“Nama siapa, Nak? Maaf bapak lupa.” Kata bapak tua bercelana pendek itu.
Ia berdiri sambil mencatat nota order laundry. Langit sudah gelap. Memang telah malam.
Saya tersenyum, “Hayoo siapa?”
“Maaf daya nalar bapak mulai melemah.”
“Daya ingat maksud bapak?” tanya saya memastikan setelah saya menyebut nama saya.
“Iya, daya ingat. Sejak peristiwa yang menimpa sulung saya, ingatan pakai melemah,” ujarnya.
Saya yang sedang berdiri di depan pintu rumah sekaligus tempat laundry miliknya, menyiapkan telinga untuk mendengar ceritanya.
Sulungnya ditangkap polisi. Di sidang selama 11 kali pertemuan. Hingga sampai ke mahkamah Agung, lembaga hukum tinggi negara. Kasusnya adalah pembobolan ATM (mungkin kamu masih ingat dengan pemberitaan yang buming tahun 2011-an).
Padahal ia melakukannya atas rasa tidak enak pada teman-temannya. Yang melakukan itu adalah sindikat. Sulung hanya berperan sebagai programmer. Ia dijadikan umpan oleh para temannya. Ketika Sulung tertangkap, teman-temannya pada kabur. Ada yang ke Malaysia juga.
Singkat cerita, ia habis. Hartanya juga terkuras. Ia divonis dua tahun penjara. Untungnya ia dapat potongan masa tahanan setahun, itu dari hasil penjualan kendaraan dan rumah.
Dalam kondisi seperti inilah ayah Sulung shock.
Pikirannya terganggu. “Sulung itu lugu, nggak enakan sama temen orangnya, ” lirihnya, ada nada sedih.
Saya hanya mengangguk. ” Yah, inilah hidup, Nak. Selalu ada cerita untuk diceritakan,” ujarnya.
Saya hanya senyum. Getir.
Sungguh, saat Allah memilih manusia untuk diuji dengan kesulitan, maka ia segera memasang perisai taqwa untuk menyelamatkan iman yang sedang ‘diserang’ oleh ancaman-ancaman berupa ujian hidup itu. Manusia sadar bila ujian yang Allah timpakan kepadanya adalah demi menguji seberapa layak ia untuk ‘naik kelas’ ke level iman yang lebih atas. Semakin imannya ‘naik kelas’, semakin besar pula kesempatan untuk masuk surga-Nya.
Berbeda cerita saat manusia memilih jalan fujur untuk jiwa, maka ia akan membiarkan akalnya bertamasya melalui jalan sesat, hingga muncullah pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan fitrah. Akalnya digunakan untuk mencari-cari peluang untuk dapat keluar dari rel-rel aturan yang sudah Allah tentukan. Naudzbuillah.
“Saya bersyukur dengan ujian ini, lebih paham hidup. Seperti pakaian-pakaian kotor ini, perlu dicuci, dikucek noda bandelnya, dibilas agar bersih, diberi pewangi, dan disetrika agar bersih kembali, ” tutup bapak tua itu.
Saya menghela nafas. Mengiyakan. [Paramuda/ BersamaDakwah]