Beranda Kisah-Sejarah Kisah Nyata Bening Hati Seorang Istri dan Pertanyaan Gadis Rusia “Apa tak Boleh Aku...

Bening Hati Seorang Istri dan Pertanyaan Gadis Rusia “Apa tak Boleh Aku Cinta Suamimu?”

Mas Farlina Limar Wangi

Aku ngga ridha jika bapaknya anak-anak memiliki sejarah kelam pernah menyakiti hati ibunya!” jeritku pelan sambil menahan air mata yang mulai menggelayut.

“Astaghfirullah, sayang! Siapa yang mau menyakitimu?” tangan suamiku menggamit lenganku serta merta.

Kupejamkan mata dan lantunkan lafaz istighfar berulang-ulang. Tak sanggup kubayangkan jika suamiku menerima pinangan seorang perempuan cantik bermata biru itu.

Belum genap 2 tahun kami menikah dan akhirnya terpaksa kami harus berpisah raga karena beratnya biaya hidup bersama keluarga di Rusia. Ketika seorang perempuan belia yang cantik bermata biru mengagumi suamiku. Entah apa yang saat itu kurasakan. Terkejut, sedih dan amat menyesakkan dada. Padahal aku termasuk di antara perempuan yang memahami syariat poligami. Sebab ketentuan itu tertera dalam kalimat agung Sang Pencipta. Tetapi oh, mengapa perasaanku tidak sama dengan lisan yang pernah kuucapkan di hadapan suamiku? Rupanya pemahaman belum berbanding lurus dengan perasaan. Pertanyaan silih berganti berkecamuk dalam hatiku. Why Allah? Why now? Why Him? Why Her? Dan segudang ‘Why’ yang mengalir deras saat kejadian itu berlaku.

Awalnya suamiku yang bekerja di kedutaan mendapat tugas untuk membantu aktivitas diplomasi budaya Indonesia.  Kesibukan menjadi bertambah dengan adanya pelatihan angklung, gamelan, dan pencak silat bagi warga negara setempat.

Aku tidak merasa keberatan dengan tambahan tugas tersebut. Toh kesibukan itu bagian dari tanggung jawabnya dan memberi nilai lebih bagi karir suami di tempatnya bekerja.  Lagipula, saat ini aku pun tidak berada di sampingnya. Aku meminta izin untuk menjalani kehamilan anak kedua di tanah air yang sudah memasuki bulan ke-6.  Sementara itu aku berharap suamiku menyelesaikan tugas-tugas pekerjaannya dan menyusulku kembali ke Tanah Air.

Hari demi hari berjalan, berganti minggu dan bulan. Setiap malam kuterjaga untuk sekadar menyapa dan menyatakan cinta lewat telepon kepada suami di ujung benua sana.  Ia bercerita banyak tentang kegiatan hari-hari yang terlewati. Tentang program Iqro di Masjid Tatarskaya, pengajian bulanan kedutaan, silaturahim dengan keluarga Chechnya, salju pertama turun yang dingin tak terkira dan gadis-gadis belia mahasiswa MGU yang ikut dalam kelas angklung dan gamelan. Aku hanya mendengarkan dan tidak begitu tertarik dengan cerita-ceritanya, kecuali menyatakan kerinduan dan cinta yang mendalam kepadanya. Tetapi sebersit cemburu mulai menyelinap di dalam hatiku. Ya, tentang gadis-gadis itu!

Suamiku tidak pernah menyembunyikan cerita apapun tentang kegiatan dan perasaannya di sana.  Rasa gelisah bercampur cemburu membuatku selalu ingin tahu tentang gadis-gadis yang berlatih bersama di kelas angklung dan gamelan yang dikelola suamiku.

“Mereka ada 10 orang, dari jurusan Bahasa Indonesia MGU” tuturnya.

“Mereka semangat sekali, malah sekarang mau ikutan pencak silat juga!” sambungnya datar, sementara gemuruh dalam dadaku tidak dapat kubendung.

“Pasti cantik-cantik ya? Wah ngajarinnya jadi semangat dong!” Potongku tiba-tiba tanpa aku bisa menahan diri. Sepertinya ia menyadari kekhawatiranku dan mengerti ke mana arah pembicaraan ini.

“Sayang, aku kan sudah bilang, kecantikan gadis Rusia itu hanya luaran saja. Tabiat mereka tidak akan menandingi kecantikan hatimu!” sungguh, kata-katanya amat menentramkan. Tak peduli apakah ia lahir dari hatinya yang tulus atau sekedar menghindari agar aku tidak ngambek.

Bulan berganti dan jabang bayi dalam rahimku semakin membesar. Bayangan suami yang tengah asyik melatih gadis-gadis cantik Rusia semakin sering bermain di pikiranku.  Firasatku semakin tidak nyaman. Syetan membisikkan prasangka yang bukan-bukan.  Fluktuasi hormonal menambah gelisah hati. Apalagi beberapa kali kutelepon, ia katakan nanti, nanti dan nanti.

“Say, maaf lagi sibuk nih. Mau ada konser budaya” katanya. Kemudian tut, tut, tut. Nada putus telepon membuatku gusar.  Tangisku pecah, tidak dapat kupungkiri sakitnya hati ini. Ya Allah, lindungilah suamiku.

Malamnya aku telepon dengan nada gusar dan menahan air mata yang hampir mengalir kembali.

“Assalamu alaikum, ayah masih sibuk ya? Selamat deh, asyik konser dengan gadis-gadis cantik Rusia. Istri dan anakmu di sini memang tidak penting. Mereka memang lebih layak mendapatkan perhatian ayah” Dan tangisku kembali pecah. Perih rasa hatiku membayangkan suamiku dikelilingi gadis cantik yang manja dan mengaguminya.

Say, mengapa berpikiran begitu? Astaghfirullah…” suamiku berbicara panjang, tetapi aku tidak lagi mampu mendengarnya. Di kepalaku hanya terbayang betapa teganya ia bersikap demikian. Hati ini semakin teriris dalam kesedihan.

Hari-hari kemudian berlalu dalam bayang-bayang ketakutan kehilangan dan tangis. Telepon suami yang kerap berdering di tengah malam, kini kujawab dingin dan hambar. Sederetan alasan dan penjelasan yang dituturkannya panjang, seperti angin yang berdesir sekelebat dan hilang ditelan gelapnya malam. Aku tersungkur dalam sujud panjang. Dan doa yang kupanjatkan dengan lirih melahirkan kepasrahan akan syariat dan takdirMu.

Pagi cerah keesokan harinya, setelah menguatkan hati dan pikiran. Kuputar tombol telepon dengan penuh perasaan.

“Say, aku mau minta maaf,” ucapku tulus.

“Boleh nggak kamu jawab pertanyaanku?” lanjutku setelah mendengar suaranya yang tenang.

“Adakah di antara gadis-gadis Rusia itu yang kamu suka?” tanyaku yang kontan membuatnya terkejut. Ia diam.

“Atau ada ngga di antara mereka yang kelihatannya senang dengan kamu?” aku mencoba memberi pertanyaan yang sedikit logis.

Kemudian mengalirlah cerita yang tidak kuduga. Iya, memang ada! Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak.  Suamiku dengan berhati-hati dan sangat khawatir melukai hatiku menuturkan kisahnya tentang seorang gadis cantik, peserta latihan budaya Indonesia yang amat perhatian dengannya.

“Ceritakan lengkap semua dari A sampai Z. Aku tidak ingin dihantui penasaran dan kesedihan,” tandasku kepadanya

Berikut penuturan yang disampaikan suamiku:

“Namanya Andrea, mahasiswa tahun kedua, berusia 17 tahun.  Tipikal gadis Rusia yang tinggi, langsing, mata bulat biru toska, rambut lurus brunet tergerai sebahu, dan tidak pernah berdandan. Ia cantik alami.” Natural, istilah yang diucapkan suamiku kemudian.

“Awal bertemu dengannya, berlangsung biasa saja. Ia dan kawan-kawannya amat perhatian terhadap pelatihan angklung dan gamelan yang disampaikan pelatih.  Kadang saat pelatih terlambat atau berhalangan hadir, maka aku menggantikan membimbing mereka untuk memainkan satu-dua tembang,” aku terus mendengarkan dengan sejuta rasa tak terkatakan.

“Layaknya gadis-gadis Rusia yang terbuka, mereka tidak malu-malu untuk menyatakan perasaan kepadaku. Mereka ramah dan murah senyum, tidak seperti kebanyakan orang Rusia. Mereka menyatakan senang dibimbing oleh Mas Ahmad,” sebutan yang membuatku cemburu.

“Suatu ketika, saat latihan gamelan berakhir, Maria, salah seorang gadis itu meminta waktuku sejenak” sambungnya.‘U minya yest glavni novosti dlya tibya’. (Kami punya berita penting untukmu). Setelah latihan usai, lalu mereka memaksa Andrea untuk segera mengungkapkan sesuatu kepadaku. Ia malu. Tetapi karena teman-temannya terus memaksa, maka keluar juga kata-katanya dalam kalimat Indonesia yang terbata-bata: “Saya cinta kamu, Mas Ahmad!”

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Jantungku semakin kencang berdetak. Tetapi aku kuatkan hati untuk terus mendengar penuturan suami.

“Aku hanya tersenyum saja mendengar kata-kata Andrea. Tetapi latihan-latihan berikutnya, suasana menjadi semakin tidak nyaman. Gosip tentang gadis Rusia yang senang sama aku itu entah bagaimana menyebar cepat di seantero kantor” lanjut suamiku.

Aku terus menyimak dalam diam, sementara air mata mulai menganak sungai.

“Pada latihan pencak silat 2 minggu lalu, saat istirahat aku panggil Andrea dan Maria. Singkatnya ayah ingatkan mereka: Andrea, ti lyubis minya? Eta Pravda?(Andrea, kamu cinta saya? Apakah itu betul? Ia menganggukkan kepala). Znayesh, ya zhenitsa. U minya zhena, katori ya ochen yeyo lyubit. U minya docheri, I skora vtoraya budjet radit, u katori tozhe lubyu.(Ketahuilah, saya sudah menikah. Saya punya istri yang sangat saya cintai. Saya memiliki anak perempuan dan sebentar lagi anak kedua akan lahir, yang juga saya cintai)

Kata-kata suamiku sedikit menenteramkanku.  Namun tidak berlangsung lama. Jawaban Andrea di luar perkiraanku.

“Andrea menjawab dalam bahasa Indonesia yang lambat namun jelas: Iya, saya sudah tahu. Tetapi apa tidak boleh saya cinta kamu?” lanjut suamiku.

Aku jadi penasaran mendengar lanjutannya.

“Bukan tidak boleh, itu hak kamu Andrea. Cuma bagi saya orang Indonesia, tidak sopan menyatakan cinta kepada lelaki yang sudah beristri. Apalagi saya seorang muslim, yang punya aturan ketat tentang hubungan laki-laki dan perempuan.  Tidakkah kamu perhatikan, kenapa saya tidak pernah mau bersentuhan atau berjabat tangan dengan kalian saat latihan silat?” cerita suamiku.

Jawaban suamiku kali ini sedikit menentramkan.  Ya Allah, Engkau masih melindunginya.

“Andrea di luar dugaan kemudian menjawab dalam bahasa Rusia yang artinya: Aku siap dengan segala resikonya. Aku memang cinta kamu. Bukankah orang Islam bisa punya istri dua?” suamiku memaparkan bab ini sambil tercekat.

Duarr! Serasa ada bom waktu yang telah sampai pada titik nol dan meledak dengan dahsyatnya di jantungku. Suamiku melanjutkan setelah meminta maaf berkali-kali karena mendengar isak tangisku.

“Aku juga tidak menduga jawaban itu!. Sebuah tantangan yang menggoda iman. Aku tidak siap dan tidak terpikirkan akan begitu jawabannya.  Alhamdulillah, Allah masih menguatkan hatiku, sayang. Karenanya kemudian aku jawab: Andrea, menikah lagi bukan perkara sederhana. Ada banyak hal yang harus saya penuhi. Bagaimanapun, saya tidak bisa. Saya amat mencintai istri dan keluarga saya. Saya tidak ingin melukai hati mereka” panjang lebar beliau menjelaskan.

Hatiku berkecamuk tak menentu.  Sedih, perih, sakit, kecewa, bersatu dengan marah, cemburu, dan rindu tak terkira.  Jarak yang jauh membuatku makin nelangsa.

Hari-hari selanjutnya kulalui dalam tafakkur dan doa. Ya Allah, jika memang Engkau menghendaki, tiada mampu aku menolaknya.  Dalam kepasrahan aku bersimpuh di hadapanNya.

Beberapa hari kemudian, di suatu malam, aku menelepon suami dengan menahan perasaan dan tawakkal akan taqdirNya: “Ayah mau menikah lagi?” dan jawabannya kembali menentramkanku.

“Sayang, tidakkah cukup aku mendapatkanmu dan anak-anak cantik dari rahimmu? Maafkan aku yang khilaf, tidak menjaga pandangan dan hati dari hal-hal maksiyat. Tidak pernah ada niat dan terpikir untuk menduakanmu, sayang.  Aku sudah kurangi aktivitas latihan budaya, Alhamdulillah ada staf lain yang membantu.  Insya Allah aku tingkatkan ibadah, terutama puasa sunnah Nabi Daud untuk meredam nafsu ini. Aku cinta kamu, sayang!” sebuah jawaban yang membuatku tenang dan sedikit mengobati.

Bulan berganti dan tibalah saatnya sang jabang bayi lahir ke dunia ini. Kelahiran anak kedua ini penuh dengan ujian dan tantangan. Kegelisahan yang mendera ditambah dengan kesendirian yang membuatku semakin merana.  Suami tidak bisa pulang untuk mendampingi persalinanku.  Kata-kata dan doanya saja yang terus mengalir dalam HP-ku. Anak kedua kami diazankan melalui HP oleh suamiku dari ujung dunia sana.

Ujian dari Allah masih datang setelahnya. Kesedihan yang amat dalam, membuatku mengalami kejang saraf muka, Bell’s palsy.  Ya, Allah! Ampunilah dosa-dosaku. Dalam kesusahan dan kesedihan, Alhamdulillah ayah-Ibu selalu memberiku penguatan. Anak pertamaku begitu mengerti kesedihanku, ia selalu datang memelukku saat melihat bundanya menangis. Dan bayi laki-laki putih mungil dan sehat merupakan karunia yang membuatku kuat untuk terus berjuang melawan penyakit dan perasaan sedih yang kerap kali datang.

Tibalah saat yang kami nantikan. Setelah lebih dari 8 bulan berpisah, suamiku datang dengan sejuta kerinduan. Kami berangkulan di bandara, melepas rindu dendam tak terkira. Melepas kegundahan dan prasangka, merajut kembali sulaman cinta yang sempat terurai oleh kesedihan dan ketakutan kehilangan.

Suamiku diperpanjang tugasnya di Rusia. Harapan membangun rumah tangga di Tanah Air kembali musnah.  Terasa berat sekali kaki ini melangkah kembali ke sana. Terbayang kembali cerita gadis-gadis Rusia yang mengagumi suamiku.  Aku akan melawan perasaan ini!

Andrea, gadis Rusia yang menyatakan cinta itu ternyata tidak seperti yang digambarkan suamiku. Ia tidak cantik, tetapi sangat-sangat cantik.  Raut wajahnya mirip sekali dengan aktris Liv Taylor, gumamku. Ah, tidak. Gadis ini lebih tinggi dan lebih cantik. Aku semakin ciut melihat kenyataan sedemikian.

Suamiku berhasil melobi kedutaan agar aku dapat berkerja part time di Sekolah Indonesia di sana.  Kebersamaan bersama suami semakin lengkap hampir sepanjang waktu.  Anak-anak kubawa serta ke sekolah, atau sesekali bersama Uwaknya di rumah.

Pada suatu hari, saat jam-jam latihan budaya berakhir, dengan kekuatan hati yang aku kumpulkan, aku  undang Andrea ke ruang kerjaku untuk berkenalan.  Ia malu, dan salah tingkah. Aku tawarkan banyak bantuan kepadanya untuk mengenal Indonesia dan budayanya. Aku memiliki koleksi buku dan film yang dapat menjadi sarana aku dekat dengannya.

Perjumpaan dengan Andrea berikutnya lebih rileks dan terbuka.  Teman-teman Andrea juga semakin dekat denganku. Mereka sering kusambangi saat latihan silat, tari, atau gamelan sambil membawa bayi mungilku yang montok. Mereka sangat senang dan gemas dengan bayi kecilku.

Beberapa bulan kemudian, saat konser budaya Indonesia tiba, aku sudah tampak terbiasa dan akrab dengan Andrea. Aku sempatkan diri membantunya memakaikan pakaian tari pendet yang akan mereka pentaskan.  Saat itulah kusampaikan pertanyaan pendek disertai senyum tulusku:

“Andrea, kamu masih mencintai Mas Ahmad?” ujarku sambil tersenyum.

Mukanya bersemu merah, ada rona malu dan merasa bersalah di wajahnya.  “Maafkan saya, saya tak bermaksud menyakiti siapa-siapa.” katanya.

Aku segera menggamitnya dan memeluknya. Ia sepertinya lega atas ketegaran dan keanggunan sikapku.

“Maafkan saya.” Sekali lagi ucapnya. Teman-teman Andrea menyaksikan itu semua.  Aku tidak mau berlama-lama dalam situasi keharuan sedemikian.

“Ayo kita foto bersama,” potongku memecah situasi. Setelah itu ada ketentraman yang Allah sisipkan di dalam hatiku.

Seusai konser, seorang penari menghampiri suamiku, tapi ia bukan Andrea.

“Mas Ahmad, istrimu hebat sekali. Perempuan sejati. Istri yang sangat baik! Beruntunglah kamu memilikinya!” ungkap Katya dalam bahasa Rusia yang tegas dan tatapan yang serius.

Ia benar-benar mengamati interaksiku dengan Andrea.  Kesabaran dan kebaikan ternyata selalu berbuah kebaikan pula.

Hari berganti, minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun.  Bayangan Andrea tidak lagi menghantui pikiranku.

“Sayang, kamu mau menikah lagi?” tanyaku suatu kali di musim dingin tahun berikutnya.

Jawaban suamiku sederhana namun amat bermakna: sebuah pelukan erat.

Aku masih tidak memungkiri bahwa bayangan kecantikan gadis Rusia masih ada dalam benak suamiku.  Aku teringat seorang gadis muslimah adiknya Magomed, seorang Chechen.  Seorang gadis cantik, anggun, dan berjilbab rapi. Amina namanya. Aku sering menyebutnya Barbie berjilbab karena kecantikannya. Aku tahu ia juga mengagumi suamiku. Ia sering mencuri pandang saat suamiku sedang asyik berbicara dengan abangnya.

“Inilah yang aku cari,” gumamku dalam hati.

Kesempatan itu datang lagi. Saat kami bergembira merayakan Idul Fitri di kedutaan dan mengundang Magomed dan keluarganya datang.  Aku menarik suamiku untuk diam-diam memandang Amina dari jauh.  Sambil berbisik aku berucap kepadanya:

“Maukah aku nikahkan kamu dengan Amina?” ujarku tiba-tiba.

Aku tunggu jawaban dengan seksama dari mulutnya.  Suamiku kemudian kelihatan serius dan menggamitku ke ruang lain.

Sambil menatap dengan wajah serius suamiku mengatakan:

“Jika melihat gadis cantik dan terbersit suka, jujur, aku tidak menafikan sebab menurutku itu adalah fitrah sekaligus mengandung fitnah. Tapi jika aku mengikutinya maka itu akan menjadi syahwat yang menjerumuskan kepada dosa besar. Bantu aku dalam perjuangan mengendalikan nafsu ini” sambil memelukku

“Cukuplah aku memilikimu seorang, sayang!” ujarnya.

Dan pandanganku pun kabur tertutup airmata bahagia.

Tips Jika Suami Disukai Wanita Lain:

  1. Sabar dan Jangan Reaktif

Dorongan emosi bisa membuat perempuan berani melakukan sesuatu diluar dugaan. Kita sering mendengar hal yang klasik dalam kondisi seperti ini, misalnya si istri datang menjumpai Wanita Idaman Lain (WIL) sambil melabrak marah-marah bahkan terjadi perkelahian di muka umum. Padahal bisa jadi info yang di dapat belum tentu benar. Tentunya hal ini hanya akan mempermalukan diri sendiri bahkan mempermalukan keluarga besar. Perempuan yang sedang emosi kadang ingin dipahami dalam kondisi tersebut. Tapi terpikirkah kita bahwa perilaku seperti itu tidak elegan dan malah jadi pembenaran suami berpaling?

  1. Selidiki terlebih dahulu kisah sebenarnya seperti apa.

            Jika suami kita tidak tertarik, bersyukurlah dan percaya padanya. Bahkan             ketika istri mengemukakan pertanyaan yang konyol dan emosional, lalu dijawab dengan kalimat “Demi Allah, demi Rasulallah” maka percayalah sebab kalimat tersebut adalah kalimat yang tidak bisa diungkapkan secara  main-main atau berbohong. Percaya pada suami jauh lebih baik dan. Namun jika ternyata kisahnya benar, sebaiknya kita memilih menyelesaikan secara baik-baik antara pasangan. Kenali permasalahan dan pemicu terjadinya masalah ini. Bincangkan dengan kepala jernih dan saling memahami satu        sama lain.

  1. Taubatan Nasuha. Perbanyak dzikir istighfar sehabis sholat dan jika ingat atas segala dosa yang pernah kita lakukan. Minta maaflah sama Allah atas niat-niat yang kurang lurus. 
  1. Minta maaflah pada orang tua. Khawatirnya dulu mereka kurang ridho atas pilihan kita. Minta mereka untuk mengalirkan doanya agar pernikahan kita diridhoi Allah.
  1. Minta maaf pada suami. Khawatirnya selama menjadi istri tidak patuh dan kurang menyenangkan hatinya. Berlepas dari salah atau tidaknya suami sebab hal tersebut ada hisab tersendiri yang akan ditunjukan Allah pada kita. Itu masalah waktu saja.
  1. Perkuat doa. Doa tidak hanya sehabis sholat saja. Tapi berdoalah selayaknya bernafas. Kita tidak tahu mana diantara doa kita yang dikabulkan Allah.
  1. Luruskan kembali niat kita dalam segala hal adalah karena Allah saja termasuk niat menikah dengan suami. Ini agar kita bisa kuat dalam menghadapi ujian tersebut.

Jadi pada intinya adalah fokus pada perbaikan diri dan memperbaiki hubungan yang utama dengan Allah SWT. Termasuk dalam ibadah-ibadah sholat, puasa, zakat serta akhlak yang baik pada orang tua, mertua dan suami. Jika semua sdh kita lakukan maka Insya Allah akan ada ketetapan Allah dalam bentuk:

Dipantaskannya pasangan kita entah itu suami sadar dan berubah jadi lebih baik atau dipisahkan darinya dengan cara Allah dan diberikan ganti yg lebih baik. Hanya memang syaratnya adalah istri harus mensholihkan diri sendiri dulu sebelum mengingatkan suami.

Ditulis oleh Mas Farlina Limar Wangi.

[@paramuda/BersamaDakwah]

BARU 1 KOMENTAR

Komentar ditutup.