Beranda Dasar Islam Al Quran Surat Al Isra Ayat 1: Arti dan Tafsir Ayat Isra’ Mi’raj

Surat Al Isra Ayat 1: Arti dan Tafsir Ayat Isra’ Mi’raj

0
surat al isra ayat 1

Surat Al Isra ayat 1 adalah ayat tentang isra’ mi’raj. Khususnya tentang isra’ yakni perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Al-Aqsha.

Sebagaimana mayoritas Surat Al Isra’, ayat 1 ini juga termasuk ayat makkiyah. Yakni turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Al Isra’ (الإسراء) yang menjadi nama surat terambil dari ayat pertama ini. Berikut ini arti dan tafsir Surat Al Isra ayat 1.

Surat Al Isra Ayat 1 Beserta Artinya

Berikut ini Surat Al Isra ayat 1 dalam tulisan Arab, tulisan Latin, dan artinya dalam bahasa Indonesia:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

(Subhaanalladzii asroo bi’abdihii lailam minal masjidil haroomi ilal masjidil aqshol ladzii baaroknaa haulahuu linuriyahuu min aayaatinaa innahuu huwas samii’ul bashiir)

Artinya:
Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Al  Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Isra‘: 1)

Baca juga: Surat Al Waqiah

Tafsir Surat Al Isra Ayat 1

Tafsir Surat Al Isra ayat 1 ini kami sarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, dan Tafsir Al Munir.. Harapannya, agar bisa terhimpun banyak faedah yang kaya khazanah tetapi ringkas dan pemuda mudah memahaminya.

Kami memaparkannya menjadi beberapa poin, mulai dari redaksi ayat dan artinya. Kemudian baru tafsirnya yang merupakan intisari dari tafsir-tafsir di atas.

1. Hakikat Isra’

Poin pertama dari Surat Al Isra ayat 1 ini adalah hakikat isra’.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ

Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menjelaskan, isra (اسرى) atau sara (سرى) artinya adalah berjalan di malam hari. Secara istilah, isra’ adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam dari  Masjidil Haram di  Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina. (baca juga: Pengertian Isra’ Mi’raj)

Para mufassirin sepakat bahwa ‘abdihi (عبده) pada ayat ini adalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan, kata lailan (ليلا) berbentuk nakirah untuk mengisyaratkan sebentarnya waktu peristiwa isra’ itu. Juga untuk menunjukkan bahwa isra’ itu berlangsung dalam sebagian malam karena bentuk nakirah menunjukkan arti ba’dhy (sebagian).

Jadi, Allah-lah yang memperjalankan hamba-Nya dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjid Al Aqsa di Palestina. Inilah hakikat isra’. Sehingga, orang-orang beriman percaya segala keajaiban isra’ mi’raj karena memang Allah-lah yang mengaturnya.

Ibnu Katsir menjelaskan, Masjidil Aqsa adalah Baitul Muqaddas yang terletak di Elia (Yerussalem), tempat asal para Nabi terdahulu sejak Nabi Ibrahim ‘alaihi salam. Karena itulah semua nabi dikumpulkan di Masjid Al Aqsa malam itu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami mereka. Ini menujukkan bahwa Rasulullah adalah imam terbesar, pemimpin para nabi.

الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ

yang telah Kami berkahi sekelilingnya

Menurut Ibnu Katsir, di antara bentuk keberkahan adalah tanam-tanaman dan hasil buah-buahannya. Sedangkan menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, sebagai deskripsi yang menggambarkan keberkahan yang mengelilingi dan turun dengan derasnya pada masjid ini.

2. Tujuan Isra’ Mi’raj

Poin kedua dari Surat Al Isra ayat 1 menjelaskan tentang tujuan isra’ mi’raj.

لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا

agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.

Maksudnya, kata Ibnu Katsir, Kami perlihatkan kepada Muhamamd sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar-besar. Dalam ayat lainnya Allah berfirman:

لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

Sesungguhnya Dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS. An-Najm: 18)

Surat Al Isra ayat 1 merupakan dalil isra’. Sedangkan dalil mi’raj terdapat pada Surat An-Najm ayat 13 sampai 18 di atas.

“Tujuan isra’ mi’raj adalah untuk memperlihatkan kepada Nabi-Nya tanda-tanda kekuasaan Allah yang agung, menunjukkan wujud, keesaan, dan kekuasaan-Nya. Di antara tanda kekuasaan-Nya adalah surga, neraka, dan alam langit. Sehingga, di mata beliau, bumi menjadi sangat kecil di hadapan kebesaran seluruh alam ini. Juga untuk menguatkan jiwa beliau dalam menghadapi berbagai kesulitan dan berjihad di jalan Allah,” tulis Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir.

Sedangkan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menerangkan bahwa beliau di-isra’-kan karena Allah akan memperlihatkan ayat-ayat-Nya kepadanya. Ayat maha penting di antara banyak ayat itu adalah Mi’raj ke langit.

Baca juga: Ceramah Isra’ Mi’raj Singkat dan Jelas

3. Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

Poin ketiga dari Surat Al Isra ayat 1 menegaskan bahwa Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

“Allah Maha Mendengar semua ucapan hamba-hamba-Nya, yang mukmin maupun yang kafir, yang membenarkan maupun yang mendustakan. Dan Dia Maha Melihat semua perbuatan mereka. Maka, kelak Dia akan memberikan kepada masing-masing dari mereka balasan yang berhak mereka terima di dunia dan akhirat,” tulis Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya.

Dalam Sirah Nabawiyah kita mendapati bagaimana manusia terbagi menjadi dua golongan saat menerima berita isra’ mi’raj. Orang-orang kafir Quraisy tentu saja langsung mendustakannya. Bahkan setelah mereka mendapati bukti berupa deskripsi Masjid Al Aqsha dan kondisi kafilah dagang mereka yang sama persis dengan aslinya, mereka tetap mendustakan.

Termasuk mendustakan adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Keimanannya yang belum kuat menjadi guncang mendengar peristiwa ajaib ini hingga mereka murtad, keluar dari Islam.

Golongan kedua adalah para sahabat Nabi yang keimanannya menjadi semakin kokoh dengan berita isra’ mi’raj. Dan yang paling sempurna keimanannya di antara para sahabat adalah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Jika Rasulullah yang menyampaikan, aku percaya, bahkan jika lebih ajaib daripada ini.” Sejak saat itu Abu Bakar mendapat gelar ash-shiddiq.

Sayyid Qutb menjelaskan dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, “Pendeskripsian sifat-sifat-Nya, Maha Mendengar dan Maha Melihat, di sini dalam bentuk ungkapan berita yang benar tentang Zat ketuhanan-Nya. Formasi kalimat demi kalimat di atas bertemu dalam satu ayat dalam rangka memberikan kedalaman makna-makna yang dikandungnya secara sempurna.” [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

SILAKAN BERI TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini