Islam. Beliau menyambut hangat kedatangan Abu al-Ash di Madinah. Abu al-Ash pun kembali bersatu dengan Zainab, dan rumah tangga mereka kini penuh kebahagiaan di bawah naungan iman.
Baca juga: Abdullah bin Zubair
Hikmah Kisah Abu al-Ash bin ar-Rabi’
Ada pertemuan, ada perpisahan. Ada kelahiran, pasti ada kematian. Baru saja menikmati masa-masa indah bersatu kembali dengan suaminya, Zainab wafat pada tahun pada tahun 8 hijriah. Ia wafat pada usia 29 tahun akibat komplikasi keguguran saat mau hijrah ke Madinah.
Wafatnya istri tercinta meninggalkan duka mendalam bagi Abu al-Ash. Meskipun demikian, ia terus menjalani hidupnya sebagai seorang pejuang Islam hingga wafat pada tahun ke-12 hijriah.
Kisah hidup Abu al-Ash bin al-Rabi’ adalah bukti nyata bahwa kejujuran, kesetiaan, dan keberanian dalam memegang prinsip adalah nilai-nilai yang melampaui batas waktu. Dalam setiap langkah hidupnya, ia menunjukkan bahwa cinta sejati tidak hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang menghormati dan mendukung dalam situasi apapun.
Kisah Sahabat Nabi ini juga mengajarkan kita bahwa cinta karena Allah, bertemu dan berpisah karena Allah. Meskipun saling mencintai, Zainab harus rela berpisah dari suaminya karena iman. Kendati berpisah, Zainab selalu mendoakan semoga suaminya mendapat hidayah. Sebab hanya dengan iman, cinta mereka akan bersatu kembali.
Dan demikianlah Allah menjawab doa-doa hamba-Nya. Keduanya kemudian bersatu kembali dalam naungan iman. Menjadi pasangan suami istri yang bahagia dan penuh keberkahan.
Bagi umat Islam, kisah Abu al-Ash ini mengajarkan makna kejujuran, penghormatan terhadap janji, dan keikhlasan dalam pengorbanan. Abu al-Ash adalah pribadi yang sedikit bicara, tetapi tindakannya menyampaikan pelajaran yang tak terhitung nilainya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri memuji Abu al-Ash dengan mengatakan: “Ia berbicara kepadaku, dan ia memercayaiku. Ia berjanji kepadaku, dan ia memenuhi janjinya.” Semoga Allah menempatkannya di surga yang mulia bersama mertua dan istrinya. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]
Referensi:
- Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syeh Muhammad Raji Hasan Kinas
- Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad karya K.H.Moenawar Chalil
- Shuwar min Hayat ash-Shahabat karya Syekh Abdurrahman Raf’at Al Basya