Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan. Bulan penuh keutamaan dan keberkahan. Pada bulan Ramadhan tahun 8 hijriah, terjadi peristiwa besar. Kemenangan gemilang. Yakni, fathu Makkah.
Rasulullah dan para sahabat berangkat dari Madinah pada 10 Ramadhan. Sebelum itu, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menemui Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu. Abbas sudah masuk Islam dan hijrah ke Madinah. Ia merupakan muhajir terakhir.
“Wahai paman Rasulullah, keislamanmu lebih aku cintai daripada keislaman Al-Khattab ayahku,” kata Umar kepada Abbas. Umar bukannya tidak mencintai ayahnya. Bukan pula Umar tidak birrul walidain kepadanya. Namun, Umar sangat mencintai Rasulullah. Ia menempatkan perasaan dan ridha Rasulullah di atas ridhanya.
Usai fathu Makkah, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di Masjidil Haram, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menuntun ayahnya, Abu Quhafah, menghadap beliau. Saat itu, Abu Quhafah sudah tua dan buta. Ia siap masuk Islam.
“Wahai Abu Bakar, mengapa tidak aku saja yang datang ke rumah Abu Quhafah?”
“Wahai Rasulullah, lebih patut bagi kami untuk menghadapmu daripada engkau yang datang ke rumah kami.”
Rasulullah pun menjabat tangan Abu Quhafah. Menuntunnya mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Semua orang bersyukur dan bahagia. Namun, Abu Bakar justru menangis. “Wahai Abu Bakar, mengapa engkau menangis?”
“Ya Rasulullah, aku lebih menyukai seandainya tangan pamanmu (Abu Thalib) menggantikan tangan ayahku. Lalu ia masuk Islam dan dengan demikian Allah membuatmu ridha,” jawab Abu Bakar. Ia bukan tidak mencintai ayahnya. Bukan pula kurang birrul walidain kepadanya. Namun, Abu Bakar sangat mencintai Rasulullah. Ia menempatkan perasaan dan ridha Rasulullah di atas ridhanya.
Jangan Jadikan Al-Qur’an Mahjura
Abu Bakar, Umar, dan para sahabat Nabi demikian mencintai baginda. Selalu ingin Rasulullah ridha dan bahagia, tak rela jika Rasulullah sedih atau berduka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah sedih hingga Al-Qur’an mengabadikannya. Yakni saat kaumnya menjadikan Al-Qur’an sebagai mahjura.
وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآَنَ مَهْجُورًا
Dan Rasul (Muhammad) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini diabaikan.” (QS. Al-Furqan: 30)
Secara khusus, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang musyrikin Makkah yang ketika Rasulullah menyampaikan Al-Qur’an, mereka tidak mau mendengarkan. Justru, mereka membuat hiruk pikuk atau berbicara dan membuat suara-suara tandingan.
Namun, secara umum, mahjura tidak terbatas pada kasus itu dan tidak terbatasi di waktu itu. Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya. “Termasuk menjadikan Al-Qur’an mahjura adalah tidak mau merenungkan dan memahami maknanya. Termasuk menjadikan Al-Qur’an mahjura adalah tidak mengamalkannya, tidak melaksanakan perintah-perintahnya, serta tidak meninggalkan larangan-larangannya.”
Maka, yang patut kita renungkan pada momen peringatan nuzulul Qur’an ini adalah, apakah kita termasuk menjadikan Al-Qur’an sebagai mahjura? Salah satu barometernya, apakah kita sudah membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya?
Tadabbur Al-Qur’an
Interaksi pertama kita dengan Al-Qur’an agar tidak termasuk mengabaikannya adalah mengimaninya lalu membacanya. Kita berusaha minimal mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali di bulan ini.
Selain tilawah, langkah berikutnya adalah mentadabburinya. Inilah yang sebagian ulama menyebutnya sebagai obat hati. Yakni membaca Al-Qur’an dan merenungkan maknanya.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)
Dengan mentadabburi Al-Qur’an, Allah akan membuka dan melembutkan hati kita. Sehingga hati kita pun mudah menerima taufiq dan hidayah. Mudah menerima nasihat. Mudah menerima ilmu. Bahkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan ilham atau inspirasi melalui ayat-ayat yang kita baca. Lebih dari itu, kita bahkan mendapatkan jawaban atas segala persoalan kita.
Dengan tadabbur, kita juga bisa menggapai tujuan nuzulul Qur’an. Yakni sebagai petunjuk hidup kita. Sebagaimana firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)… (QS. Al-baqarah: 185)
Semoga dengan ceramah singkat nuzulul Quran ini, kita lebih bersemangat tilawah Al-Qur’an dan mentadabburinya. Dengan demikian, kita juga membuat Rasulullah ridha dan tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai mahjura. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Untuk ceramah atau kultum Ramadhan lainnya, silakan baca:
Ceramah Ramadhan 2024