Pernah membayangkan seorang muslimah memukuli para tentara saat hari pernikahannya?
Begini kisahnya. Suatu kali Ummu Hakim binti al-Harits menempuh jalan yang sulit dan membawa perbekalan yang minim namun tidak berputus asa, tidak merasa lemah karena tujuan yang agung telah meringankan penderitaannya. Ia segera bertolak untuk mengejar suaminya yang melarikan diri dengan harapan dapat menemukannya sebelum kapal berlayar.
Takdir Allah menghendaki agar ia dapat bertemu dengan suaminya di sebuah pantai yang tatkala itu kapal nyaris hendak berlayar. Selanjutnya, Ummu Hakim berteriak kepada suaminya, “Wahai putra pamanku? Aku datang kepada kamu karena utusan manusia yang paling suka perdamaian, manusia yang paling berbakti, sebaik-baik manusia, maka janganlah engkau membinasakan dirimu, aku telah meminta jaminan keamanan bagimu!”
Ikrimah berkata: “Apakah engkau benar-benar telah melakukannya?”
“Benar” jawab Ummu Hakim.
Kemudian, ia menceritakan kepada suaminya tentang akidah yang telah memenuhi kalbunya dan telah ia rasakan manisnya dan bahwa ia belum masuk Islam kecuali setelah ia mengetahui bahwa ternyata Islam adalah agama yang sempurna dan bahwa Islam itu tinggi, tiada yang lebih tinggi darinya. Ia ceritakan pula tentang pribadi Rasul yang mulia dan bagaimana pula ia memasuki Mekah dengan menghancurkan berhala-berhala di dalamnya, serta pemberian maafnya kepada manusia dengan jiwa yang besar, dan jiwanya terbuka bagi setiap manusia untuk memaafkan.
Inilah kemenangan bagi Ummu Hakim ra yang telah menabur benih yang baik pada jiwa suaminya hingga selanjutnya ia kembali bersama suaminya untuk menghadap Rasulullah Saw. dan Ikrimah mengumumkan keislamannya di hadapan Rasulullah, dan ia memulai lembaran barunya dengan Islam yang hampir saja dia terdampar dalam kegelapan Jahiliyah dan paganisme. Maka, Rasulullah Saw. membuka kedua tangannya untuk menyambut kembalinya seorang pemuda secara total yang hendak menunjukkan loyalitasnya kepada Allah dan Rasulnya.
Selanjutnya, Ikrimah ra senantiasa meneguk dari sumber akidah Islamiyah hingga memancarlah pada jiwanya keimanan yang tulus dan kecintaan yang murni serta mendorongnya terjun ke dalam kancah peperangan, sedangkan di belakangnya adalah pengikutnya yang masing-masing mampu memanggul senjata.
Di dalam kancah pertempuran ia membai’at kepada sahabat-sahabatnya untuk mati di jalan Allah Azza wa Jalla, dia tulus untuk mencari syahid sehingga Allah mengabulkannya, ia berhasil meraih indahnya syahid di jalan Allah. Akan tetapi, Ummu Hakim sebagai wanita mukminah sedikit pun tidak bersedih hati, ia tetap sabar meskipun saudara, ayah, dan bahkan suaminya telah syahid di medan perang. Sebab, bagaimana mungkin ia bersedih hati padahal ia berangan-angan agar dirinya dapat meraih syahid sebagaimana yang telah berhasil mereka raih? Dan syahid adalah angan-angan dan cita-cita tertinggi seorang mukmin yang shadiq.
Setelah berselang beberapa lama dari kesyahidan suaminya, yakni Ikrimah ra, ia dilamar oleh seorang panglima kaum muslimin dari Umawiyah yang bernama Khalid bin Sa’id ra. Tatkala terjadi perang Marajush, Shufur Khalid hendak mengumpulinya, namun Ummu Hakim menjawab, “Seandainya saja engkau menundanya hingga Allah menghancurkan pasukan musuh.”
Khalid berkata: “Sesungguhnya saya merasa bahwa saya akan terbunuh.”
Ummu Hakim berkata: “Jika demikian, silakan.” Maka Khalid melakukan malam pengantin dengan Ummu Hakim di atas jembatan yang pada kemudian hari dikenal dengan jembatan Ummu Hakim.
Pada pagi harinya mereka mengadakan walimah untuk pengantin. Belum lagi mereka selesai makan. Pasukan Romawi menyerang mereka, hingga sang pengantin laki-laki yang juga sebagai panglima perang terjun ke jantung pertempuran. Ia berperang hingga syahid. Maka Ummu Hakim mengencangkan baju yang beliau kenakan kemudian berdiri untuk memukul pasukan Romawi dengan tiang kemah yang dijadikan walimatul urs dan bahkan beliau mampu membunuh tujuh orang di antara musuh-musuh Allah.
Alangkah indahnya malam pertamanya dan alangkah indahnya waktu paginya. Begitulah, para wanita mukminah mujahidah dan yang bersabar merayakan malam pertamanya di medan perang kemudian pagi harinya berjihad dan berperang.
Hal ini tidaklah mengherankan karena ternyata Ummu Hakim adalah putri dari saudara wanitanya “saifullah al-maslul” (pedang Allah yang terhunus), seorang panglima yang pemberani yaitu Khalid bin Walid. [Paramuda/BersamaDakwah]