Dalam perjalanan menuju kantor, penulis yang biasanya naik kereta commuter line, pada hari itu menggunakan ojek aplikasi. Sambil mengenderai motornya supaya baik jalannya, Abang driver mengajak bicara kepada penulis.
“Saya heran,” kata Driver mengawali pembicaraannya. “Heran dengan orang yang masih memilih penista agama dalam pilkada. Herannya tuh orang muslim yang masih memilihnya.” ungkapnya.
“Padahal, agamanya sudah dilecehkan sedemikian rupa, tapi masih dipilih saja. Kalau saya punya hak pilih di Jakarta, saya tidak akan memilih dia,” lanjutnya menggebu-gebu.
Driver yang berdomisili di Depok itu, sehari sebelum pemilihan kepala daerah berlangsung, ia sibuk mengirimkan pesan untuk memilih pasangan calon yang Islam dan punya integritas bagus.
Kegeraman yang dialami oleh Abang driver tersebut tentu tidak sendiri. Banyak di luar sana, khususnya yang muslim geram dengan orang Islam yang masih memilih penista agama.
“Yang masih ngeyel memilih pemimpin dzolim, penista agama dan tukang melecehkan ulama, baiknya dicatat nanti ketika mati tidak usah dimandikan dan disholatkan oleh kaum muslimin. Tidak usah diantar juga ke tempat istirahat terakhirnya,” kata Widi, seorang penulis yang tinggal di Bogor. Meskipun ia bukan warga Jakarta, tapi ia geram juga dengan muslim yang keras kepala.
Iman itu percaya dengan hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Sementara orang Islam yang mengaku beriman, tapi membela penista agama tentu kontradiktif dengan keimanannya. Cinta kebenaran tapi cinta pula pada kelaliman. seperti yang kita ketahui, syirik itu kezaliman yang sangat besar.
“Sulit untuk menyebut mereka masih Islam,” kata seorang ustadz lulusan Madinah saat mengisi kajian.
Sebagai seorang muslim yang sadar akan keimanan, tentu berpikir keras dengan logika tak sehat yang digulirkan oleh muslim pembela pelaku penistaan agama. Allah sudah memberikan segalanya, namun mengkhianatinya dan malah menganggap “penista agama sudah banyak berbuat”.
Lalu, apa upaya yang harus kita lakukan kepada mereka? Banyak yang bisa kita lakukan, tapi jika dikerucutkan bisa menjadi tiga cara.
1. Memberikan pemahaman kepada mereka yang masih memilih penista agama sebagai pemimpin sebuah wilayah. sebab banyak yang termakan oleh hasutan media arus utama yang tak berpihak kepada Islam.
2. Membiarkan mereka yang sudah sangat susah dinasihati. Tetap ngeyel dengan pendirian rapuhnya. Jika dalam media sosial, kita bisa mengunggah hal positif tentang pemimpin muslim atau tentang pedihnya menggadaikan akidah demi penista akidah.
3. Mendoakan muslim yang masih membela pelaku penistaan agama. Ini selemah-lemahnya upaya yang berbuah besar. Berharap mereka mendapatkan hidayah.
Jika segala upaya sudah dilakukan, tapi tak dihiraukan. Barangkali ucapan teman penulis layak direnungkan.
“Silakan ikuti keramaian dan hingar bingarnya kehidupan duniawi yang bergelimang duit tapi kalian tidak akan lepas dari sepinya liang kubur,” cergasnya. [Paramuda/BersamaDakwah]