Salah satu pertanyaan terkait puasa adalah tentang bekam. Apakah bekam membatalkan puasa atau tidak? Berikut ini penjelasan Syaikh Dr Yusuf Qardhawi dalam Fiqhush Shiyam (Fiqih Puasa)
Daftar Isi
Pengertian Bekam
Bekam atau hijamah adalah mengambil darah darah (kotor) dari tubuh seseorang dengan cara menghisapnya menggunakan alat tertentu. Bekam telah dikenal sejak dulu oleh masyarakat Aran dan banyak digunakan untuk pengobatan. Di zaman Rasulullah, bekam lebih memasyarakat karena merupakan salah satu metode pengobatan dari Nabi (thibbun Nabawi).
Pendapat Pertama: Bekam Membatalkan Puasa
Imam Ahmad, Ishaq dan kalangan ahli hadits berpendapat bekam membatalkan puasa. Sebagaimana juga riwayat dari sebagian sahabat dan tabiin. Mereka mengatakan, “Yang membekam dan yang dibekam puasanya batal.” Hujah mereka adalah hadits marfu’ riwayat Tsauban,
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
“Orang yang membekam dan dibekam puasanya batal” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Syaddad bin Aus berkata bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seseorang di Baqi’ sedang berbekam. Orang ini meminta tolong kepadaku. Ketika itu telah lewat delapan belas hari dari Ramadhan. Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
“Orang yang membekam dan dibekam puasanya batal” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Hadits semakna diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khudaij, Abu Hurairah, dan Abu Musa.
Pendapat Kedua: Bekam Tidak Membatalkan Puasa
Sedangkan jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Orang yang membekam dan oranh yang dibekam, puasanya tidak batal. Hujah mereka adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari)
يُسْأَلُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian memakruhkan berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pertanyaannya berbunyi “Apakah kalian memakruhkan bekam bagi orang yang berpuasa pada masa Rasulullah?”
Dari Abu Laila, ia berkata bahwa Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam melarang berbekam dan puasa wishal (sambung-menyambung). Kedua hal itu tidak dilarang melainkan demi kemaslahatan para sahabat.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam memberikan dispensasi untuk mencium dan berbekam.
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Pertama kali berbekam dimakruhkan dalam berpuasa adalah ketika Ja’far bin Abu Thalib berbekam ketika berpuasa. Ketika itu Nabi lewat lalu bersabda, ‘Dua orang ini telah batal,’ Sesudah itu Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam memberi rukhsah berbekam ketika orang berpuasa. Dan Anas sendiri pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.”
Baihaqi berkata, “Kami pernah meriwayatkan tentang itu dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Husain bin Ali, Zaid bin Arqam, Aisyah, dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum.”
Kesimpulan
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa hadits, “Orang yang berbekam dan yang membekam batal puasanya,” secara tekstual telah di-nasakh (dihapus) oleh hadits Ibnu Abbas tentang berbekamnya Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam di waktu ihram, dan peristiwa itu datang kemudian, karena itu terjadi pada haji wada’. Hadits dispensasi untuk berbekam menunjukkan bahwa itu datang kemudian, sebagaimana hadits Anas dan lainnya. Pada umumnya dispensasi memang diberlakukan setelah larangan.
Sebagaiman juga bahwa hadits-hadits tentang dispensasi berbekam bagi yang berpuasa lebih sahih dan lebih kuat, juga dibantu dengan qiyas, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i. Karenanya ia harus didahulukan.
Mereka telah menakwilkan hadits: Orang yang berbekam dan yang membekam batal puasanya, bahwa maknanya adalah “terancam batal”. Itu karena orang yang membekam tidak aman dari kemungkinan masuknya darah ke jauf karena isapan, sedangkan bagi yang dibekam, ia tidak aman dari lemahnya kekuatan karena keluarnya darah, sehingga ditakwil menjadi “membatalkan”.
Imam Syafi’i berkata, “Yang saya hafal dari sejumlah sahabat, tabiin,, dan ahli ilmu adalah bahwa seseorang yang berpuasa tidak batal karena berbekam.”
Atas dasar itu, jelaslah hukum mengambil darah dari tubuh di kala puasa, bahwa menurut jumhur ulama hal itu tidak membatalkan puasa, namun makruh karena alasan “lemah”, yakni melemahkan fisik orang yang dibekam.”
Sedangkan menurut Ahmad, apabila pengambilan darah ini diqiyaskan dengan hijamah (bekam) maka batallah puasanya, namun jika berpegang pada bunyi teks maka tidaklah membatalkan.