Beranda Keluarga Surat Terbuka untuk Anggun C. Sasmi

Surat Terbuka untuk Anggun C. Sasmi

Anggun C. Sasmi

Apa kabar mbak Anggun? Semoga dalam kondisi sehat dan suara mbak makin merdu serta mendamaikan. Meski mbak kini menjadi warga negara Perancis, saya bangga dengan mbak yang tidak melepas jiwa Indonesia, bangga dengan kejawaan mbak yang santun serta halus pituturnya. Untuk penamaan anak mbak saja tidak mau memakai nama yang kebarat-baratan; Kirana. Nama yang anggun.

Tak hanya tentang keIndonesiaan yang masih melekat pada diri, mbak juga sepertinya mengikuti isu-isu yang lagi hangat di Indonesia dan global. Atas isu-isu itu mbak ikut kritis.

Masih teringat jelas, dulu mbak pernah membuat surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat itu mbak Anggun menyebut diri orang yang merasakan emosi yang sangat dalam atas hukuman mati yang menimpa Serge Atlaoui, WN Perancis yang ditangkap di pabrik ekstasi Cikande, Tangerang, pada 2005 lalu. Serge pun dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tangerang dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi. Di tingkat kasasi, hakim MA menjatuhkan eksekusi mati.

Mbak menyebut hukuman mati bukan satu solusi untuk menurunkan tingkat kriminalitas atau untuk menjaga kita dari semua kejahatan. Hukuman mati menurut mbak adalah kegagalan sisi kemanusiaan juga hilangnya nilai nilai hukum keadilan. Terlepas dari vonis hukuman mati, lalu bagaimana mereka yang menjadi korban atas keganasan narkoba yang telah tersebar ke generasi bangsa? Pertanyaaan biasa namun menjadi tanda tanya besar yang menyakitkan.

Di tingkat global, ketika ada peristiwa terorisme klub malam ‘Pulse’. tempat nongkrongnya para kaum sodom di Orlando, mbak juga urun suara. Pelaku terorisme itu adalah Omar Mateen, seorang anggota ISIS yang ironisnya juga pelanggan tetap di klub malam ‘Pulse’. Nyawa Omar sendiri juga harus berakhir ketika dirinya ditembak mati di tempat oleh tim SWAT yang datang.

Dalam sebuah tulisan, mbak menyebut menjadi gay bukanlah sebuah jalan hidup yang mereka pilih dan hal itu tak bisa dihindari lagi dan tidak ada sisi ambiguitas antara mbak yang perempuan dan mereka yang lelaki.

Tentang aksi terorisme, saya setali tiga uang dengan mbak. Namun tentang gay bukanlah jalan hidup, saya tidak sepakat. Sudah jelas para gay itu memilih jalan hidupnya. Jika atas nama HAM setiap orang bisa berbuat apa saja, maka semua jenis keburukan bisa terjadi dengan dalih itu. Dampaknya pun tidak hanya pada masa depannya tapi juga bagi sekitarnya. Sebab umumnya para pengidap LGBT itu tertular dari penderita lainnya.

Isu yang terbaru dan cukup mengejutkan adalah cuitan Mbak. “Banyak yang bersuara atas “dugaan penistaan agama”. Tapi tak banyak suara atas “aksi teror yang membunuh atas nama agama”. Kenapa kemunafikan dibina?” katamu, Mbak.

Saya terusik, maka saya perlu menulis ini. Saya menulis surat terbuka ini tidak sedang memakai topi baret merah, saya menulis ini bukan pula dengan otak tua-tua keladi. Saya menulis sesaat setelah ada anak kecil bermain di kantor. Anak teman satu kantor. Anaknya masih di bawah lima tahun (balita). Lucu dan menggemaskan. Namanya Attha. Tatapan matanya jernih, hingga menatapnya saja kaca mata saya langsung direbut oleh tangan mungilnya. Seakan menyiratkan pesan, untuk melihat kejernihan cobalah lepas kaca mata.

Melihat Attha, tiba-tiba ingatan saya berputar ke Intan Olivia Marbun, balita yang menjadi korban bom molotov. Intan, bocah manis itu, meninggal dunia, Senin (14/11), akibat luka bakar hampir di seluruh tubuhnya. Pasti Intan adalah buah hati yang sangat disayangi orangtuanya. Dan kepergiannya adalah hal yang sangat menyakitkan. Di titik ini, saya rasa Mbak merasakannya juga karena Mbak punya Kirana.

Mbak, Anggun yang masih anggun. Apapun bentuk terorisme itu tak mengenal agama. Yang ada itu mengaku beragama. Saya Islam dan mengutuk keras segala bentuk terorisme dari penista Al-Quran karena kata-katanya mencederai hati umat sama seperti sakitnya jika injil, wedha dan kitab lainnya dinistakan.

Intan, Attha, Kirana atau anak siapa saja yang dinistakan, orangtua pasti yang sakit hati. Itu baru anak–yang tak lain adalah titipan Tuhan, apalagi kitab suci yang juga ayat-ayat cinta dariNya. Saya mengutuk teror pembom yang mengatasnamakan agama. Itu bukan tindakan manusia beradab, itu biadab.

Begitu, Mbak Anggun. Semoga Mbak paham, bahwa hidup ini tak hanya tentang duta sampo, tapi juga duta perdamaian. Salam. [Paramuda/BersamaDakwah]