Surat Al Alaq (العلق) adalah surat ke-94 dalam Al-Qur’an. Namun, secara urutan turunnya (tartibul nuzul), ia adalah surat pertama yang Allah turunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut ini arti, tafsir, dan kandungan maknanya.
Surat Al Alaq merupakan surat makkiyah. Bahkan, ayat 1-5 dari surat ini merupakan wahyu pertama yang Allah turunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menandai pengangkatan beliau sebagai nabi. Sedangkan ayat 6-19 turun kemudian, berisi perintah konsisten beribadah dan berdakwah meskipun ada orang-orang yang mendustakan, benci, dan marah.
Daftar Isi
Surat Al Alaq dan Artinya
Berikut ini Surat Al Alaq dalam tulisan Arab, tulisan Latin, dan artinya dalam bahasa Indonesia:
Khat Arab
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (۱) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (۳) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥) كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (٦) أَنْ رَآَهُ اسْتَغْنَى (٧) إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى (۸) أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى (۹) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (١۰) أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى (١١) أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى (١٢) أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (١۳) أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى (١٤) كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ (١٥) نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (١٦) فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (١٧) سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (۱۸) كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (۱۹)
Surat Al Alaq Latin
Iqro’ bismi robbikal ladzii kholaq. Kholaqol insaana min ‘alaq. Iqro’ warobbukal akrom. Alladzii ‘alama bil qolam. ‘Allamal insaana maa lam ya’lam. Kallaa innal ingsaana layatghoo. Ar ro’aahus taghnaa. Inna ilaa robbikar ruj’aa. Aroaital ladzii yanhaa. ‘Abdan idzaa shollaa. Aroaita ing kaana ‘alal hudaa. Au amaro bit taqwaa. Aroaita ing kadzdzaba watawallaa. Alam ya’lam biannallooha yaroo. Kallaa lail lam yangtahii lanashfa’am binnaasyiyah. Naashiyating kaadzibatin khooti’ah. Falyad’u naadiyah. Sanad’uz zabaaniyah. Kallaa laa tuthi’hu wasjud waqtarib.
Terjemah
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, ketika melihat dirinya serba berkecukupan. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(-mu). Tahukah kamu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia melaksanakan salat? Bagaimana pendapatmu kalau terbukti dia berada di dalam kebenaran atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? (Bagaimana pendapatmu kalau dia mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan)? Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)? Sekali-kali tidak! Sungguh, jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami tarik ubun-ubunnya (ke dalam neraka), (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan (kebenaran) dan durhaka. Biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya). Kelak Kami akan memanggil (Malaikat) Zabaniah (penyiksa orang-orang yang berdosa). Sekali-kali tidak! Janganlah patuh kepadanya, (tetapi) sujud dan mendekatlah (kepada Allah).
Baca juga: Surat Al Waqiah
Asbabun Nuzul
Ketika mendekati usia 40 tahun, Rasulullah sering melakukan uzlah, khalwat, atau tahannuts di Gua Hira. Dalam setahun, beliau biasa ber-tahannuts satu bulan, merenungkan kondisi Mekkah yang penuh kemusyrikan dan kejahiliyahan.
Enam bulan menjelang tahannuts ketiga, beliau selalu bermimpi dengan mimpi yang benar (ru’ya shadiqah). Serupa fajar Subuh yang menyingsing. Di tahun itu pula, ketika usia Rasulullah sudah memasuki 40 tahun, tampak tanda-tanda kenabian lainnya seperti sebuah batu di Mekkah yang mengucap salam kepada beliau.
Pada bulan Ramadhan saat beliau ber-tahannuts untuk ketiga kalinya, datanglah Malaikat Jibril seraya mengatakan, “Iqra’ (إقرأ). Bacalah!” Rasulullah menjawab, “Ma ana biqari’ (ما أنا بقارئ). Aku bukanlah orang yang pandai membaca.” Lalu Jibril mendekap Rasulullah hingga beliau kehabisan tenaga.
Malaikat Jibril mengulanginya hingga tiga kali dan Rasulullah juga mengulangi jawaban yang sama. Lalu Jibril pun menyampaikan wahyu pertama: Surat Al Alaq ayat 1-5. Asbabun nuzul Surat Al Alaq ayat 1-5 ini bisa kita dapati dalam Tafsir Ibnu Katsir dan beberapa tafsir lainnya.
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menuliskan asbabun nuzul Surat Al Alaq ayat lainnya. Bahwa setelah datang ayat-ayat memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dakwah dan seruannya kepada penduduk Mekkah, banyak orang yang benci dan marah. Di antaranya adalah orang-orang yang sifatnya tersebut pada ayat 6-8, yakni merasa dirinya berkecukupan dan hidupnya melampaui batas.
Baca juga: Ayat Kursi
Tafsir Surat Al Alaq
Tafsir Surat Al Alaq ini kami sarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir, dan Tafsir Al Misbah. Juga tambahan dari referensi lain seperti Awwal Marrah at-Tadabbar al-Qur’an dan Khawatir Qur’aniyah. Harapannya, agar terhimpun banyak khazanah keilmuan tetapi tetap ringkas.
Kami memaparkannya per ayat. Setelah ayatnya kemudian baru tafsirnya yang merupakan intisari dari tafsir-tafsir di atas.
Surat Al Alaq Ayat 1
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (۱)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Kata iqra’ (إقرأ) adalah bentuk fi’il amr dari qara’a (قرأ) sehingga artinya menjadi bacalah!. Namun, iqra’ bukanlah semata-mata membaca teks. Ketika Malaikat Jibril datang dan mengatakan iqra’, ia juga tidak membawa teks tertulis. Dan seperti asbabun nuzul di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa membaca teks sehingga menjawab maa ana biqari’.
Ayat ini juga tidak menyebutkan obyeknya. Sehingga, perintah membaca ini berlaku umum. Baik membaca teks maupun membaca konteks. Baik membaca ayat-ayat yang tersurat (ayat qauliyah) maupun ayat-ayat yeng tersirat (ayat kauniyah).
Meskipun Rasulullah adalah seorang yang ummy (tidak pandai baca tulis), beliau sangat cerdas dalam membaca konteks, kondisi masyarakat, situasi zaman, karakter manusia, hingga strategi perang.
Huruf ba’ (ب) pada frase bismi Rabbika (باسم ربك) berfungsi sebagai mulabasah atau penyertaan. Sehingga maknanya, bacalah dengan nama Tuhanmu. Namun, mulabasah di sini bukan hanya penyertaan secara harfiah tetapi juga penyertaan sebagai tujuan. Jadi, bukan hanya ketika kita membaca menyebut nama Rabb, tetapi kita membaca demi Rabb. Semata-mata karena Rabb.
Khalaq (خلق) artinya adalah menciptakan. Maka, sejak awal wahyu pertama, Allah mengajarkan bahwa Dialah yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya dan Dialah yang harus menjadi tujuan seluruh aktivitas termasuk membaca. Ini bertolak belakang dengan tradisi masyarakat jahiliyah yang mereka meyakini bahwa Allah adalah Pencipta tetapi mereka tidak beribadah kepada-Nya semata.
Surat Al Alaq Ayat 2
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Lima ayat wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah ini sama sekali tidak menyebut Allah. Namun, menyebut Rabb. Ayat pertama menggunakan istilah Rabbuk (Tuhanmu, Tuhannya Muhammad). Sebab, meskipun musyrikin Mekkah juga meyakini Allah sebagai Rabb, tetapi keyakinan mereka sangat berbeda. Mereka menyekutukan Allah dengan berhala-berhala yang mereka yakini sebagai anak-anak Allah; Lata, Uzza, Manat.
Ayat kedua hingga kelima memperkenalkan siapakah Tuhan yang sesungguhnya. Yakni Dia yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Kata ‘alaq (علق) artinya adalah segumpal darah. Yakni tahap kedua setelah nutfah (sperma yang bercampur dengan ovum).
Ayat ini mengingatkan bahwa al-insan (الإنسان) atau manusia merupakan ciptaan-Nya. Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan, Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia dari segumpal darah juga sangat kuasa menjadikan manusia pandai membaca. Apalagi Rasulullah adalah insan kamil (manusia sempurna). Meskipun beliau ummy, beliau mampu mengubah masyarakat yang ummy ini menjadi pandai membaca. Bukan hanya membaca teks tetapi juga membaca tanda-tanda kebesaran Allah sehingga mereka kelak berubah dari masyarakat jahiliyah menjadi peradaban gemilang.
Surat Al Alaq Ayat 3
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (۳)
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Allah kembali mengulang perintah membaca. Bedanya, pada ayat pertama perintah membaca dengan meluruskan tujuannya, pada ayat ketiga ini perintah membaca dengan menyampaikan manfaatnya. Bahwa dengan membaca, mereka akan mendapatkan kemuliaan dari Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Kata al-akram (الأكرم) terambil dari kata karama (كرم) yang artinya mulia, suka memberi, terhormat. Dengan demikian, al-akram sama dengan asmaul husna Al-Karim (الكريم), yang artinya Maha Pemurah atau Maha Mulia.
“Di sini kita bisa melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga,” tulis Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. “Yakni yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca (dalam segala pengertian), yaitu membaca demi karena Allah. Sedang perintah yang kedua menggambarkan manfaat yang akan kita peroleh dari bacaan bahkan pengulangan bacaan tersebut.”
Surat Al Alaq Ayat 4
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
Al-Qalam (القلم) terambil dari kata qalama (قلم) yang berarti memotong ujung sesuatu. Alat untuk menulis namanya qalam (pena) karena pada mulanya benda tersebut dibuat dari suatu bahan yang dipotong dan diperuncing ujungnya. Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, orang yang pertama menulis dengan pena adalah Nabi Idris ‘alaihis salam.
Ayat ini menunjukkan bahwa secara umum, Allah mengajarkan kepada manusia ilmu-Nya melalui perantaraan pena (tulisan). Karenanya, membaca menjadi sangat penting karena dengan membaca kita bisa mempelajari pengetahuan dari manusia sebelumnya, termasuk dari para ulama.
Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an menjelaskan, al-qalam (pena dan segala sesuatu yang semakna dengannya) merupakan alat pengajaran yang paling luas dan paling dalam bekasnya dalam kehidupan manusia. Pada waktu wahyu pertama ini turun, hakikat tersebut belum tampak jelas seperti saat ini. Sebab waktu itu belum banyak orang yang bisa membaca dan belum banyak bacaan yang tersedia.
Allah mengajarkan kepada manusia melalui dua cara. Pertama, melalui usaha manusia membaca apa yang telah tertulis dengan pena atau bentuk usaha lain dalam belajar. Kedua, melalui pengajaran langsung tanpa usaha manusia. Cara kedua ini istilahnya dalah ilmu laduni (علم لدنّي). Rasulullah mendapatkan pengajaran dari Allah melalui cara kedua ini, karenanya tidak penting bagi beliau untuk bisa membaca atau menulis.
Surat Al Alaq Ayat 5
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Melalui membaca tulisan yang tertulis dengan pena, manusia bisa mengetahui apa yang sebelumnya tidak ia ketahui. Demikianlah salah satu cara Allah mengajar manusia apa yang tidak manusia ketahui. Selain ilmu laduni yang langsung Dia berikan kepada para Nabi dan Rasul.
Wahyu yang Rasulullah terima dari Allah, beliau sampaikan kepada para sahabat dan mereka juga menuliskannya dalam lembaran-lemabar. Di masa Khalifah Abu Bakar, kodifikasi Al-Qur’an dilakukan. Di masa Khalifah Utsman, jadilah mushaf yang kemudian bisa kita baca hingga sekarang.
Rasulullah juga menyampaikan ilmu Allah melalui hadits-haditsnya. Di kemudian hari, hadits yang banyak dihafal itukemudian ditulis oleh para ulama. Demikian pula ilmu dari para sahabat dan tabiin serta para ulama. Selain terucap, kini bisa kita dapati dalam bentuk tertulis. Kita mengetahui apa yang tadinya tidak kita ketahui melalui perantaraan pena. Demikianlah Allah mengajar kepada manusia apa yang tidak manusia ketahui.
“Tidak ada kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini dalam menyatakan pentingnya membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bagiannya,” kata Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar ketika menjelaskan Surat Al Alaq ayat 1-5.
Surat Al Alaq Ayat 6
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (٦)
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas,
Secara umum, manusia itu melampaui batas. Terutama mereka yang mendustakan dan menentang dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sedangkan korelasinya dengan Surat Al Alaq ayat 1-5, Syekh Adil Muhammad Khalil menjelaskan dalam Awwal Marrah Atadabbar al-Qur’an: “Ilmu adalah kutamaan dan karunia dari Allah sebagai wasilah untuk mengenal-Nya, menjadi sebab untuk taat kepada-Nya, dan memberi manfaat kepada manusia. Maka, siapa yang menggunakannya pada selain perkara ini, ia telah melampaui batas.”
Surat Al Alaq Ayat 7
أَنْ رَآَهُ اسْتَغْنَى (٧)
ketika melihat dirinya serba berkecukupan.
Apa yang menyebabkan Abu Jahal, Walid bin Mughirah, Umayyah bin Khalaf, dan tokoh-tokoh Quraisy penentang dakwah itu melampaui batas? Karena mereka merasa serba berkecukupan materi dan bergelimang harta.
Ini pula yang umumnya menjadi faktor kesombongan, keburukan, dan melampaui batas. “…Manusia itu pada umumnya mempunyai suatu sifat yang buruk,” tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar. “Yaitu kalau dia merasa dirinya telah berkecukupan, telah menjadi orang kaya dengan harta benda, atau berkecukupan karena dihormati orang…”
Baca juga: Surat Al Bayyinah
Surat Al Alaq Ayat 8
إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى (۸)
Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(-mu).
Allah mengingatkan, hendak ke mana orang yang malampaui batas itu? Karena seluruh manusia, termasuk yang merasa serba cukup lalu melampaui batas, akan kembali kepada Allah.
Semua manusia pasti akan mati saat ajalnya tiba dan akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Surat Al Alaq Ayat 9-10
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى (۹) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (١۰)
Tahukah kamu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia melaksanakan salat?
Di antara tokoh yang merasa serba cukup dan hidupnya melampaui batas adalah Abu Jahal. Ia pernah mengatakan kepada teman-temannya: “Kalau saya lihat Muhammad shalat di dekat Ka’bah, akan kuinjak tengkuknya.”
Saat berjalan menuju Rasulullah yang sedang shalat, tiba-tiba Abu Jahal ketakutan dan berbalik. “Antara aku dan dia ada parit dari api, marabahaya, dan sayap-sayap,” kata Abu Jahal ketika teman-temannya bertanya mengapa ia tidak jadi melaksanakan apa yang ia katakan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang tindakan Abu Jahal:
لَوْ دَنَا مِنِّى لاَخْتَطَفَتْهُ الْمَلاَئِكَةُ عُضْوًا عُضْوًا
Seandainya ia mendekat kepadaku niscaya malaikat akan mencabik-cabik tubuhnya organ per organ. (HR. Muslim)
Surat Al Alaq Ayat 11
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى (١١)
Bagaimana pendapatmu kalau terbukti dia berada di dalam kebenaran
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan, “Yakni bagaimanakah menurut pendapatmu jika orang yang kamu larang itu berada di jalan yang lurus dalam segala perbuatannya.”
Baca juga: Surat Al Zalzalah
Surat Al Alaq Ayat 12
أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى (١٢)
atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?
Engkau menghardik dan mengancam orang yang mengerjakan shalat padahal ia berada di atas petunjuk dan menyuruh bertakwa.
Ayat 11-12 ini juga mengajak pembacanya untuk berpikir sebagaimana kata Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar: “Coba engkau perhatikan dan renungkan, siapa yang akan menang di antara keduanya? Orang yang menghalangi orang shalat atau orang yang shalat memperhambakan dirinya kepada Allah? Apalagi, jika jelas nyata orang yang shalat itu berjalan di atas kebenaran dan mendakwahkan kebenaran.”
Surat Al Alaq Ayat 13
أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (١۳)
Bagaimana pendapatmu kalau dia mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan)?
Di sisi yang lain, orang yang melarang shalat itu adalah orang yang mendustakan dan berpaling dari kebenaran.
Maka, ini adalah kemungkaran di atas kemungkaran. “Bagaimana pendapatmu jika perbuatan yang mungkar itu ditambah lagi dengan perbuatan mungkar lainnya yang lebih buruk? Allah melihat pendustaan dan berpalingnya,” tulis Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
Surat Al Alaq Ayat 14
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى (١٤)
Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?
Tidakkah orang yang melarang shalat itu mengetahui bahsa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Allah melihat saat ia menentang dakwah. Allah juga melihat pendustaan dan berpalingnya.
Baca juga: Surat Al Adiyat
Surat Al Alaq Ayat 15-16
كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ (١٥) نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (١٦)
Sekali-kali tidak! Sungguh, jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami tarik ubun-ubunnya (ke dalam neraka), (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan (kebenaran) dan durhaka.
Jika orang itu tidak menghentikan perbuatannya yang selalu memusuhi Rasulullah dan ingkar terhadap kebenaran, niscaya Allah akan menarik ubun-ubunnya.
“Maksudnya adalah ubun-ubun Abu Jahal yang pendusta dalam ucapannya lagi durhaka dalam perbuatannya,” terang Ibnu Katsir.
Surat Al Alaq Ayat 17
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (١٧)
Biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya).
Allah mempersilakan orang itu memanggil kaum dan kerabatnya. Allah membiarkan jika ia mau memanggil mereka untuk mendukung dan menolongnya.
Ketika Abu Jahal menghalangi Rasulullah untuk shalat, bahkan mau menyerang beliau saat shalat, Rasulullah mengancamnya. Lalu Abu Jahal membanggakan banyak pendukungnya dan akan memanggil mereka.
Surat Al Alaq Ayat 18
سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (۱۸)
Kelak Kami akan memanggil (Malaikat) Zabaniah (penyiksa orang-orang yang berdosa).
Namun, jika Abu Jahal memanggil pendukungnya, Allah cukup memanggil malaikat yang pasti taat kepada-Nya untuk menyiksa orang-orang yang berdosa.
Dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ahmad, Ibnu Abbas mengatakan bahwa dahulu Rasulullah sering shalat di dekat maqam Ibrahim. Maka lewatlah Abu Jahal lalu berkata, “Hai Muhammad, dengan apakah engkau mengancamku? Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah penduduk lembah ini yang paling banyak pendukungnya.” Maka Allah menurunkan ayat 17-18 ini.
Ibnu Abbas mengatakan, seandainya Abu Jahal memanggil golongannya, niscaya saat itu juga malaikat azab akan mengambilnya.
Maka, pada akhirnya, Rasulullah dan orang-orang beriman akan menang. Sedangkan orang kafir akan mendapat siksa yang pedih di neraka.
Surat Al Alaq Ayat 19
كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (۱۹)
Sekali-kali tidak! Janganlah patuh kepadanya, (tetapi) sujud dan mendekatlah (kepada Allah).
Maka, jangan mematuhi orang yang melarangmu untuk shalat, jangan takut kepadanya, lanjutkan ibadah dan perjuanganmu. Sesungguhnya Allah yang akan menjaga dan melindungimu.
Perbanyak sujud kepada Allah. Yakni perbanyak shalat. Sujud adalah kondisi terdekat seorang hamba kepada Allah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Keadaan terdekat seorang hamba kepada Tuhannya adalah ketika dia sujud. Maka, perbanyaklah doa (ketika sujud). (HR. Muslim)
Demikian Surat Al Alaq mulai dari tulisan Arab dan Latin, terjemah dalam bahasa Indonesia, asbabun nuzul, dan tafsir lengkap dari ayat 1 hingga ayat 19. Semoga bermanfaat dan memotivasi kita untuk lebih mencintai ilmu dan gemar membaca serta konsisten beribadah dan berdakwah. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
< Tafsir Sebelumnya | Tafsir Berikutnya > |
Surat At Tin | Surat Al Qadr |