Fiqih merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat penting dalam Islam. Bahkan, Imam As-Suyuthi menyebut sebagai ilmu paling utama kedua. Yang pertama adalah hadits dan yang ketiga adalah tafsir.
Apa itu fiqih? Berikut ini pengertiannya secara bahasa dan istilah, tujuan, sumber, dan pengelompokan atau cabang-cabangnya.
Daftar Isi
Apa Itu Fiqih
Kata fiqih (فقه) memiliki dua arti. Pertama, arti secara bahasa atau etimologi. Kedua, arti secara istilah atau arti terminologi. Tentu saja terminologi dalam Islam atau secara syariat.
Pengertian Fiqih Secara Bahasa
Secara bahasa, fiqih berasal dari kata faqiha – yafqahu (فقه – يفقه) yang artinya paham. Arti ini sebagaimana fahima – yafhamu (فهم – يفهم) dan bisa kita dapati dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
Mengapa orang-orang itu hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? (QS. An-Nisa: 78)
Penggunaan kata yang sama terdapat pula dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ
Mereka berkata, “Wahai Syuʻaib, Kami tidak banyak mengerti apa yang engkau katakan itu… (QS. Hud: 91)
وَلَكِنْ لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
Tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. (QS. Al-Isra: 44)
Kata yafqahun (يفقهون), nafqahu (نفقه), dan tafqahun (تفقهون) di atas semuanya mengacu pada makna paham.
Pengertian Fiqih Secara Istilah
Syekh Muhyidin Mistu menjelaskan dalam Fiqih Manhaji, secara istilah (terminologi), fiqih memiliki dua makna.
Pertama, fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang mengatur tutur kata dan tingkah laku manusia, disarikan dari dalil-dalil detail syar’i, yaitu nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta ijmak dan ijtihad yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Contoh dari pengertian pertama ini adalah pengetahuan kita tentang wajibnya niat dalam berwudhu. Wajibnya niat ini berdasarkan hadits Arbain ke-1:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Sesungguhnya semua amal tergantung niatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh lain, kita mengetahui sholat tahajud hukumnya sunnah berdasarkan hadits tentang Arab Badui yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat fardhu. Beliau menyatakan tidak ada kewajiban shalat lain selain shalat lima waktu. Nah, fiqih adalah pemahaman kita terhadap hukum-hukum syar’i ini.
Kedua, fiqih berarti hukum syar’i itu sendiri.
Misalnya seseorang mengatakan, “Aku mempelajari fiqih.” Maka, maksudnya adalah mempelajari hukum-hukum syar’i yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih.
Contoh dari pengertian yang kedua ini adalah: hukum wudhu, hukum shalat, hukum jual-beli, hukum pernikahan, dan sebagainya.
Perbedaan antara kedua pengertian terminologi ini terletak pada rujukan-nya. Pengertian pertama merujuk pada pengetahuan tentang hukum syar’i, sedangkan yang kedua merujuk kepada hukum syar’i itu sendiri.
Pengertian Fiqih Menurut Imam Syafii
Imam Syafi’i mengemukakan pengertian fiqih yang kemudian menjadi istilah populer di kalangan ulama. Menurut beliau, fiqih adalah:
الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amalan praktis, yang diperoleh dari (meneliti) dalil-dalil syara’ yang terperinci.
Pengertian ini termasuk dalam kategori pengertian pertama di atas. Dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan makna pengertian ini.
Al-‘ilmu (العلم) maksudnya adalah semua jenis kualitas pengetahuan, baik yang mencapai tahap keyakinan ataupun yang hanya sebatas dugaan kuat (zhan). Sebab hukum-hukum amalan praktis kadang disimpulkan dari dalil-dalil yang sangat kuat (qath’i) dan kadang disimpulkan dari dalil-dalil yang zhanni.
Al-Ahkaam (الأحكام) maksudnya segala tuntutan Tuhan Yang Membuat aturan syara’, atau dengan kata lain perintah dan larangan Allah yang berkenaan dengan perilaku-perilaku manusia mukallaf, baik dalam bentuk keputusan final (iqtidhaa), pilihan (takhyiir) ataupun dalam bentuk penetapan satu hubungan (semisal hubungan sebab akiba) antara satu faktor dengan faktor lain (wadh’i).
Dari definisi di atas juga dapat disimpulkan, bahwa yang hendak diketahui dalam ilmu fiqih adalah masalah-masalah hukum bukannya zat, sifat, ataupun pekerjaan itu sendiri.
Asy-syar’iyyah (الشرعية) berasal dari kata asy-syar’u (الشرع). Dengan adanya kata ini, maka hukum fisika, hukum logika, hukum lingusitik, dan sejenisnya tidak masuk dalam bahasan ini.
Al-‘amaliyyah (العملية) maksudnya adalah semua amal baik batiniah maupun lahiriah, sehingga pekerjaan hati seperti niat dan pekerjaan anggota badan seperti membaca dan shalat masuk dalam definisi tersebut.
Namun, sebenarnya kajian fiqih bukan hanya amal-amal praktikal saja, karena ada sebagian kajiannya yang bersifat teoretikal seperti “perbedaan agama menyebabkan terhalangnya seseorang
mendapatkan warisan.” Sehingga, kalimat yang lebih tepat sebenarnya adalah aktsaruhaa ‘amalii (hukum-hukum syara’ yang sebagian besar bersifat praktikal).
Dengan perkataan ini, maka hukum-hukum teoretis seperti ilmu ushul fiqih dan hukum-hukum aqidah tidak termasuk pembahasan ilmu fiqih.
Al-muktasab (المكتسب) maksudnya adalah, ilmu penyimpulan hukum (isthinbaath) yang diperoleh setelah melakukan proses berpikir dan ijtihad. Dengan demikian, maka ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, ilmu malaikat tentang hukum-hukum syara’, ilmu Rasul yang bersumber dari wahyu, dan pengetahuan aksiomatik manusia yang tidak memerlukan pemikiran mendalam dan dalil tidak masuk dalam ilmu fiqih.
Al-adillah at-tafshiiliyyah (الأدلتها التقصيلية) adalah dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an, sunnah, ijma, dan qiyas. Oleh karena itu, ilmu yang dimiliki oleh orang- orang yang bertaklid kepada imam-imam madzhab tidak termasuk kategori ini. Sebab, mereka tidak mengetahui dalil yang terperinci bagi setiap amal yang mereka kerjakan. Mereka hanya mengetahui satu dalil umum yaitu “keharusan bertanya kepada ulama (ahludz dzikr), dan setelah bertanya mereka wajib mengamalkan hukum sesuai dengan jawaban imam tersebut.
Tujuan Fiqih
Tujuan utama fiqih adalah untuk memberikan pedoman bagi umat Islam agar dapat menjalankan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bagaimana berinteraksi dengan masyarakat sesuai dengan ajaran-Nya. Dengan demikian, tujuan fiqih secara lebih rinci adalah:
- Mempelajari dan memahami hukum-hukum syariah.
- Mengembangkan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Meningkatkan kualitas hidup beragama dan berinteraksi dengan masyarakat.
- Memberikan pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah dan beraktivitas sehari-hari.
Baca juga: Isbat Nikah
Sumber Fiqih
Dari mana para ulama menghasilkan hukum dalam ilmu fiqih? Ada empat sumber fiqih yang menjadi rujukan dan dasar dalam memutuskan suatu hukum.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber utama fiqih. Jika terjadi suatu masalah, pertama kali kita harus merujuk kepada Al-Qur’an dalam mencari hukumnya. Jika menemukan jawabannya, hukum itulah yang kita pakai.
Semisal tentang hukum minum minuman keras, berjudi (termasuk judol atau judi online), mengultuskan berhala, ataupun mengundi nasib dengan anak panah. Pertama-tama, kita cari jawabannya dalam Al-Qur’an.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berqurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. (QS. Al-Ma’idah: 90)
Sebagai wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Qur’an memberikan pedoman dalam semua aspek kehidupan. Hukum-hukum dasar seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan larangan riba ada dalam Al-Qur’an. Meski demikian, banyak ayat yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut, sehingga diperlukan sumber lainnya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah atau hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sumber kedua setelah Al-Qur’an. Sunnah menjelaskan dan memperinci hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Misalnya, tata cara shalat dan manasik haji yang Al-Qur’an tidak merincinya, kita akan mendapati rinciannya dalam hadits.
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari)
خُذُوا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ
Ambillah dariku manasik haji kalian. (HR. Ahmad)
Sunnah menempati posisi kedua sebagai sumber rujukan setelah Al-Qur’an. Artinya, pertama-tama kita harus merujuk kepada Al-Qur’an. Jika tidak menemukan jawabannya, barulah kita merujuk kepada Sunnah. Jika kita menemukannya dalam Sunnah, itulah yang kita amalkan. Sama dengan ketika kita menemukannya dalam Al-Qur’an. Namun, harus pasti bahwa sanadnya benar-benar bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum syariat. Ia menjadi sumber hukum ketika Al-Qur’an dan Sunnah tidak memberikan jawaban langsung atas suatu masalah.
Ijma’ menjadi sumber ketiga fiqih berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan ijma’ umatnya pasti benar:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَجَارَ أُمَّتِي مِنْ أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلَالَةٍ
Sesungguhnya Allah telah melindungi umatku dari menyepakati hal yang sesat. (HR. Ibnu Abi Ashim; hasan)
سَأَلْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لاَ يَجْمَعَ أُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ فَأَعْطَانِيهَا
Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar umatku tidak menyepakati suatu hal yang sesat dan Dia mengabulkan-nya. (HR. Ahmad)
Misalnya, para shahabat berijmak bahwa seorang kakek berhak memperoleh seperenam dari harta warisan cucunya apabila yang hidup hanya anak laki-laki dari almarhum, sedangkan ayah almarhum sudah tiada.
4. Qiyas
Qiyas adalah metode analogi untuk menetapkan hukum baru berdasarkan kesamaan illat (sebab hukum) dengan hukum yang sudah ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah. Misalnya, hukum meminum alkohol adalah haram karena alasan yang sama dengan larangan meminum khamr, yaitu memabukkan.
Kita menggunakan qiyas apabila di dalam Al-Quran, Sunnah, ataupun ijmak, suatu masalah tidak kita temukan hukumnya.
Dengan keempat sumber ini, fiqih memberikan kerangka hukum yang dinamis untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan umat Islam, baik di masa lalu maupun masa kini.
Baca juga: Fiqih Nafkah
Jenis atau Cabang-cabang Fiqih
Fiqih memiliki beberapa cabang yang mempelajari berbagai aspek hukum syariah. Sebagian ulama mengelompokkan menjadi empat jenis atau cabang; ibadah, muamalah, jinayah (uqubat), munakahat (ahwal al-syakhsiyah).
1. Fiqih Ibadah
Yakni mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, seperti wudhu, shalat, puasa, zakat, dan haji.
2. Fiqih Muamalah
Yakni mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi dan interaksi sosial, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam.
3. Fiqih Jinayah (Uqubat)
Yakni mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan kejahatan dan hukuman, seperti pencurian, pembunuhan, minuman keras, dan perzinaan.
4. Fiqih Munakahat (Ahwal Al-Syakhsiyyah)
Yakni mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan pernikahan dan keluarga, seperti nikah, talak, dan waris.
Syekh Musthafa Al-Bugha, Syekh Musthafa Al-Khan, dan Syekh Ali Al-Syurbaji dalam Fiqih Manhaji menambahkan tiga cabang lagi sebagai berikut:
5. Fiqih Ahkam Shulthaniyah (Siyasah Syar’iyyah)
Yakni menjelaskan hukum yang mengurus masalah kewajiban seorang pemimpin, seperti keharusan menegakkan keadilan, mencegah kezaliman, penerapan hukum, kewajiban warga negara seperti keharusan taat dalam hal yang bukan maksiat dan sebagainya.
6. Fiqih Siyar
Yakni menjelaskan hukum yang mengatur tentang hubungan antara negara Islam dan negara lain, seperti aturan perang-damai dan sebagainya.
7. Fiqih Adab wa Akhlaq
Yakni menjelaskan hukum yang berkaitan dengan perilaku dan budi pekerti, kesopanan dan ketidaksopanan, dan sebagainya.
Jadi, fiqih Islam meliputi semua aspek hukum yang umat manusia butuhkan. Ia mengurusi segala hal yang bersentuhan langsung dengan kehidupan seseorang, baik secara pribadi maupun dalam bermasyarakat dan bernegara. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]