Beranda Tazkiyah Tazkiyatun Nafs Kekuatan Ruhiyah Sang Dai

Kekuatan Ruhiyah Sang Dai

0
kekuatan ruhiyah sang dai

“Kalian akan mendakwahi manusia pada hari Jumat,” kata Hasan Al Banna saat memberikan pembekalan kepada calon khatib, “maka berpuasalah pada hari Kamis dan dirikanlah sholat tahajud di malam harinya.”

Hasan Al Banna menyadari betul bahwa mendakwahi manusia –termasuk khutbah Jumat- adalah proyek ilahiyah mengubah hati manusia. Dan sungguh tak ada yang kuasa mengubah hati kecuali Allah sendiri. Karenanya dalam tausiyahnya ia menekankan para dai untuk mendekat kepada Allah sedekat-dekatnya, hingga Dia berkenan menolong para daiNya. Membersamai dakwah dan khutbah mereka dengan hidayahNya.

Dan inilah rahasia kekuatan dakwah para dai Ikhwanul Muslimin waktu itu; kekuatan ruhiyah. Maka dalam waktu singkat orang-orang berbondong-bondong menyambut dakwah islamiyah yang digelorakan Ikhwanul Muslimin. Dalam waktu singkat terjadi pertumbuhan cepat. Masyarakat berubah. Tercelup dengan celupan dakwah.

Pabrik milik Inggris di Ismailiyah berubah menjadi seperti pesantren. Sebuah lokalisasi tutup dengan sendirinya setelah hampir semua pekerjanya bertaubat dan mendirikan ma’had untuk muslimah. Cabang dakwah Ikhwan menyebar dengan cepat ke puluhan kota di Mesir. Khutbah Jumat dan ceramah-ceramah dai Ikhwan ditunggu-tunggu. Umat seperti bertemu dengan oase yang telah lama mereka rindu.

Taujih Hasan Al Banna kepada para khatib untuk mengutamakan kekuatan ruhiyah itu sebenarnya berangkat dari pemahamannya yang syamil tentang dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Taujih kekuatan ruhiyah itu sebenarnya berangkat dari komitmennya untuk ittiba’ pada dakwah Nabinya.

Ketika Nabi Muhammad diutus menjadi Rasulullah dan diperintah untuk mendakwahi umat manusia, Allah menuntunnya untuk membangun kekuatan ruhiyah dengan taqarrub kepadaNya. Maka Ia turunkan firman-firman di fase awal dakwah Makkiyah:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ . قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا . نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا . أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا . إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sholat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat…” (QS. Al Muzammil: 1–6)

Dua di antara amal membangun kekuatan ruhiyah itu adalah shalat malam dan tilawah. Dua hal ini pula yang diingatkan oleh Buya Hamka sebagai bekal dai saat beliau menafsirkan surat Al Ankabut ayat 45.

Maka ikhwah fillah… jika hari ini dakwah kita kurang disambut, periksalah kedekatan kita dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seruan dakwah kita kurang didengar, periksalah hubungan kita dengan Allah Azza wa Jalla.

Sudahkah kita bangun di tengah malam atau di sepertiga malam untuk sholat dan bermunajat kepadaNya? Atau kita asyik mendengkur di atas kasur? Lalu bagaimana Allah akan memberikan kekuatanNya untuk mengubah umat manusia jika kita sendiri lalai, tak mendekat kepadaNya? Bisa saja kita beralasan kelelahan, tidur kemalamam karena aktifitas dakwah yang padat dan terlambat pulang. Namun, apakah Allah menerima alasan-alasan itu begitu saja?

Sudahkah kita mendawamkan tilawah? Atau hari-hari kita lewat begitu saja tanpa membaca firmanNya dengan tartil dan mentadabburinya? Lalu bagaimana Allah akan memberikan kekuatanNya pada kata-kata kita jika lisan kita tidak akrab dengan firmanNya? Bisa saja kita beralasan banyak kesibukan, tidak ada lagi waktu karena aktifitas pekerjaan dan agenda yang tak pernah berhenti. Namun, apakah Allah menerima alasan-alasan itu begitu saja? [Muchlisin BK/BersamaDakwah]