Semua sahabat bersedih hati. Tiada satu pun yang luput dari duka mendalam di daam lubuk hatinya masing-masing. Sebab hari itu, pemimpin, sahabat, ayah, kakak, dan sosok terbaik di antara mereka pergi untuk selamanya.
Hari itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam wafat. ‘Izrail mengambil nyawa manusia mulia ini dengan lembut. Allah Ta’ala memanggil kekasihnya untuk menghadap. Beliau meninggalkan keluarga, sahabat-sahabat, saudara-saudara, dan umatnya sampai datangnya Hari Kiamat dan perjumpaan abadi di akhirat.
Kesedihan dan kepedihan memuncak di hari itu. Hingga sayyidina ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu yang gagah dan perkasa berdiri tegak sembari menghunus pedangnya. Sangar. Menakutkan.
“Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad telah mati, maka aku akan membunuhnya!”
Tegas. Kuat. Mengancam. Namun, sahabat yang sekaligus mertua Nabi ini menyampaikan dengan pedih yang menusuk-nusuk ke relung hati terdalamnya.
Memangnya, siapa yang rela ditinggal pergi oleh orang yang amat mencintai dan dicintainya?
Adakah yang ikhlas ditinggal pergi oleh sosok pemberi solusi atas seluruh persoalan hidup yang dihadapi?
Ridhakah jika orang yang paling disayangi pergi seketika itu juga?
Tiada. Tiada yang rela. Meski ia hanya guru, pasangan hidup, sahabat, atau siapa pun dari yang ditinggalkan.
Lantas, bagaimana pedihnya jika yang meninggalkan diri adalah sosok cahaya bagi seluruh alam? Gurunya guru. Dokternya dokter hati. Sosok yang mencintai kita melebihi cinta kita kepada diri.
Lalu di tengah galau nan gulana bertabur pedih itu, datanglah laki-laki jangkung dengan kepribadian kuat dan lembut. Ialah sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu yang juga sahabat sekaligus mertua Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam yang mulia.
Tanpa banyak cakap, laki-laki lembut ini membacakan satu ayat dari ayat-ayat al-Qur’an yang mulia.
“Muhammad tidak lain hanyalah seorang Rasul (Allah). Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang utusan. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 144)
Mendengar ayat ini dibacakan, semuanya luruh dalam duka. Semua air mata tertumpah. Tangis bersahutan. Air mata duka membanjiri. Sungguh, mereka sampai melupakan ayat ini. Sungguh, mereka yang hafal dan amalkan al-Qur’an seakan tidak ingat dengan ayat yang mulia ini.
“Seakan-akan,” tutur para sahabat yang mulia, “kami tidak mengetahui atau tidak menghafal ayat itu.”
Wallahu a’lam. [Pirman/Bersamadakwah]
*Rujukan: al-Wa’dul Haq tulisan Dr ‘Umar ‘Abdul Kafi. Pesan bukunya di 085691479667 (SMS/WA/Line/Telegram)