“Partai kok sukanya galibu.”
“Kapan menangnya kalau mengandalkan galibu?”
Galibu. Dulu, kepanjangannya adalah gerakan lima ribu. Sekarang menjadi gerakan lima puluh ribu. PKS sering mengadakan galibu. Saat Pilkada, saat Pemilu, termasuk saat ini; Munas. Banyak yang salut, karena galibu menunjukkan betapa kader-kader PKS bahu-membahu membiayai dakwahnya sendiri. Ada pula yang mencibir seperti kalimat di atas.
Perkenankan saya mengetengahkan dua kisah yang mungkin akan mengubah persepsi kita tentang galibu PKS. Pertama, renovasi Ka’bah. Sekitar 10 tahun sebelum turunnya wahyu pertama, banjir parah melanda Makkah. Sebagian dinding Ka’bah retak. Bangunannya mulai rusak.
Panitia yang dipimpin Walid bin Mughirah meminta orang-orang Quraisy menyumbangkan hartanya untuk renovasi Ka’bah. Namun dengan catatan, hanya harta yang halal. “Mereka tidak mau menerima dana dari pekerjaan kotor seperti pelacuran, perampokan, penipuan dan perbuatan zalim lainnya,” tulis Syaikh Muhammad Ali Ash Shalabi dalam bukunya, Sirah Nabawiyah.
Dengan persyaratan ketat itu, harta yang bisa mereka kumpulkan hanya sedikit. Tidak bisa digunakan membangun kembali Ka’bah sesuai aslinya sebagaimana yang dipugar oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimas salam. Maka jadilah Ka’bah lebih kecil dari aslinya.
Meskipun Walid Al Mughirah dan rekan-rekannya musyrik, mereka menyadari bahwa Ka’bah yang suci tak bisa dibangun dengan harta haram. Maka aktivis dakwah yang ingin membangun perjuangan suci, lebih patut membiayai dakwah dengan hartanya sendiri. Yang dipastikan halal, bukan yang syubhat apalagi haram. Sunduquna juyubuna.
Bukan berarti tak boleh menerima donasi dari luar. Namun perlu berhati-hati. Sudah berkali-kali terjadi, perhelatan partai politik bahkan ormas menjadi masalah akibat dikaitkan dengan aliran dana korupsi.
Galibu tak hanya membuat seluruh kader terlibat berkorban dan memiliki saham perjuangan, lebih dari itu akan mengundang keberkahan. Dan bukankah seperti nasehat Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Al Jufri, keberkahan inilah yang kita cari.
Kedua, kisah yang saya sendiri menjadi saksinya. Galibu tak hanya lima puluh ribu. Itu hanya nama. Di sebuah grup pembinaan pekan ini, saat Ketua UPPA menggalang galibu, semua kader terlibat.
“Saya 50 ribu, Ustadz.”
“Saya 100 ribu.”
“Saya 10 juta.”
Allaahu akbar! Dengan ringannya, seorang kader pengusaha menyumbang 10 juta. Mengingatkan kita pada Perang Tabuk. Ada yang hanya menyumbang segenggam kurma karena memang segitu kemampuannya. Ada yang hanya bisa menangis karena tak punya apapun untuk diinfakkan.
Utsman menyumbang 300 ekor unta lengkap dengan pelananya. Umar menginfakkan separuh hartanya. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya.
Dan saya yakin, kader yang menyumbang puluhan juta bukan hanya satu dua orang. Ini juga menunjukkan pentingnya quwwatul mal. Sekaligus menunjukkan, galibu tidak dibatasi angka lima (puluh) ribu. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Tulisan memberi semangat untuk berdakwah
Allahuakbar..