Beranda Suplemen Renungan Renungan Haru di Hari Ibu

Renungan Haru di Hari Ibu

0
Ibu © rumahkeluarga-indonesia.com

Seorang pria datang kepada ulama untuk mengadukan permasalahannya dengan sang ibu. “Wahai Syaikh,” ucapnya lirih, “ibuku menumpang di rumahku. Dan kini terjadi masalah antara beliau dengan istriku”
“Ulangi pertanyaanmu!”
“Ibuku menumpang di rumahku..”
“Ulangi pertanyaanmu!” kata Syaikh tersebut dengan nada lebih tinggi.
“Ibuku menumpang di rumahku..”
“Ulangi lagi pertanyaanmu!” kali ini nadanya semakin tinggi.
“Wahai Syaikh, aku belum menyelesaikan pertanyaanku”
“Pertanyaanmu salah. Yang benar adalah, engkaulah yang hidup menumpang pada ibumu. Meskipun rumah itu atas namamu.”

Pria itu terdiam sejenak. Jawaban Syaikh laksana petir di siang hari. Sebagai muslim yang baik, ia tak habis pikir mengapa selama ini ia seperti lupa dengan kedudukan ibu.
“Baik, Syaikh. Kalau begitu, permasalahannya selesai.”

Ibu adalah orang yang paling berjasa dalam hidup kita. Mengandung selama sembilan bulan, membawa janin kita ke mana-mana. Semakin tua usia kehamilan, semakin berat dirasakan. Tubuh makin payah, makin lemah dan bertambah-tambah. Al Quran menggambarkannya dengan kalimat Hamalathu ummuhu wahnan ‘ala wahnin.

Saat melahirkan adalah saat-saat kritis bagi seorang ibu. Rasa sakit yang luar biasa, tak mungkin bisa dibayangkan oleh kaum pria. Momen itu juga sejarah pengorbanan bagi seorang wanita, sebab ia tengah mempertaruhkan hidupnya demi kelahiran kita.

Lahirnya sang bayi bukanlah akhir dari perjuangan seorang ibu. Masa-masa menyusui tidak kalah berat; ketika siang ia tak bisa beristirahat dan ketika malam ia berjaga tak bisa tidur nyenyak. Air susu itulah yang kemudian membesarkan sang bayi; menjadi darah dan daging, membentuk tulang dan gigi.

Ketika bayi menjadi kanak-kanak, ibulah yang menemani dan membersamai hari-harinya. Ia menjadi guru pertama. Ia memberikan asupan gizi dan memenuhi kebutuhan nutrisinya. Ibu juga yang menanam benih keimanan dan pengetahuan dalam hati dan akalnya.

Pun saat remaja hingga menjelang dewasa. Sentuhan tangan ibulah yang membentuknya. Belaian kasih sayang ibulah yang membesarkannya. Dan sang ibu tak pernah meminta balas jasa; semua diberikan gratis kepada buah hatinya.

Begitu besarnya jasa ibu, ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah siapa yang paling berhak dihormati, dimuliakan dan mendapatkan kebaikan, beliau menjawab “ibumu.” Sahabat tersebut bertanya, “kemudian siapa ya Rasulullah?” Beliau kembali menjawab, “ibumu.” Ketika ia bertanya lagi, “kemudian siapa ya Rasulullah?” Beliu menjawab dengan jawaban yang sama, “ibumu”. Barulah keempat kalinya pertanyaat itu dijawab dengan, “ayahmu.”

Di zaman tabi’in, pernah ada seseorang yang mengajak ibunya berhaji dengan cara menggendongnya ketika thawaf mengelilingi ka’bah. Begitu bertemu Ibnu Umar, orang itu bertanya, Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Belum. Walaupun setarik nafas yang ia keluarkan saat melahirkan.”

Baca juga: Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban

Mengajak orang tua berhaji dan menggendongnya saat thawaf ternyata masih belum sebanding dengan satu tarikan nafas ibu saat melahirkan kita. Lalu bagaimana kita menjadi penentang bagi ibu? Apalagi menghitung pemberian, atau menganggapnya menumpang di rumah kita?

Wahai ibu, maafkan kami anak-anakmu yang belum mampu berbakti kepadamu. Maafkan kami jika pernah melukai perasaanmu. Maafkan kami jika belum bisa membahagiakan dirimu. [Muchlisin BK/bersamadakwah]