Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Abu Hudzaifah bin Utbah: Berhadapan dengan Ayah demi Aqidah

Abu Hudzaifah bin Utbah: Berhadapan dengan Ayah demi Aqidah

0
abu hudzaifah bin utbah
ilustrasi

Tidak mudah menjadi seorang muslim ketika ayahnya sendiri memusuhi Nabi. Apalagi ketika ia harus berhadapan dengan ayahnya di medan perang. Itulah yang terjadi pada Abu Hudzaifah bin Utbah. Karenanya bisa kita katakan, Abu Hudzaifah memiliki

Abu Hudzaifah bin Utbah berasal dari keluarga papan atas di kalangan Quraisy. Keluarganya memiliki posisi terhormat di Mekah. Ayahnya, Utbah bin Rabi’ah, adalah tokoh terpandang. Sedangkan ibunya, Fatimah binti Shafwan, juga berasal dari keluarga bangsawan. Namun, Abu Hudzaifah memilih meninggalkan segala kemuliaan duniawi ini demi mengikuti cahaya Islam.

Awal Keimanan di Tengah Tantangan

Abu Hudzaifah termasuk di antara orang-orang yang pertama kali menerima dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia termasuk dalam jajaran assabiqunal aawalun. Menjadi salah satu dari 40 orang pertama yang masuk Islam dalam periode dakwah sembunyi-sembunyi.

Keputusannya memeluk Islam menjadi tamparan keras bagi keluarganya, terutama sang ayah yang telah mempersiapkan Abu Hudzaifah sebagai calon pemimpin Quraisy. Namun, keyakinan Abu Hudzaifah kepada Allah dan Rasul-Nya lebih kuat daripada segala bujuk rayu dunia.

Keteguhannya dalam beriman membawa konsekuensi berat. Ia harus menghadapi penolakan dari keluarganya dan ancaman dari kaum Quraisy. Namun, semangatnya tak pernah surut.

Baca juga: Abu Hurairah

Hijrah ke Habasyah

Masuk Islam membuatnya mendapat permusuhan sengit dari keluarga besar. Mereka tak lagi menganggap Abu Hudzaifah sebagai bagian dari keluarga terhormat mereka. Tak hanya menghentikan segala bentuk fasilitas kebangsawanan, mereka juga menekan Abu Hudzaifah agar kembali menyembah berhala. Abu Hudzaifah tetap kokoh menghadai berbagai intimidasi dan tribulasi.

Ketika intimidasi dan tribulasi semakin keras, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk hijrah ke Habasyah. Beliau tahu, negara Abisinia itu berada di bawah kepemimpinan Najasy yang adil. Seorang raja beragama Nasrani yang suka melindungi orang-orang lemah. Serta tidak menyukai kezaliman dan penindasan.

Bersama istrinya, Sahlah binti Suhail, ia berhijrah ke Habasyah. Bersama lebih dari 80 sahabat lainnya, akhirnya mereka bisa menghindar dari penindasan kafir Quraisy. Mendapatkan perlindungan dari Raja Najasy.

Baca juga: Abu Dzar Al Ghifari

Peran dalam Perang Badar

Kembali ke Mekkah setelah tinggal di Habasyah, Abu Hudzaifah kemudian berhijrah ke Madinah bersama kaum Muslimin lainnya. Ia menjadi salah satu sahabat yang selalu setia mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbagai momen penting, termasuk dalam peperangan.

Perang Badar adalah salah satu peristiwa yang mencatat peran penting Abu Hudzaifah. Dalam pertempuran ini, ia berhadapan dengan pasukan Quraisy, termasuk ayahnya, Utbah bin Rabi’ah, pamannya Syaibah bin Rabi’ah, dan saudaranya al-Walid bin Utbah. Ketiga tokoh Quraisy ini maju ke medan perang untuk menantang duel.

Meskipun darah keluarga mengalir dalam tubuhnya, Abu Hudzaifah tetap teguh dalam keyakinannya. Ia ingin maju menghadapi keluarganya, tetapi Rasulullah mencegahnya.

Dalam pertarungan itu, paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib, bersama Ali bin Abu Thalib dan Ubaidah bin al-Harits, menjadi wakil kaum Muslimin yang berhasil mengalahkan ketiga tokoh Quraisy tersebut.

Baca juga: Abu Darda

Ujian Keimanan

Dalam peperangan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan para sahabat agar tidak membunuh beberapa orang dari pihak musyrik kecuali jika terpaksa. Salah satu yang beliau sebut adalah Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Mendengar peringatan ini, Abu Hudzaifah sempat mengucapkan sesuatu yang membuat Rasulullah tidak berkenan. Ia berkata, “Jika aku bertemu dengannya, aku akan menebasnya dengan pedang.”

Ucapannya ini didorong oleh emosi dan kebimbangan. Rasulullah menegur Abu Hudzaifah dengan lembut, dan ia segera menyadari kesalahannya. Ia menarik ucapannya dan meminta maaf, mengakui bahwa kata-kata itu lahir dari kegelisahan dan rasa takut.

Kisah ini menunjukkan sisi manusiawi Abu Hudzaifah. Bagaimana pun kondisi ayahnya, tentu ia sedih mengetahui sang ayah terbunuh di depan matanya. Rasulullah juga memahami kondisi psikologis Abu Hudzaifah bahkan mendoakan kebaikan untuknya. Doa ini sekaligus menunjukkan betapa besar kasih sayang beliau kepada para sahabatnya.

Baca juga: Abu Bakar Ash-Shiddiq

Perang Yamamah dan Pengorbanan Terakhir

Abu Hudzaifah tak pernah absen dari peperangan bersama Rasulullah. Setelah Rasulullah wafat, ia tetap berada di garis depan perjuangan Islam. Salah satu momen heroiknya tercatat dalam Perang Yamamah, saat pasukan Muslimin menghadapi nabi palsu, Musailamah al-Kazzab.

Dalam perang ini, Abu Hudzaifah ditemani oleh budaknya yang setia, Salim. Keduanya bertempur dengan gagah berani demi menegakkan kebenaran. Pertempuran ini menjadi salah satu yang paling sengit dalam sejarah Islam. Meski akhirnya kaum Muslimin berhasil mengalahkan Musailamah, Abu Hudzaifah dan Salim gugur sebagai syuhada.

Kisahnya kemudian menjadi inspirasi tentang keberanian, pengorbanan, dan keteguhan iman. Ia meninggalkan segala kemuliaan duniawi untuk mengikuti jalan yang Allah ridhai. Kehidupannya mengajarkan kita bahwa iman yang kokoh adalah pilar utama dalam menghadapi segala ujian hidup.

Meski harus berhadapan dengan keluarga dan kerabatnya sendiri, Abu Hudzaifah tidak pernah mundur dari keyakinannya. Ia menunjukkan bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya lebih besar daripada cinta kepada dunia. Keberaniannya di medan perang, kesetiaannya kepada Rasulullah, dan pengorbanannya di jalan Allah adalah warisan yang abadi bagi umat Islam.

Melalui kisah Abu Hudzaifah, kita belajar bahwa Islam adalah agama yang menuntut totalitas dan kesetiaan. Dan Sahabat Nabi ini telah menjadi salah satu teladan dalam memberikan totalitas dan kesetiaannya. Semoga Allah meridhai dan merahmatinya, memasukkannya ke surga bersama Rasulullah dan para syuhada. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]

Referensi:

  • Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syekh Muhammad Raji Hasan Kinas
  • Sirah Nabawiyah Ar-Rakhiqul Makhtum karya Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri
  • Sirah Nabawiyah karya Syekh Ali Muhammad Ash-Shalabi

SILAKAN BERI TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini