Beranda Dasar Islam Hadits Hadits Arbain Nawawi 6: Halal, Haram, Syubhat

Hadits Arbain Nawawi 6: Halal, Haram, Syubhat

0
hadits arbain 6 halal haram syubhat

Di dunia ini, selain ada halal dan haram, juga ada syubhat. Apa itu syubhat dan bagaimana agar kita selamat darinya? Hadits Arbain Nawawi ke-6 ini menuntun kita. Selain itu, ia juga menjelaskan tentang kedudukan hati yang mempengaruhi segala perbuatan badan serta baik buruknya amalan.

Arbain Nawawi (الأربعين النووية) adalah kitab Imam An Nawawi rahimahullah yang menghimpun hadits-hadits pilihan. Jumlahnya hanya 42 hadits, tetapi mengandung pokok-pokok ajaran Islam.

Arbain Nawawi 6 dan Terjemah

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَان بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الَحرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَّ وِإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ – رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِمٌ

Dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram juga jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barang siapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang Dia haramkan.

Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Arbain Nawawi ke-1

Penjelasan Hadits

hadits arbain nawawi 6

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadits Arbain Nawawi 6 ini dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma. Nu’man bin Basyir adalah Sahabat Nabi dari kalangan Anshar, yang berasal dari suku Khazraj. Demikian pula ayahnya juga seorang sahabat.

Nu’man lahir 8 tahun 7 bulan sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Maka, hadits ini menjadi bukti kecerdasan dan kekuatan hafalannya karena pada usia dini ia telah menerima hadits dan menghafalkannya. Memang tidak semua perawi mengakui Nu’man mendengar hadits ini langsung dari Rasulullah, tetapi Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berpendapat Nu’man mendengarnya langsung dari beliau.

Nu’man terkenal sebagai seorang sahabat yang dermawan. Ia suka berbagi dan suka menolong orang-orang yang membutuhkan. Ketika ada orang membutuhkan bantuan saat ia sedang tidak punya uang, ia menggunakan kecerdasannya untuk membantu orang tersebut.

Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan, Nu’man mendapat amanah sebagai Gubernur Homs. Pernah suatu hari Abu Al-Mushabih dari Hamdan minta bantuan Nu’man karena terlilit utang. Nu’man lantas memanggil penduduk Homs hingga berkumpul sekitar 20.000 orang.

“Wahai penduduk Homs, orang ini adalah saudara kalian yang datang untuk meminta bantuan. Katakan kepadaku apa pendapat kalian?”

“Semoga Allah memberi usia panjang kepada Amir. Lakukanlah yang terbaik menurut Anda,” jawab mereka.

Nu’man mengulangi pertanyaannya hingga mereka menjawab, “Kalau begitu, masing-masing dari kami akan membantu dua dinar untuknya.”

Segera mereka mengumpulkan uang bantuan. Nu’man juga menambahkannya dari Baitul Mal hingga totalnya mencapai 40.000 dinar. Abu Al-Mushabih terharu menyaksikan hal itu lantas bersyair memuji kecerdasan dan kedermawanan Nu’man.

Bayyinun (بين) artinya jelas. Halal dan haram jelas karena dalil qath’i dari Al-Qur’an, hadits, maupun ijma’ ulama.

Musytabihatun (مشتبهات) merupakan bentuk jamak dari musytabih (مشتبه) yakni perkara-perkara yang tidak jelas halal haramnya.

Al-Hima (الحمى) artinya terpagari. Atau tanah gembalaan khusus yang orang lain tidak boleh menggembala di sana.

Mudghah (مضغة) artinya adalah segumpal daging.

Baca juga: Arbain Nawawi ke-2

Kandungan Hadits dan Pelajaran Penting

Hadits ke-6 Arbain Nawawi ini memiliki kedudukan yang sangat penting. Abu Dawud mengatakan, “Hadits ini merupakan seperempat dari Islam.”

Syekh Muhyidin Mistu menjelaskan pentingnya hadits ini dalam Al-Wafi. “Hadits ini sangat penting dan memiliki manfaat yang sangat besar sebab ia mengandung siklus ajaran Islam,” tulisnya bersama Syekh Musthafa Dieb Al-Bugha dalam kitab syarah Arbain Nawawi tersebut.

Berikut ini lima poin utama kandungan hadits Arbain Nawawi ke-6:

1. Tiga status perkara

Perkara-perkara di dunia ini, baik makanan maupun perbuatan, tidak akan lepas dari tiga status: halal, haram, syubhat. Sebagaimana bagian pertama hadits ini:

إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الَحرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ

Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram juga jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat.

Halal adalah segala sesuatu yang jelas-jelas diperbolehkan. Misalnya: makan buah, berjalan, dan menikah. Haram adalah segala sesuatu yang jelas-jelas dilarang. Misalnya: minum khamr, mencuri, dan berzina. Sedangkan syubhat adalah tidak jelas boleh tidaknya.

Baca juga: Arbain Nawawi ke-11

2. Syubhat bagi banyak orang, jelas bagi ulama

Kandungan kedua Arbain Nawawi hadits ke-6 ini merupakan penjelasan dari bagian kedua sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ

Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya.

Banyak orang tidak mengetahui perkara syubhat. Namun, para ulama bisa mengetahuinya dengan jelas melalui berbagai dalil dari Al-Qur’an,  hadits, dan ijtihad.

Karenanya, ulama membagi syubhat menjadi tiga macam. Pertama, haram bercampur halal. Contohnya, dua ekor kambing. Jagal muslim menyembelih salah seekor kambing sedangkan jagal kafir menyembelih yang seekor sisanya. Lalu, daging kedua kambing itu tercampur.

Kedua, halal tapi kemudian timbul keraguan. Contohnya, istri ragu telah dicerai oleh suaminya atau belum. Contoh lainnya, orang yang sudah berwudhu ragu apakah sudah batal atau belum.

Ketiga, diragukan halal haramnya. Contoh, Rasulullah pernah melihat kurma di atas tikar beliau. Beliau tidak tahu itu sedekah atau hadiah.

Ketiga perkara itu merupakan syubhat bagi banyak orang. Mereka tidak mengetahui bagaimana hukumnya. Namun, bagi para ulama, mereka bisa mengetahu kejelasan hukumnya. Yang pertama, kita tidak boleh memakan daging tersebut karena sudah bercampur dengan yang haram.

Yang kedua, ia tidak perlu wudhu lagi karena keraguan tidak boleh mengalahkan keyakinan. Yakinnya adalah sudah wudhu. Sedangkan yang ketiga, Rasulullah tidak memakan kurma tersebut karena khawatir ia adalah sedekah.

Baca juga: Arbain Nawawi ke-12

3. Menghindari syubhat

Kandungan ketiga dari hadits Arbain Nawawi 6 ini adalah menghindari syubhat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ

Barang siapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.

Menghindarkan diri dari syubhat merupakan langkah menyelamatkan agama dan kehormatan. Agar tidak terjatuh kepada yang haram. Misalnya pada kasus pertama tadi, karena daging yang halal bercampur dengan yang halal, ia tidak memakan daging tersebut karena tidak bisa memastikan mana yang halal dan mana yang haram.

Bahkan, orang yang sempurna takwanya bukan hanya meninggalkan yang syubhat, ia rela meninggalkan yang halal karena takut terjerumus yang haram. Sebagaimana kata Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, “Kesempurnaan taqwa adalah meninggalkan beberapa hal yang halal karena takut hal itu haram.”

Hasan Al-Basri mengatakan, “Ketaqwaan senantiasa melekat pada orang-orang yang bertaqwa selama ia meninggalkan beberapa hal yang diperbolehkan karena takut barang tersebut dilarang.”

Sebaliknya, menurut Syekah Muhammad bin Abdullah Al-Jardani Al-Dimyati dalam Al-Jauhar al-Lu’lu’iyah fi Syarah al-Arbain al-Nawawiyah, seseorang yang sering melakukan syubhat maka akan terkena haram, sedangkan ia tidak mengetahuinya. Bahkan jika sembrono dengan yang syubhat, ia akan terjatuh dalam keharaman yang lebih besar lagi.

Baca juga: Arbain Nawawi ke-15

4. Larangan Allah adalah perkara yang Dia haramkan

Kandungan keempat dari hadits Arbain Nawawi 6 ini menjelaskan hima (tanah larangan) Allah.

أَلاَّ وِإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang Dia haramkan.

Dahulu, para raja memiliki tanah yang mereka pagari. Tanah itu khusus untuk kuda atau binatang ternak mereka. Tidak boleh orang lain menggembala di situ. Ketika ada penggembala yang gembalaannya masuk ke situ, mereka bisa mendapatkan hukuman.

Seperti itulah perumpamaan hima (tanah larangan) Allah. Dan tanah larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Maka, jika syubhat saja harus kita tinggalkan, apatah lagi hal yang haram baik berupa makanan seperti daging babi dan minuman keras, maupun perbuatan seperti zina, judi, dan korupsi.

Baca juga: Arbain Nawawi ke-16

5. Hati adalah kunci

Terakhir, hadits Arbain Nawawi 6 ini menunjukkan bahwa baik buruknya seseorang tergantung hatinya. Namun, bukan hati secara fisik (liver maupun jantung).

أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati.

Hadits ini senada dengan hadits riwayat Imam Muslim:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian. (HR. Muslim)

Karenanya, kita harus bersungguh-sungguh membersihkan hati dari segala penyakit yang bisa mengotorinya. Imam Nawawi mencontohkan, kita harus membersihkan hati dari benci, dendam, sombong, riya’, hasad, dan penyakit-penyakit hati lainnya.

Baca juga: Arbain Nawawi ke-23

Semoga hadits Arbain Nawawi 6 ini menginspirasi kita untuk menjauhi segala hal yang syubhat dan haram. Serta menjaga kebersihan hati kita hingga menghadap Allah dalam kondisi mendapat ridha dan ampunan-Nya. Wallahu ‘alam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

< Hadits sebelumnyaHadits berikutnya >
Arbain Nawawi 5Arbain Nawawi 7