Setelah mengkaji biografi ayahnya, Abbas bin Abdul Muthalib, kini saatnya kita mengkaji biografi salah satu putranya, Abdullah bin Abbas. Seorang sahabat yang keilmuannya jauh melampaui umurnya.
Ia mendapat gelar habrul ummah (tinta umat) dan tarjumul Qur’an (penerjemah Al-Qur’an). Ia juga memiliki julukan al-bahru (samudra) karena keluasan ilmunya. Ibnu Abbas adalah sepupu Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam karena ayahnya, Abbas bin Abdul Muthalib, adalah paman beliau.
Daftar Isi
Keistimewaan Abdullah bin Abbas
Ibnu Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ia lahir di tengah situasi sulit ketika seluruh Bani Hasyim sedang menghadapi pemboikotan oleh kaum Quraisy.
Ketika masih kecil, Ibnu Abbas telah mendapatkan berkah khusus dari Rasulullah, yang memberkatinya dengan ludah mulia beliau. Doa Nabi yang meminta kepada Allah agar menganugerahinya pemahaman mendalam tentang hikmah membuat Ibnu Abbas tumbuh menjadi sosok yang penuh kebijaksanaan dan berwawasan luas.
Ibnu Abbas pernah melihat malaikat Jibril di sisi Nabi sebanyak dua kali, yang menandakan kehormatan dan kedekatannya dengan wahyu. Doa yang Nabi panjatkan untuknya menjadi bukti keluhuran ilmunya. “Ya Allah, ajarkanlah hikmah kepadanya,” begitu doa Rasulullah untuknya.
Abdullah bin Abbas meriwayatkan lebih dari 1.600 hadits. Sejumlah hadis Nabi ia riwayatkan dari sahabat senior, seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan lain para tabiin yang meriwayatkan hadits darinya sangat banyak, antara lain Mujahid, Thawus, hingga Said bin al-Musayyab.
Tidak hanya soal hadits, Ibnu Abbas juga seorang ahli tafsir Al-Quran yang mumpuni. Pengetahuan luasnya menjangkau berbagai aspek, mulai dari syair Arab, bahasa, hingga ilmu hisab dan faraid.
Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah menyatakan bahwa Ibnu Abbas adalah sosok yang sulit ditandingi dalam berbagai aspek, terutama dalam pemahaman yang lebih cepat dari kebanyakan orang, kelembutannya, serta keturunan mulianya. Bahkan pada masa Abu Bakar, Umar, dan Utsman, sulit mencari orang yang mampu menandingi ilmu dan pemahamannya dalam hadis, syair, dan bahasa Arab.
Baca juga: Abbas bin Ubadah
Kemuliaan Akhlak Ibnu Abbas
Dalam kesehariannya, Ibnu Abbas memanfaatkan waktunya untuk memberikan ilmu kepada umat. Kadang ia membahas fikih, dan di waktu lain ia mendiskusikan tafsir Al-Qur’an. Ketika para alim atau pembesar datang kepadanya, ia selalu merendahkan hati dan menunjukkan hormat. Jika ada seseorang yang bertanya, Ibnu Abbas akan memberi jawaban yang rinci hingga sang penanya merasa puas.
Salah satu riwayat menunjukkan sikap rendah hati Ibnu Abbas saat ia menunggu sahabat yang ingin ia tanyai. Ketika sahabat itu keluar, ia heran melihat Ibnu Abbas duduk di depan rumahnya menunggu dengan sabar. Saat sahabat itu menawarkan untuk mendatanginya, Ibnu Abbas menolak dengan berkata, “Akulah yang seharusnya datang kepadamu, bukan engkau yang mendatangiku.” Dengan begitu, Ibnu Abbas menyadari bahwa seorang alim perlu didatangi, bukan sebaliknya.
Ibnu Abbas tidak pelit ilmu. Ia ingin setiap orang memiliki ilmu dan pemahaman sepertinya khususnya tentang Al-Qur’an. Ia menyatakan, “Aku membaca salah satu ayat dari kitab Allah dan berharap semua orang bisa memahaminya sebagaimana aku memahaminya.”
Rasulullah pernah mendoakannya agar Allah memberinya pemahaman dalam agama dan mengajarinya tafsir, dan doa itu terwujud dengan indah dalam keseharian Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas sangat senang melihat umat Islam yang dipimpin oleh pemimpin yang adil dan bijaksana. Jika ia mendengar ada keadilan yang ditegakkan, ia akan berdoa untuk pemimpin tersebut dan merasa bahagia walaupun tidak terkait langsung dengannya.
Pada masa khalifah Utsman, Ibnu Abbas pergi menunaikan haji, dan di usia lanjut ia kehilangan penglihatannya. Ia berkata, “Jika Allah mengambil cahaya-Nya dari kedua mataku, maka sesungguhnya pada lisan dan hatiku masih ada cahaya.” Begitulah Ibnu Abbas menunjukkan kepasrahannya dalam ridha Allah.
Baca juga: Abbad bin Bisyr
Membuat 2.000 Khawarij Bertobat
Sewaktu menghadapi kaum khawarij, khalifah Ali bin Abu Thalib mempercayakan kepada Abdullah bin Abbas untuk menyadarkan mereka. Ali percaya, keilmuan Sahabat Nabi ini akan membuat mereka kembali ke jalan yang benar. Kalaupun tidak semuanya, setidaknya sebagiannya yang masih sehat akalnya dan terbuka hatinya untuk menerima kebenaran.
Ibnu Abbas pun mendatangi kaum khawarij. Lalu ia bertanya kepada mereka mengapa mereka keluar dari kepemimpinan Ali dan mencela sepupu beliau itu?
“Ada tiga perkara,” jawab mereka.
“Apa saja tiga perkara itu?” tanya Ibnu Abbas.
“Pertama, dia telah mengangkat beberapa orang sebagai penengah terkait urusan Allah, sedangkan Allah telah berfirman. Penetapan hukum itu hanyalah hak Allah. Lantas, apa hak orang-orang itu dalam menetapkan hukum?”
Kedua, Ali telah berperang (Perang Jamal) tapi tidak mau menawan tawanan dan tidak mengambil ghanimah. Seandainya mereka adalah orang- orang kafir, maka menawan mereka adalah halal. Seandainya mereka adalah orang-orang beriman, maka tidak dihalalkan untuk memerangi mereka.”
Ketiga, Ali telah menghapus gelar Amirul Mukminin saat perjanjian dengan Muawiyah. “Jika dia bukan lagi sebagai Amiriul Mukminin berarti dia adalah Amirul Kafirin.”
Ibnu Abbas menjawab satu per satu tuduhan mereka. Pertama, Al-Qur’an membolehkan orang memutuskan hukum dalam beberapa hal, seperti dalam urusan buruan (Al-Maidah: 59) dan konflik suami istri (An-Nisa: 25), dan perdamaian jauh lebih penting daripada hukum-hukum ini.
Tuduhan kedua adalah bahwa Ali tidak menawan dan tidak mengambil harta rampasan dalam perang Jamal. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Bunda Aisyah adalah ummul mukminin (ibu bagi orang beriman), tidak boleh ditawan atau diperlakukan seperti musuh.
Tuduhan ketiga adalah bahwa Ali mencabut gelar Amirul Mukminin dari dirinya, yang dianggap sebagai bukti ketidakpatuhan terhadap keimanan. Ibnu Abbas membantah dengan mengutip peristiwa Hudaibiyah, ketika Nabi Muhammad sendiri setuju mencoret gelar “Rasulullah” dalam redaksi perjanjian tersebut demi mencapai perdamaian. Hal ini tidak berarti Nabi mencabut kenabiannya; demikian pula dengan Ali.
Setelah diskusi ini, dua ribu orang kembali ke dalam Islam, sedangkan sisanya tetap membangkang. Akhirnya, sebagian besar dari mereka yang membangkang itu terbunuh dalam perang melawan Muhajirin dan Anshar.
Baca juga: Abdurrahan bin Auf
Kecintaan Umat kepada Ibnu Abbas
Ibnu Abbas wafat pada usia 70 tahun. Begitu banyak kaum muslimin yang mengikuti sholat jenazah dan mengantar jenazahnya ke pemakaman.
“Demi Allah, pada hari ini telah wafat tinta umat ini,” kata Ibnu Al-Hanafilah saat mengantar jenazah Abdullah bin Abbas.
Begitu dalam kecintaan umat kepada Ibnu Abbas yang telah mendedikasikan hidupnya untuk ilmu dan pengabdian kepada umat. Semoga Allah merahmatinya. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]
Referensi:
Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat Karya Syeh Muhammad Raji Hasan Kinas
Ashabu ar-Rasul karya Syekh Mahmud Al-Mishri
Shuwar min Hayat ash-Shahabat karya Syekh Abdurrahman Raf’at Al Basya