Puasa Tangan dan Kaki merupakan Ceramah Ramadhan hari ke-14. Cocok menjadi bahan kultum Tarawih pada malam 14 Ramadhan 1444 atau 4 April 2023.
Pahala puasa seseorang bisa berkurang bahkan hilang ketika ia berdusta, menipu, dan sejenisnya. Kedustaan dan tipuan entah dengan lisan maupun dalam bentuk tindakan merupakan pembatal pahala puasa. Demikian pula mengambil yang bukan haknya atau menzalimi sesama manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak mempunyai keperluan untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya). (HR. Bukhari)
Sungguh kita patut bersyukur, puasa Ramadhan menjadi pengontrol tindakan manusia. Tak hanya menahan lapar dan dahaga tetapi juga menahan tangannya agar tidak menzalimi orang lain dan menahan kakinya agar tidak melangkah ke arah kemaksiatan.
Mempuasakan organ tubuh, oleh Imam Ghazali diistilahkan sebagai puasa khusus. Di antaranyadengan mempuasakan tangan dari menzalimi orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan melakukan perbuatan yang dilarang syariat. Serta mempuasakan kaki dari berjalan ke arah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan.
Mempuasakan tangan dan kaki dari kemaksiatan dan dosa sebenarnya tak hanya berlaku saat Ramadhan. Di bulan-bulan berikutnya, kebiasaan baik ini patut kita jaga. Perlu kita istiqamahkan dalam kehidupan.
Baca juga: Niat Puasa Ramadhan
Kelak, tangan dan kaki yang bicara
Kelak di yaumil hisab, tangan dan kaki kita yang akan bicara. Menjadi saksi atas apa yang kita lakukan di dunia.
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS. Yasin: 65)
Saat menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir dan Buya Hamka sama-sama mengetengahkan hadits shahih riwayat Imam Muslim. Anas bin Malik dan shahabat yang lain berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau tertawa.
“Apakah kalian tahu mengapa aku tertawa?” tanya Rasulullah.
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu,” jawab para shahabat.
“Aku tertawa teringat seorang hamba akan menghadap Allah. Ia mengatakan, ‘Ya Allah, bukankah Engkau telah memastikan tidak akan berbuat aniaya kepadaku?’ Allah menjawab, ‘Benar.’ Orang itu berkata lagi, ‘kalau begitu aku tidak kesaksian tentang diriku kecuali diriku sendiri.’ Allah berfirman, ‘Cukuplah di hari ini hanya dirimu yang menjadi saksi. Dan malaikat pencatat sebagai saksi luar.’ Lalu Allah membuat mulut orang itu terkunci, maka yang berbicara adalah anggota tubuhnya, memberikan kesaksian atas apa yang ia amalkan. Setelah selesai, diberilah hamba itu kesempatan bicara. Lalu ia berkata kepada anggota tubuhnya sendiri, ‘Celaka kalian. Aku yang diam, kalian yang bicara. Padahal dulu kalian aku bela.’”
Maka perhatikanlah, apa yang tangan kita perbuat saat ini. Apa yang kaki kita lakukan saat ini. Sebab kelak mereka akan berbicara dan menjadi saksi, sedang mereka tak bisa berdusta.
Baca juga: Puasa Lisan
Puasakan tangan dari kezaliman
Jagalah tangan kita, puasakan dari kezaliman. Jangan sampai tangan kita menzalimi orang lain. Jangan pula menzalimi diri sendiri.
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya aku haramkan kezaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zalim.” (HR. Muslim)
Kezaliman kepada orang lain banyak sekali bentuknya. Bisa berupa menzalimi fisik seperti memukul, melukai hingga membunuh. Semuanya harus kita jauhi. Jangan sampai tangan kita melakukannya.
Kezaliman kepada orang lain juga bisa berupa menzalimi hartanya seperti mencuri, merampas, merampok dan sejenisnya.
Seorang muslim yang sejati akan menjaga tangannya agar tidak menyakiti orang lain. Menjaga tangannya agar tidak akan mencelakai sesama manusia. Senantiasa menginginkan keselamatan bagi saudaranya.
المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Muslim sejati adalah orang yang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Apalagi terhadap orang-orang dekat seperti tetangga. Muslim yang sejati benar-benar menjaga tangannya agar tidak menganggu mereka.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti tetangganya. (HR. Bukhari dan Muslim)
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Tidak akan masuk surga, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca juga: Puasa Berkualitas
Puasakan kaki dari langkah kemaksiatan
Jagalah kaki kita, puasakan agar tidak melangkah menuju kemaksiatan. Jangan sampai kaki kita berjalan semakin menjauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan sampai kaki kita bergerak mendekat ke neraka.
Tersebutlah nama Abdah bin Abdurrahim. Ia hidup sezaman dengan para tabi’in. Awalnya termasuk prajurit pilih tanding. Mujahid pemberani yang selalu gagah di medan perang. Sudah begitu, ia hafal Al-Qur’an.
Apa lagi yang kurang dari seorang mujahid terdepan hafizh Qur’an? Namun, akhir hayatnya sungguh menyedihkan.
Bermula dari pandangan mata, lalu ia melangkahkan kaki. Kisahnya, saat sedang mengepung sebuah kota Romawi, matanya melihat seorang wanita. Cantik nian parasnya, begitu mempesona. Ia pun berkirim surat kepada wanita itu. Menyatakan cintanya.
“Aku seorang Nasrani,” demikian surat balasan dari wanita Romawi itu, “engkau baru bisa memiliku kalau seagama denganku.”
Syahwat kemudian menggerakkan kaki Abdah untuk menemui wanita pujaannya. Syahwat juga mengoyak keimanannya. Ia tinggalkan Islam, murtad demi wanita.
Berita pernikahan Abdah dengan wanita Romawi di dalam benteng mengguncang kaum muslimin. Bagaimana seorang mujahid yang hafal Al-Qur’an bisa murtad? Mereka tak habis pikir. Sebagian teman berupaya merangkulnya kembali. Mendatangi Abdah agar beriman lagi. Namun, niat baik itu ditolaknya.
“Apa engkau tidak malu dengan hafalan Qur’an-mu?” temannya berusaha mengingatkan.
“Aku telah lupa semua isi Al-Qur’an kecuali dua ayat saja,” jawab Abdah.
Dua ayat yang masih ia hafal itu adalah Surat Al-Hijr ayat 2 dan 3.
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ . ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (QS. Al-Hijr: 2-3)
Dua ayat itu seakan menjadi hujjah baginya. Betapa kesenangannya dengan kecantikan dan keindahan dunia akan berakhir dengan penderitaan yang abadi selamanya. Sekaligus menjadi pengingat bagi kita, jaga langkah kaki. Jangan sampai kaki kita menghampiri sesuatu yang ujungnya adalah api neraka. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Untuk ceramah atau kultum Ramadhan lainnya, silakan baca:
Ceramah Ramadhan 2024