Beranda Tazkiyah Tazkiyatun Nafs Riya’ dan Sum’ah: Pengertian, Perbedaan, Cara Menghindari

Riya’ dan Sum’ah: Pengertian, Perbedaan, Cara Menghindari

0
riya dan sumah
ilustrasi (pinterest)

Di antara penyakit hati yang kerap menjangkiti banyak orang adalah riya’ dan sum’ah. Apa persamaan dan perbedaan keduanya, apa bahayanya, lalu bagaimana cara menghindarinya?

Pengertian Riya’

Kata riya’ berasal dari kata ru’yah yang artinya melihat. Kalimat arar-rajulu, berarti seseorang menampakkan amal shalih agar orang lain melihatnya. Makna ini sejalan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Maun:

الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ . وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

…Orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan barang berguna. (QS. Al-Ma’un : 6-7)

Secara istilah (terminologi), riya’ adalah menampakkan amal shalih kepada manusia agar mendapatkan kedudukan dan/atau pujian dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.

Pengertian Sum’ah 

Kata sum’ah berasal dari kata sami’a yang artinya mendengar. Darinya muncul kata samma’a yang berarti memperdengarkan.

Secara istilah, sum’ah adalah membicarakan atau memberitahukan amal shalih yang sebelumnya tersembunyi kepada manusia agar mendapatkan kedudukan dan/atau pujian dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.

Perbedaan Riya’ dan Sum’ah

Dari pengertian di atas, kita bisa mengetahui persamaan dan perbedaan antara riya’ dan sum’ah. Kedua-duanya sama-sama bertujuan mencari pujian manusia atau keuntungan materi. Sedangkan perbedaannya:

  1. Riya’ umumnya terjadi sebelum dan saat beramal, sedangkan sum’ah terjadi setelah beramal.
  2. Riya’ adalah menampakkan amal sehingga kelihatan pada saat beramal tersebut, sedangkan sum’ah memperdengarkan atau memberitahu orang lain setelah beramal.
  3. Riya’ selalu tidak murni keikhlasannya saat beramal sedangkan sum’ah terkadang sudah ikhlas pada saat beramal tetapi kemudian tidak ikhlas setelahnya.

Dalil Larangan Riya‘ dan Sum‘ah

Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang riya’. Penyakit hati ini bisa menghilangkan pahala karena Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menerima ibadah yang ikhlas kepada-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia… (QS. Al-Baqarah: 264)

Riya‘ merupakan syirik kecil sebab seseorang melakukan ibadah yang seharusnya hanya untuk Allah tetapi ia niatkan untuk mencari pujian manusia atau mengharapkan keuntungan duniawi dari mereka.

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ . قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ

“Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil.”  Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “riya’” (HR. Ahmad; shahih)

Sedangkan dalil tentang sum’ah adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang Imam Bukhari riwayatkan dalam Shahih-nya:

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ ، وَمَنْ يُرَائِى يُرَائِى اللَّهُ بِهِ

Barangsiapa  yang berlaku sum’ah, maka akan diperlakukan sum’ah oleh Allah (diumumkan aib-aibnya di akhirat). Barangsiapa yang berlaku riya’, akan dibalas Allah dengan riya’ (diperlihatkan pahala amal tetapi tidak diberikan kepadanya). (HR. Bukhari)

Ciri-ciri Riya’

Syekh Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam Afatun ‘ala Ath-Thariq memberikan dua ciri riya’. Hendaklah kita sebagai muslim memperhatikan apakah dua ciri ini ada pada kita. Lalu, kita pun berupaya untuk memperbaikinya agar penyakit hati ini tidak kian menjangkiti.

1. Malas saat sendiri, rajin dan giat saat orang lain melihat

Di antara ciri-ciri riya’ adalah malas saat sendirian dan giat ketika ada orang yang memperhatikan. Ciri ini bisa muncul dalam ibadah seperti shalat, bisa pula muncul dalam amal shalih secara umum seperti bekerja.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Ada beberapa tanda bagi orang yang berlaku riya, yakni malas ketika ia seorang diri tetapi akan sangat rajin ketika sedang bersama orang lain. Bertambah amalnya jika mendapat pujian dan berkurang amalnya jika mendapat celaan.”

2. Maksiat saat sendirian, taat saat orang lain memperhatikan

Ciri kedua ini lebih buruk daripada ciri pertama. Sebab, ia hanya mengerjakan ketaatan ketika ada orang lain yang memperhatikan. Ketika sendirian, ia justru bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla.

عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : « لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قَالَ ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

Dari Tsauban, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku akan mengetahui beberapa kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan kebaikan laksana gunung yang tinggi berkilau. Akan tetapi, Allah menjadikannya debu yang beterbangan.”

Tsauban berkata, “Ya Rasulullah, jelskan kepada kami agar kami tidak termasuk golongan mereka sementara kami tidak mengetahuinya.”

Rasulullah bersabda, “Mereka itu adalah saudara-saudara kalian dan berasal dari keturunan kalian. Mereka mengerjakan amalan pada waktu malam sebagaimana kalian mengerjakannya. Akan tetapi, mereka adalah kaum yang jika dalam keadaan sendiri akan melanggar larangan-larangan Allah.” (HR. Ibnu Majah; shahih)

Contoh Riya’ dan Sum’ah

Syekh Izzuddin bin Abdussalam dalam Maqashidur Ri’ayah membahas panjang lebar tentang riya’. Beliau juga memberikan banyak contoh riya’ dan hal-hal yang kerap dipamerkan.

  1. Anggota tubuh.  Contoh: Menguruskan badan agar tampak seperti zuhud. Memasang wajah pucat biar dikira sering shalat malam. Atau sebaliknya, tampil gemuk dan terawat agar tampak terhormat dan mudah masuk ke kalangan pejabat.
  2. Kata-kata. Contoh: Mengucapkan kata-kata hikmah agar tampak seperti wali atau orang bijaksana. Memfasih-fasihkan bahasa dan menggunakan istilah-istilah sulit agar tampak alim.
  3. Amalan. Contoh: Memperlama shalat ketika ada orang yang melihat. Memamerkan sedekah.
  4. Gaya penampilan. Contoh: Rambut acak-acakan dan bekas sujud agar dikira ahli ibadah yang zuhud. Selalu tampil rapi agar tampak mulia dan bisa masuk ke kalangan penguasa.
  5. Gaya berpakaian. Contoh: Memakai pakaian kasar dan sederhana agar tampak zuhud. Memakai pakaian mewah agar tampak terhormat.

Sedangkan contoh sum’ah antara lain:

  1. Menceritakan bahwa ia selalu shalat malam agar orang-orang mengetahui keshalihannya.
  2. Menceritakan capaian tilawahnya agar orang lain memujinya.
  3. Memberitahukan kebaikan atau jasa-jasanya agar manusia lebih memuliakannya daripada orang lain.

Penyebab Riya’

Ada banyak penyebab riya’. Imam Ghazali membahasnya dalam Ihya Ulumuddin dan kemudian Ibnu Qudamah meringkasnya dalam Minhajul Qasidin. Bahkan, Syekh Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam Afatun ‘ala Ath-Thariq menyebutkan ada 10 faktor penyebab riya’ dan sum’ah.

Namun, kali ini kita cukupkan tiga penyebab utama yang mewakili semuanya. Syekh Izzuddin bin Abdussalam menjelaskan tiga penyebab ini dalam Maqashidur Ri’ayah.

1. Menginginkan penghormatan dan pemuliaan

Ini merupakan penyebab utama yang melahirkan dua penyebab lainnya. Nafsu melihat bahwa orang yang shalih itu mendapatkan penghormatan dan pemuliaan, orang-orang mencium tangannya dan mengikuti nasihatnya. Bahkan, kalau orang shalih itu melakukan kesalahan, manusia memakluminya. Mereka juga mendapatkan donasi dari dermawan dan jabatan dari penguasa. Maka, nafsu pun mengajak berpura-pura melakukan ketaatan di hadapan mereka.

2. Tamak, ingin keuntungan materi

Di antara contoh tamak dan menginginkan keuntungan materi:

  • Memamerkan ketaatan kepada penguasa/dermawan yang suka memberikan harta kepada orang yang taat.
  • Memperbanyak ibadah saat debitur shalih datang agar mendapat pemakluman atas utangnya sudah jatuh tempo.
  • Pekerja yang memperbagus pekerjaannya dengan harapan terus mendapatkan pekerjaan dan bonus.

3. Menghindari kerugian duniawi

Di antara contoh menghindari kerugian duniawi:

  • Maju di barisan depan mujahid karena khawatir disebut pengecut.
  • Bersedekah karena takut disebut bakhil.
  • Memanjangkan shalat sunnah karena takut disebut tidak shalih.

Dampak Buruk Akibat Riya’

Ada banyak dampak buruk akibat riya’ baik di dunia maupun di akhirat. Kami merangkumnya menjadi tujuh saja. Semoga dengan merenungkan tujuh dampak negatif ini, kita lebih berhati-hati dalam menjaga niat kita.

1. Terhalang dari hidayah dan taufiq Allah

Hidayah adalah anugerah yang Allah karuniakan kepada orang-orang yang Ia kehendaki. Ini hak prerogatif Allah. Kita bisa berdoa agar mendapat hidayah, tetapi terserah Allah apakah menurunkan hidayah-Nya atau tidak.

Namun demikian, Allah telah membuat ketetapan di dalam Al-Qur’an bahwa hidayah itu akan Ia berikan kepada orang-orang yang ikhlas.

اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

…Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. As-Syura: 13)

Orang yang riya’ dan sum’ah pada dasarnya telah merobek keikhlasan dan menyimpang dari kebenaran. Karenanya prasyarat untuk mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah telah hilang darinya. Meskipun tahu banyak ilmu, orang seperti ini akan sulit mengamalkannya. Ini dampak buruk riya’ dan sum’ah.

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

…Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. As-Shaf : 5)

2. Gelisah dan tidak bahagia

Orang yang riya’ atau sum’ah akan merasakan kegelisahan dan kehilangan kebahagiaan dalam hidupnya. Ia berada dalam dua kesempitan. Merasa sempit karena khawatir niatnya terbongkar, dan merasa sempit saat niatnya tidak tercapai.

Sebaliknya, orang yang ikhlas, sejak awal melakukan amal telah mendapatkan ketenangan karena Allah-lah yang melihat dan akan membalas amalnya meskipun tidak ada orang lain yang tahu. Ia bahagia karena yang ia tuju adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d: 28)

3. Hilang wibawa dan pengaruh

Kewibawaan seorang muslim bisa hadir karena Allah yang menanamkan pada dirinya. Maka, ketika seorang hamba ikhlas dalam menjalankan agama-Nya, ibadah, dan dakwah, Allah memberikan kewibawaan itu. Namun, jika Allah menghinakan seseorang, maka dengan cara bagaimanapun kewibawaan itu dipoles, ia tetap saja luntur dan tak berbekas.

وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ

Barangsiapa yang Allah hinakan, niscaya tiada seorangpun yang akan memuliakannya. (QS. Al-Hajj : 18)

Pernah suatu ketika Ibnu Hubairah, gubernur Kufah dan Bashrah memanggil Hasan Al-Basri dan Amir bin Syarahbil untuk meminta nasihat berkenaan dengan intruksi Yazid yang zalim. Amir bin Syarahbil saat itu menjawab dengan jawaban yang moderat dan cenderung memaafkan Ibnu Hubairah seandainya ia melakukan intruksi itu karena pada dasarnya ia terpaksa.

Namun, saat Hasan Al-Basri dimintai nasihat, ia menjawab dengan tegas: “Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kepada Allah dalam menghadapi Yazid, dan jangan takut kepada Yazid saat menghadapi Allah. Allah dapat melindungimu dari Yazid, tetapi Yazid tidak dapat melindungimu dari Allah…”

Mendengar nasihat itu, Ibnu Hubairah menangis tersedu-sedu dan memakai pendapat Hasan Al-Basri serta menghormatinya. Ia tidak mengambil pendapat Amir bin Syarahbil. Ketika keluar dan berhadapan dengan banyak orang, Amir bin Syarahbil mengakui kesalahannya karena ingin dekat dan mendapat persetujuan Ibnu Hubairah. Ia juga menyatakan kemuliaan Hasan Al-Basri. Amir bin Syarahbil insaf.

4. Tidak tekun dalam bekerja dan beramal

Karena berorientasi pandangan manusia dan materi, orang yang riya’ dan sum’ah tidak akan bisa istiqamah dalam beramal. Saat manusia tidak lagi memperhatikannya, saat media tidak lagi meliputnya, saat keuntungan-keuntungan materi tidak ia dapatkan, ia pun berhenti dari amal itu.

Dalam dunia kerja juga begitu. Ketika tidak ada atasan atau tidak ada pengawasan, kerjanya pun asal-asalan dan bermalas-malasan. Bahkan, bisa jadi malah tidak bekerja sama sekali.

5. Terbongkar aibnya

Orang yang riya’ dan sum’ah ingin mendapatkan pujian, penghormatan, atau kedudukan dari orang lain. Namun, seringkali Allah justru membuka aib orang seperti itu di dunia sehingga terbongkarlah kebusukannya.

Adapun di akhirat nanti, tidak ada rahasia yang bisa manusia sembunyikan saat yaumul hisab, saat pengadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ بِعَمَلِهِ ، سَمَّعَ اللهُ بِهِ مَسَامِعَ خَلْقِهِ ، وَصَغَّرَهُ وَحَقَّرَهُ

Barangsiapa memperdengarkan amalnya kepada orang lain (agar orang tahu amalnya), maka Allah akan menyiarkan aibnya di telinga-telinga hambaNya, Allah rendahkan dia dan menghinakannya. (HR. Thabrani; shahih)

6. Terhapus pahala amalnya

Sesungguhnya syarat utama agar amal kita Allah terima adalah ikhlas. Seperti firman-Nya dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5. Jika seseorang melakukan ibadah atau amal shalih tetapi riya’ atau sum’ah, maka amal itu akan menjadi sia-sia.

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Lalu Kami hadapkan amal yang mereka kerjakan, kemudian Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (QS. Al-Furqan: 23)

Juga firman-Nya dalam hadits qudsi:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Aku adalah yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang beramal untuk-Ku dengan menyekutukan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya itu. (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)

7. Azab pedih di akhirat

Amal-amal yang banyak, yang disangka membuat masuk surga, justru menyeret manusia ke neraka ketika amal-amal itu dibangun di atas riya’ dan sum’ah. Seperti hadits shahih yang Imam Muslim riwayatkan bahwa di pengadilan akhirat nanti ada tiga orang pertama yang merasakan pengadilan Allah. Ketiganya adalah orang yang mati syahid, orang alim yang mengajarkan ilmunya, dan orang kaya yang dermawan. Ketiganya menyangka akan masuk surga.

Namun, rupanya Allah menilai berbeda dari persangkaan ketiga orang itu sebab mereka melakukannya karena riya’ dan sum’ah. Lalu Allah memerintahkan malaikat untuk menyeret mereka ke neraka.

Kiat Mengatasi Riya’ dan Sum’ah

1. Merenungkan dampak buruk riya’ dan sum’ah

Dengan merenungkan akibat riya’ dan sum’ah yang membuat kita tidak mendapatkan apa-apa dari sisi Allah, bahkan menyeret kita ke neraka, akan membuat kita lebih mudah melawan penyakit hati yang satu ini.

Di dunia pun, kalau kita mau merenungkan, kekecewaan akan sering hadir bersamaan dengan riya’ dan sum’ah yang kita lakukan.

2. Memilih teman dan lingkungan yang relatif bersih dari riya’ dan sum’ah

Interaksi kita dengan teman dan lingkungan hanya mengakibatkan dua hal. Kita yang mempengaruhi mereka atau kita yang akan dipengaruhi mereka.

Bagi Anda yang tahu kapasitas diri bukan pengubah sejati, jagalah dari pertemanan atau lingkungan yang rawan riya’ dan sum’ah. Perbanyaklah teman-teman yang shalih, yang membawa aura keikhlasan serta carilah lingkungan yang relatif aman dari riya’ dan sum’ah.

3. Memperhatikan sejarah orang-orang terdahulu, baik yang ikhlas atau riya’

Membaca atau mendengarkan kisah mereka akan memiliki bekas di hati dan berpengaruh dalam membantu kita untuk menghindari riya’ dan sum’ah. Misalnya, para sahabat Nabi yang begitu ikhlas.

Ada yang ikhlas dalam amal yang terang-terangan, ada pula yang ikhlas dengan menjaga amal secara sembunyi-sembunyi. Ada pula seperti Khalid yang saat perang Yarmuk menjadi ikon keikhlasan. Atau Arab Badui yang tidak mau mendapatkan ghanimah saat perang Khaibar. Sebaliknya, ada pula orang yang masuk neraka padahal ikut jihad di Khaibar karena tidak ikhlas dan mencari dunia.

4. Mengkaji nash-nash syar’i tentang ikhlas dan bahaya riya’ serta sum’ah

Salah satu cara menghindari riya’ adalah dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi tentang ikhlas dan bahaya riya’. Saat jiwa kita terbiasa mengkonsumsi suplemen ruhiyah dan tsaqafah seperti ini, kita akan lebih mudah membawa diri kepada keikhlasan dan melawan riya’ serta sum’ah.

5. Meningkatkan intensitas muhasabah

Yakni mengevaluasi amal kita sendiri atau melakukan intospeksi. Akan lebih baik jika hal ini dijadwalkan secara berkala. Idealnya harian.

Seperti kebiasaan sahabat dan tabiin. Sebelum tidur, ia senantiasa mengingat-ingat apa yang ia lakukan sepanjang hari. Jika ia ingat ada amal yang dilakukan dengan riya’ atau sum’ah, segera bertaubat dan mengazamkan diri untuk tidak melawan riya’ dan sum’ah ini.

6. Memperbanyak  berdoa kepada Allah

Ini karena Allah-lah penguasa dan pemilik hati. Memohon kepada Allah agar hati lurus dan ikhlas adalah cara menghindari riya’. Saat kita merasa bisa ikhlas karena usaha kita, sesungguhnya kita telah terjamah riya’ kepada Allah. Rasulullah mencontohkan sebuah doa yang sering beliau panjatkan:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu. (HR. Tirmidzi dan Ahmad; shahih)

Juga secara khusus doa berlindung dari syirik dan riya’ yang biasa kita baca dalam Al-Ma’tsurat:

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئاً نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari syirik yang kami ketahui dan kami memohon ampun kepada-Mu dari (syirik) yang tidak kami ketahui. (HR. Ahmad; hasan)

7. Menyadari bahwa segala sesuatu berjalan di atas takdir-Nya

Pemahaman yang benar terhadap takdir akan membuat kita sadar bahwa tak pantas kita bersikap riya’ dan sum’ah. Toh, segala keberhasilan sejatinya atas karunia-Nya.

Ini sangat perlu dimiliki khususnya oleh seorang muslim yang terlibat intes dengan amal jama’i atau aktif dalam jamaah dakwah. Pemahaman takdir yang benar membuatnya lebih ikhlas, bukan menganggap bahwa kemenanangan dakwah adalah karena peran dan prestasinya.

8. Memperbanyak amal-amal rahasia seperti puasa

Ada amal-amal yang lebih mudah ikhlas daripada amal-amal lainnya. Umumnya, mereka adalah amal-amal tersembunyi seperti puasa. Karenanya, perbanyak puasa dan amal-amal rahasia lainnya.

Selain itu, amal yang rutin kita kerjakan umumnya lebih mudah untuk ikhlas karena kita menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah biasa. Jaga hati agar tidak terjangkiti sum’ah. Lalu, terapkan pola yang sama untuk amal ibadah lainnya. Insya Allah lebih mudah terhidar dari riya’ dan sum’ah. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

SILAKAN BERI TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.