Beranda Suplemen Renungan Refleksi Kepala Sobek Demi Sang Imam

Refleksi Kepala Sobek Demi Sang Imam

Ilustrasi: weandthecolor.com

“Dia layak untuk menuntut, dia ikut andil pendirian barisan!”

“Boleh dong dia tak patuh terhadap pimpinan. Kesalahan dia bisa dimaafkan kan? Masih ada ukhuwah kan?”

“Prajurit itu pantas untuk diberhentikan. Sering ngeyel terhadap aturan. Di dalam tapi cita rasa luar!”

“Jangan mendekatkan korek api yang nyala dengan korek api yang lain. Agar yang lain itu tak ikut terbakar.”

Mungkin pernah dengan celotehan itu. Tak harus saat ini,  mungkin di masa lalu. Mungkin juga akan terjadi di masa depan. Ada yang sepakat, ada yang tak taat. Namun begitu,  kita putar dulu tentang tindakan seorang sahabat.

Adalah tindakan Zaid ibn Haritsah ra. yang melindungi Rasulullah Saw. kala itu, dengan tubuhnya dari lemparan batu orang – orang Thaif, sehingga kepalanya tak utuh rapi seperti sedia kala,  ada sobek di sana. Terjadi begitu saja. Ada rasa sakit namun terempas oleh rasa yang meneduhkan di ruhiyah.  Meski sobek kepala, tak membuat pendek akalnya.

Dari sana,  kita menemukan sebuah contoh, sebuah prototype, bagaimana seharusnya sikap setiap muslim terhadap para imam mereka. Mereka harus siap melindungi para imam dakwah meskipun harus bertaruh nyawa. Meski ada luka.

Demikianlah sifat para sahabat terhadap Rasulullah Saw. Karena sekarang Rasulullah Saw. sudah tidak lagi hidup bersama kita,  semangat membela beliau tidak lagi dapat dilakukan dengan cara seperti yang dilakukan para sahabat. Harus dengan cara yang berbeda yaitu dengan menguatkan hati kita untuk jangan sekali – kali mengeluh ketika menghadapi rintangan dakwah. Ketika gerbong sedang melaju lambat atau kilat. Kita juga dapat melakukan pembelaan terhadap Rasulullah Saw. dengan cara melakukan apa pun yang kita mampu untuk ikut “memikul beban” yang dulu pernah dipukul beliau. Ingat,  memikul bukan memukul. Dipikul bukan dipukul.

Hikmah lain dari peristiwa ini adalah pentingnya keberadaan dakwah di setiap masa untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Rasulullah Saw. Semua umat Islam hendaknya juga siap menjadi “prajurit” yang dengan penuh keikhlasan mendukung para pemimpin mereka dengan jiwa dan raga, sebagaimana dulu dilakukan para sahabat Rasulullah Saw.

Kita bisa seperti Zaid ibn Haritsah ra. Mungkin.  Di mana ketika kita menempatkan keikhlasan untuk menjadi prajurit dalam barisan maka kita akan ikhlas pula untuk menjadi pemimpin pasukan ketika selendang amanah disematkan. Tak hanya amir tapi juga ma’mur (mau dipimpin). Dengan mengkondisikan hati seperti ini maka hati akan terlatih untuk siap siaga ketika amanah dilepaskan. Tetap militan tanpa mulutan. Tanpa banyak tuntutan. Wallahu’alam.